ISLAM, A WAY OF LIFE?

Oleh: Faqry Fakhry

Muhib di Jalan Menuju Mahbub

Sempat ada saat ketika orang Islam sendiri dengan bangga menyatakan bahwa “Islam adalah lebih dari sekadar suatu agama (religion) yang hanya berurusan dengan hubungan privat antara manusia dan Tuhan. Dan bahwa agama ini adalah suatu jalan hidup (a way of life)”. H.A.R Gibb menyatakan bahwa Islam memiliki aturan, cita dan cara pengaturan masyarakat yang cukup terinci sebagai umat tersendiri yang berbeda dari kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Benarkah demikian?

Pertama, memang harus dipahami bahwa dalam makna “asli”-nya istilah “religion” bermakna hubungan (ketaatan) manusia kepada suatu Wujud yang disepakati sakral dan transenden. Sifatnya memang lebih privat.  Karena kata “religion“, yang asalnya adalah “religare“—dan belakangan dipahami secara reduktif sebagai agama institusional (ter-reifikasi)—sesungguhnya pada awalnya dipahami sebagai terkait dengan kehidupan sebagai rohaniawan (monastic life). Bagaimana dengan “din“, yakni istilah yang menunjuk agama dalam Islam? Dalam tulisan saya sebelum ini, telah saya ungkapkan bahwa dapat dipastikan kata “din”  memiliki makna yang lebih bersifat spiritual. Bahwa, meski seperti kata “religion” ia memiliki makna ketaatan, tapi ujung-pangkal ketaatan itu adalah sesuatu yang lebih bersifat spiritual/rohani dan, karenanya, lebih bersifat privat pula.

Tapi, sebagaimana Gibb, kita bisa bertanya, ke mana semua aturan kemasyarakatan, bahkan politik itu harus dibuang jika Islam “cuma” dipahami sebagai semata-mata agama privat, termasuk gagasan tentang keumatan yang spesifik? Yakni yang melibatkan suatu gagasan tentang suatu kelompok masyarakat yang khas, terjalin erat (closely knit), dan memiliki ciri-ciri unik yang membedakannya dari kelompok masyarakat lain? Juga gagasan tentang Imam dan Khalifah sebagai person pimpinan kelompok masyarakat khas itu? Apalagi jika kita ingat bahwa gagasan-gasasan itu bukan saja telah berkembang sebegitu jauh dalam suatu himpunan kepustakaan para ilmuwannya seanjang sejarah agama ini, melainkan kesemuanya itu memang bisa dilacak dalam teks-teks asli dan ajaran-ajaran (dogma-dogma) agama ini?

Baca Juga:  Dimensi Tasawuf Dalam Tarekat Hizib Nahdlatul Wathan

Sudah banyak dikatakan bahwa Alquran dan hadis banyak berbicara tentang soal-soal kemasyarakatan, bahkan politik, yang melibatkan gagasan tentang suatu umat keagamaan yang memiliki ciri-ciri yang membedakannya dari umat-umat lain, bahkan memiliki cita-cita untuk menjadikan umat ini sebagai umat “terbaik” (khayru ummatin), “tertinggi” (ya’lu wa la yu’la ‘alayh), atau sebagai ummat “pemenang” atas agama-agama lain, dan sebagainya. Kita tak membantah ini. Kenyataannya sejarah Islam pun dipenuhi dengan proyek-proyek pendirian khilafah atau kerajaan yang kental diwarnai aspirasi keislaman. Apakah kemudian ada jalan untuk mempertahankan pendapat bahwa Islam sesungguhnya tetap saja adalah agama yang, pada puncaknya, bersifat spiritualistik?

Pertama, tak sedikit ulama yang berusaha membuktikan bahwa sifat politik dakwah Nabi Muhammad saw. sesungguhnya lebih terkait dengan respon terisolasi terhadap persoalan perkembangan sosial politik (expediencies) masa hidup dan dakwah beliau. Hal-hal tersebut, meski kemudian dihimpun sebagai bagian suatu “body of teachings” agama Islam bersama masalah-masalah yang lebih “religius” dan privat, sesungguhnya sepenuhnya bersifat semata-mata kontekstual. Yakni, sebagai terikat erat dengan tantangan zaman itu dan tidak dimaksudkan sebagai bagian dari ajaran agama yang bersifat permanen dan harus diterapkan di semua zaman. Bahwa yang permanen adalah ajaran agama yang bersifat privat itu, plus ajaran-ajaran tambahan yang bisa dijadikan panduan untuk merawat keadaan/konteks sosial politik agar tetap kondusif bagi penyelenggaraan ajaran-ajaran agama yang bersifat privat itu. Jadi sifatnya adalah tambahan atau sampiran (corollary) ketimbang bersifat prinsipial. Dia bisa menjadi urusan umat beragama, bisa juga tidak karena sifatnya yang seperti itu dan bukan merupakan bagian dari batang tubuh ajaran agama itu. Tak sedikit ulama atau ahli yang memiliki pendapat demikian. Bahkan, seorang Mahmud Muhammad Thaha menyatakan bahwa bagian dari “dokumentasi” ajaran Alquran dan Nabi saw. yang bersifat seperti ini—dan dalam hal Alquran, umumnya terkandung dalam ayat-ayat Makkiyah—sesungguhnya adalah merupakan bagian ajaran Alquran yang telah di-nasakh (diabrogasi/dibatalkan) oleh Alquran sendiri.

Baca Juga:  Laku Syukur, Memikat Cinta Tuhan Yang Maha Syakur

Nah, tinggal tersisa suatu pertanyaan lagi: Apakah lalu dengan demikian Islam tak mengurusi persoalan-persoalan kemasyarakatan dan politik? Sulit bagi kita untuk berpendapat demikian. Karena, setiap urusan memiliki aspek etisnya sendiri. Dalam soal-soal kemasyarakatan dan politik, ada persoalan metodologis-epistemologis, ada persoalan aksiologis, yakni menyangkut etika dan estetika. Boleh jadi dalam persoalan metodologis Islam menyerahkan segala sesuatunya pada akal dan deliberasi manusia, tapi bagaimana halnya dengan etika? Tak bisa dipungkiri bahwa ajaran Islam didominasi oleh akhlak atau etika. Bahkan dikatakan dalam sebuah tradisi kenabian bahwa satu-satunya misi kenabian adalah menyempurnakan akhlak mulia. Maka, tak sulit untuk disepakati bahwa jalan masuk ajaran Islam ke dalam persoalan sosial politik adalah melalui penawaran semacam etika kenabian seperti ini. Inilah apa yang oleh sebagian ulama disebut sebagai “tujuan-tujuan atau moral (ideal)” (maqashid syari’ah). Dan selama ideal-ideal moral seperti ini bisa dijamin keberadaannya sebagai pemandu di sepanjang jalan kehidupan keberagamaan, maka persoalan metode dan lain sebagainya bisa sepenuhnya diserahkan kepada pemikiran manusia.

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Pemuda Profetik

Oleh: Himran Alumni Jurusan Sosiologi Universitas Tadulako Palu Sedikit mencurahkan refleksi pemikiran berkaitan dengan momentum  hari kelahiran sosok…