Manusia, Akal dan Kemuliaan
“Tuhan telah memuliakan manusia dalam bentuk terbaik di antara semua makhluk lainnya”, Begitu firman Allah dalam kitab suci-Nya. Manusia difasilitasi akal dan pancaindra, serta Tuhan tundukkan apa yang ada di bumi: binatang, tumbuhan, dan lain sebagainya untuk manusia. Bersyukurlah kita yang telah ditakdirkan menjadi manusia.
Pada dasarnya, manusia memiliki beberapa tingkatan. Fahruddin Faiz menjelaskan dalam bukunya Menjadi Manusia Menjadi Hamba, Al-Quran menyebutkan empat istilah manusia: basyar, ins, insan dan nass. Basyar adalah level fisik manusia atau jasadiah-nya. Basyar ini diciptakan Tuhan dari tanah, kemudian ditiupkan ruh ke dalamnya. Level fisik itulah yang diprotes oleh Iblis, sehingga dia enggan bersujud kepada Adam.
Kata Iblis, “Qala lam akun liasjuda libasyarin khalaqtahu min shalshalin min hamain masnun, aku sekali-kali tidak akan sujud pada basyar yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering yang berasal dari tanah lumpur yang diberi bentuk” (QS. al-Hijr [15]: 33).
Iblis protes, “Masak saya harus sujud pada tanah, sedang saya diciptakan dari api yang lebih baik daripada dia”. Kira-kira begitu. Iblis hanya melihat fisik atau luarnya saja, tanpa melihat dalamnya. Jadi, jika ada orang yang menilai sesuatu hanya pada simbolnya saja tanpa peduli subtansinya, kata Fahruddin Faiz, berarti dia mirip-mirip iblis.
Manusia dimuliakan Tuhan bukan pada bentuknya, melainkan pada level insan yang difasilitasi dengan akal. Inilah kualitas yang menyebabkan kemuliaan manusia, yang tidak dimiliki Iblis. Dengan fasilitas akal, manusia menjadi makhluk berbudidaya. Karena akal, manusia berbudi pekerti luhur dan menghindarkan diri dari perbuatan buruk.
Dengal akal pula, manusia dapat memperoleh pengetahuan dan hikmah, tetapi akal itu juga digunakan untuk memperhatikan, menelaah dan menganalisis sesuatu, tidak serta merta menerima tanpa analisis yang baik.
Ketika kita mendengar orang berkata, vaksin COVID-19 dapat mengubah setengah fisik manusia menjadi binatang dan mengancam keselamatan jiwa. Jangan langsung percaya, di sini akal harus difungsikan. Masak Presiden dan ulama-ulama di sekitarnya mau mencederai dan membunuh rakyatnya, tidak masuk akal kan?
M.Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam Al-Qur’an tidak ditemukan kata عقل (‘aqal), yang ada adalah kata kerjanya dalam bentuk يعقلون (ya’qilun) dan تعقلون (ta’qilun). Ada juga نعقل (na’qilu), نعقلها (na’qiluha), dan عقلوه (‘aqaluhu). Selain itu, ditemukan juga kata kerja yang lain, seperti yatafakkarun, yatadabbarun, yatadzakkarun, dan lain-lain yang menurut Quraish Shihab, semuanya itu mengarah kepada upaya memungsikan akal, guna meraih pengetahuan.
Semua kata kerja di atas yang menghubungkan dengan fungsi akal menggunakan fi’il mudhari’, itu berarti bahwa akal itu harus terus menerus difungsikan, sifatnya kontinu, tidak boleh berhenti. Untuk meraih dan tersigapnya ilmu Allah yang begitu luas, maka akal harus selalu difungsikan.
Al-Qur’an tidak saja menganjurkan penggunaan akal, tetapi juga mengecam yang tidak menggunakannya untuk meraih ilmu dan hikmah (baca QS. al-Zumar [39]: 9 dan al-A’raf [7]: 179).
Orang yang tidak menggunakan akalnya untuk berpikir cenderung bersifat tertutup, keras dan tidak mau menerima pandangan orang lain. Dia tidak memahami bahwa Tuhan sengaja menggunakan kata kerja fiil mudhari’ dalam al-Al-Qur’an agar manusia tidak berhenti berpikir untuk meraih ilmu dan hikmah dari-Nya.
Begitulah Tuhan memuliakan manusia, tidak pada bentuk terbaiknya, akan tetapi bagaimana manusia menggunakan akalnya untuk berbudi pekerti luhur, meraih ilmu, dan hikmah, sehingga Tuhan mengangkat derajat manusia (QS. al-Mujadalah [58]: 11).