“Tuhan, apakah ibadahku yang khusus untukmu?”, tanya Musa bin Imran. “Memasukkan rasa bahagia ke dalam diri orang yang patah hatinya”.
Setiap orang pernah sedih. Bahkan dalam tasawuf, ada gagasan tentang khuzn (kesedihan) sebagai penarik orang untuk mendekat kepada Allah. Al-Qur’an pun mengajarkan:
“Dan sungguh, Kami pasti akan (terus menerus) menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang sabar” (QS. Al-Baqarah [2]:155).
Hanya orang yang di-istidraj (didorong kepada keadaan lebih buruk oleh) Allah yang tidak mengalami kesedihan. Tapi, memang beda antara orang yang sedih—kadang sampai mendalam—dengan orang yang mengalami depresi. Kesedihan, betapa pun mendalamnya, tidak merampas sepenuhnya akal sehat orang. Karena pikirannya masih jalan. Apa lagi jika masih ada orang-orang yang mencintainya di sekelilingnya. Sampai batas tertentu dia masih bisa mengendalikan, bahkan mengelola, kesedihannya.
Sementara, depresi adalah penyakit. Orang sudah tak lagi bisa berpikir dengan waras. Depresinya telah sepenuhnya menenggelamkan dirinya ke dalam kebuntuan. Hampir-hampir seperti orang yang tenggelam ke dalam lumpur penghisap. Orang begini bisa merasakan kesepian total, meski sesungguhnya di sekelilingnya ada orang-orang yang mencintainya. Bahkan sensitifitasnya untuk merasakan cinta telah ba’al. Tak terkecuali harapannya pada Allah. Sama sekali terputus. Seluruh relasi dengan orang-orang dan alam sekitarnya terputus total. Ini mungkin yang dimaksud Bisyr al-Hafi, seorang sufi besar: “Kesedihan adalah seperti seorang penguasa. Jika dia sudah bermukim di suatu tempat (di dalam hati), maka tak ada lagi, maka ia tak mengizinkan yang lain ada di sana.” (Juga ada perasaan yang sama sekali tak bisa dilawan, bahwa kesedihannya sama sekali tak bisa disembuhkan. Ditambah trauma ketakutan bahwa perasaan yang sama berulang, ketika dia sempat sesekali jeda dari mood depresifnya). Orang seperti ini sama sekali kehilangan kendali atas dirinya. Dia mengalami kesepian total. Maka, selain mengajarkan mulianya amal memasukkan rasa bahagia ke dalam hati sesama (idkhaal as-suruur fi qalbil ikhwan), Rasul saw. pun pernah menyabdakan: “Berjalan (menemani) orang yang memiliki hajat (kebutuhan) (dan merasa putus asa dalam mengatasi masalahnya-HB) lebih kusukai ketimbang iktikaf sebulan penuh di masjidku”.
Kenapa? Karena orang depresi harus ditemani dan dibuat bisa merasa dicintai. Dua puluh empat jam jika bisa. Ya, bersama upaya terapi psikologis dan spiritual—sebutlah terapi psikologi integralistik*) kalau mau, termasuk terapi psikoanalitis, kognitif, logoterapis, dan transpersonal, serta medis—di atas semuanya itu, dia harus dicintai dan ditemani terus-menerus.
“Dan mereka berkata: ‘Segala puji hanya bagi Allah yang telah menghilangkan kesedihan dari kami. Sungguh, Tuhan Pemelihara kami benar-benar Maha Pengampun, lagi Maha Tanggap terhadap orang-orang yang bersyukur'” (QS. Fatir [35]: 34).
*) Psikologi integral adalah suatu aliran psikologi yang dipromosikan oleh Ken Wilber, seorang filsuf dan ahli psikologi, yang menggabungkan berbagai pendekatan psikologi dan terapi, termasuk psikologi dan terapi transpersonal (mistikal).