Orang-Orang yang Lari dari Kemerdekaan

Pada tahun 1941, Erich Fromm, seorang psikoanalis asal Jerman menulis sebuah buku berjudul Escape from Freedom. Melalui bukunya ini, ia melihat dalam kemerdekaan, orang-orang (malah) beramai-ramai meninggalkannya. Apa yang disampaikan Fromm tersebut, tampak punya relevansi dengan realitas kiwari—zaman yang sedang dijalani saat ini; zaman kontemporer.

Hari-hari ini, orang sangat haus akan validasi. Orang menjadi ketergantungan pada pembenaran dan pengakuan. Ia perlu memastikan orang lain berpihak dan mengerti segala tentang dirinya. Begitu pula dalam hal keyakinan, orang merasa sangat perlu dan berkewajiban untuk membuat orang lain ikut meyakini apa yang ia yakini, menyukai apa yang ia sukai, dan memilih apa yang ia pilih. Sembari mengabaikan fakta bahwa setiap manusia menjalani pengalaman hidup masing-masing yang berbeda-beda.

Kita seolah tak puas hati dengan mencukupkan kebenaran untuk diri sendiri terlebih dahulu. Sesegera mungkin, rasanya kita ingin langsung berdakwah mengajak orang lain untuk ikut segala hal yang kita ketahui dan yakini, bila tidak, dengan cepat kita mencap orang tersebut sebagai yang “menolak kebenaran” dan dengan nada iba mendoakannya “semoga cepat mendapat hidayah”. Padahal, boleh jadi kitalah yang keliru sebab memaksakan kebenaran kita pada orang lain. Bukankah ini tak ubahnya dengan penjajahan pikiran dan hati nurani?

Padahal, manusia itu dikaruniai akal oleh Allah. Setiap mereka punya pola pikir masing-masing yang unik dan khas. Ada yang mampu berpikir dengan rumit dan sistematis, ada pula yang lebih senang dengan jalan pikir sederhana dan mudah dimengerti. Sebagian lebih dominan otak kirinya, sehingga mampu menalar dengan sistem matematis dan logis. Yang lain cenderung menggunakan otak kanan, sehingga lebih peka terhadap keindahan dan kesenian.

Manusia juga adalah anak zaman. Mereka adalah produk masyarakat di suatu era tertentu. Yang mana corak zaman akan sangat memengaruhi kediriannya. Begitu lahir, ia telah dilingkupi oleh sistem sosial dan budaya tertentu mulai dari skala kecil dalam keluarga, hingga skala besar seumpama suku, ras, bangsa, negara, dan dunia. Kesemua itu memengaruhi cara pandang sang manusia dalam melihat dunia. Singkatnya, ia belajar lewat pengalaman hidupnya dalam keluarga dan masyarakat. Masing-masing pengalaman manusia sangat personal dan khas. Bagaimana interaksi mereka dalam sistem-sistem itu akan membentuk identitas dan kepribadian si manusia. Lewat itu, mereka tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang memiliki karakteristik tersendiri.

Baca Juga:  Muhasabah Diri dengan Cinta: Tak Cinta Maka Tak Kenal!

Dalam perjalanan hidupnya itulah, manusia mulai menemukan pola-pola dan prinsip hidup yang mereka yakini dan pegang kuat. Semisal manusia purba yang hidup di alam liar, setiap saat mereka diancam marabahaya dari pemangsa. Dari situ, mereka sadar bahwa untuk bertahan hidup mereka harus lebih kuat. Akhirnya, jadilah mereka manusia-manusia yang cakap secara fisik dan mulai mengembangkan alat-alat persenjataan dari batu dan logam untuk memperkuat diri.

Begitu pula dengan manusia modern yang hidup di daerah perkotaan. Mereka menyaksikan orang-orang kuat dan berpengaruh adalah yang berpendidikan dan mempunyai skil. Oleh karena itu, mereka sadar untuk senantiasa meningkatkan pengetahuan dan skil demi bisa bertahan dengan taraf hidup layak di kota.

Masyarakat petani yakin kalau punya banyak anak maka banyak rezeki. Keyakinan ini benar adanya, sebab bagi petani, banyak anak artinya banyak pekerja dan tenaga. Dengan demikian, tanah garapan semakin luas dan hasil panen dapat ditingkatkan. Lain halnya dengan orang kota, bagi mereka ‘dua anak cukup!’, sebab dengan begitu dapat meringankan beban ekonomi keluarga yang orangtuanya umumnya bekerja sebagai pegawai kantoran, buruh ataupun pedagang. Keyakinan-keyakinan semacam ini lahir dari worldview manusia yang diperoleh lewat pengalaman dan pengamatan sepanjang hidupnya. Semuanya benar, sesuai konteksnya masing-masing.

Begitu pula dengan pengalaman beragama. Ada sekitar 4000-an agama yang eksis di dunia saat ini. Masing-masing agama punya cabang-cabang yang jauh lebih banyak lagi. Dalam Islam kita menyebutnya mazhab. Ada dua aliran besar dalam Islam yakni Sunni dan Syiah. Dalam cabang Sunni itu ada pula cabang-cabang lagi, semisal dalam fiqh ada empat mazhab yakni Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Belum lagi kelompok-kelompok aliran dan organisasi Islam yang jumlahnya sangat banyak. Dalam Kristen juga demikian, ia memiliki cabang-cabang yakni Katolik, Protestan, dan Ortodoks yang masing-masing itu bercabang-cabang lagi lewat ajaran-ajaran gereja yang banyak jumlahnya. Sebuah pertanyaan yang muncul saat melihat kenyataan ini yaitu, mungkinkah setiap pemeluk agama itu mengalami pengalaman beragama yang sama, dengan intensitas dan kualitas yang sama?

Jawabannya tentu tidak. Apalagi mengingat berbeda-bedanya pengalaman hidup manusia sebagaimana yang dibahas sebelumnya. Maka mustahil manusia punya pengalaman beragama (atau kita bisa menyebutnya pengalaman spritual) yang sama. Meskipun ia mendatangi Masjid atau Gereja yang sama, namun sesungguhnya mereka tetaplah berjalan di jalannya masing-masing dalam mendekati Tuhan. Imajinasi dan penghayatan mereka pun tentu berbeda. Maka kita tak perlu merasa heran dengan kehadiran banyaknya agama dan aliran-alirannya di dunia ini. Itulah gambaran dari rupa-rupa spritualitas yang hadir sebagai hasil penghayatan manusia akan Yang Maha Segala itu.

Baca Juga:  Rida Allah, Rida Orang Tua

Dari sisi luarnya, kita menyaksikan beribu-ribu cara ibadah dan penyembahan. Ada yang mendatangi Kuil, Klenteng, Masjid, Gereja, Sinagog; ada yang beribadah dalam keramaian festival, perayaan, dan hari besar, namun adapula yang menyepi, bermeditasi dalam hening nun jauh di gua-gua; ada yang menembangkan lagu-lagu rohani, sedang sebagian yang lain larut dalam zikir-zikir. Semuanya—meski tampak berbeda—bertujuan satu, yakni mendekati Sang Pencipta agar damai hati, tentram jiwa.

Kita tak pernah tahu, kedalaman seperti apa yang dicapai seseorang dengan caranya menyembah Tuhan. Oleh karena itu, alangkah naifnya bila kita secara semena-mena memaksakan cara kita pada orang lain. Seolah ‘orang lain’ itu tak punya pengalaman sendiri serta tak memiliki kemandirian berpikir untuk menentukan jalan hidupnya. Kita lalu memutlakkan kebenaran hanya pada apa yang kita yakini, sedangkan apa-apa yang orang lain yakini adalah salah.

Apa yang ingin disampaikan di sini ialah kita tak boleh egois menghakimi orang lain dengan ukuran kita sebab masing-masing kita menjalani hidup yang berbeda. Kita jangan takut merdeka sekaligus memerdekakan orang lain untuk menjalani hidup mereka seutuhnya. Apa-apa yang kita anggap benar, tak mesti harus kita paksakan pada orang lain agar ia pun menganggapnya benar. Sebagaimana kita ingin diberikan kemerdekaan untuk memilih kebenaran kita, maka begitu pula dengan orang lain.

Jika ada perbedaan pilihan dengan orang lain, ya santai saja. Tak usah dibawa pusing. Kenapa harus ketakutan dengan pilihan orang lain? Atau jangan-jangan kita khawatir dengan keyakinan kita sendiri?

Merdekanya manusia itu adalah tatkala ia dapat secara spontan mengekspresikan dirinya dan perbuatannya, demikian kata Erich Fromm. Menjadi merdeka, artinya bebas untuk mewujudkan potensi diri tanpa kekangan dari pihak lain. Bebas pula memilih keyakinan, prinsip, dan dasar pandangan hidup sendiri tanpa intervensi dari pihak luar dirinya. Seperti obat, kita memilih dosis yang sesuai dengan penyakit kita. Begitulah hidup, kita memilih prinsip, keyakinan, dan pandangan yang cocok dengan kita. Dengan kata lain, kita memilih obat yang kita butuhkan.

Baca Juga:  Peran Para Tokoh Thariqah ‘Alawiyah dalam Bidang Sosial-Filantropik dan Perdamaian

Fenomena intoleransi dan fanatisme akut yang bergejolak sekarang, bisa kita lihat sebagai bentuk ketakutan akan kemerdekaan. Orang-orang yang tak siap diberi kebebasan untuk mandiri, menyerahkan dirinya untuk dijajah hati dan pikirannya oleh otoritas-otoritas di luar dirinya. Mereka rela dicekoki obat-obat dengan dosis yang kadang tak sesuai dengan jenis penyakit mereka. Lalu, karena keraguan pada keyakinan mereka sendiri, mereka mulai memaksa orang lain untuk ikut pula bersama mereka demi mendapat pembenaran sebanyak-banyaknya. Mungkin, mereka inilah yang disebut Erich Fromm, sebagai orang-orang yang lari dari kemerdekaan (Escape from Freedom).

Sebuah Analogi

Bayangkan, kita semua hendak pergi ke Jakarta. Sedangkan kita berasal dari daerah yang berbeda-beda. Ada yang dari Sulawesi, Sumatera, Jawa, NTT, NTB, Kalimantan hingga Papua. Semuanya bertujuan satu, yakni Jakarta. Ketika merencanakan keberangkatan, kita dapat memilih dengan kendaraan apa ingin pergi. Lewat jalan yang mana. Kapan waktunya. Semuanya ditentukan berdasarkan pilihan masing-masing.

Tentu, akan jadi aneh sekali bila kemudian pilihan-pilihan itu kita perdebatkan untuk mencari mana yang paling benar. Berdebat mengenai manakah yang benar ke Jakarta naik motor, mobil, kereta api, kapal atau pesawat? Lalu berdebat lagi tentang cabang-cabangnya, seumpama merek kendaraan, atau maskapai yang ingin dipilih. Padahal, semuanya benar pada posisinya masing-masing. Kalau kita terus menerus ribut di jalan, kapan kita akan sampai di tujuan?

Yang mesti diperhatikan ialah bila kita telah memilih jalan dan kendaraan yang ingin digunakan, maka  komitmenlah, istikamahlah dalam pilihan itu.  Kita tak perlu sibuk mencari-cari kesalahan pilihan orang lain. Bila memilih Islam, maka jadilah Muslim yang sebaik-baiknya. Bila memilih Kristen, jadilah Kristen yang sebaik-baiknya. Bila memilih Hindu, Budha, Konghuchu, maka jadilah umat yang sebaik-baiknya. Berlomba-lombalah untuk berbuat baik sebanyak-banyaknya hingga kita tak lagi disibukkan urusan membentur-benturkan keyakinan satu sama lain.  Inilah makna merdeka sesungguhnya, yakni saat orang-orang yang berbeda dapat hidup bersama dalam harmoni.

0 Shares:
You May Also Like