Soal Kebutuhan Orang Modern terhadap Keimanan
Manusia modern, betapa pun punya banyak sahabat, jalan-jalan ke sana kemari—ke pusat-pusat keramaian—sibuk bekerja nyaris 24/7 atau main sosmed seharian, sebetulnya makin merasa kesepian dan terpecah-pecah hidupnya.
Sepi, karena pada akhirnya hidup harus dijalani sendirian, kebahagiaan harus dicari di dalam hati. Terpecah-pecah akibat disorientasi yang diciptakan oleh luberan informasi (information spill over), serta perpecahan dan permusuhan sepanjang garis-garis politik identitas dan gejala kebingungan karena fenomena pasca-kebenaran bersama seluruh ekses pendahuluan maupun ikutannya. Belum lagi oleh serangan cukup mematikan kepada institusi keluarga, suatu institusi yang seharusnya bisa menjadi safe haven, suatu oasis penuh kedamaian—bagi setiap anggotanya serta tuntutan yang terus mengintimidasi untuk membangun citra/gengsi personal—dari kata persona yang bisa bermakna “topeng” yang tiba-tiba menjadi ukuran kesuksesan hidup.
Maka, manusia memang sudah ditakdirkan harus punya jangkar yang dipercayainya tak bisa goyah. Maka, jangkar itu, meski selalu bisa diperoleh dari kebijaksanaan orang-orang besar, atau dari sebuah gagasan besar yang bersifat rasional/intelektual, akan lebih kukuh dan tahan serbuan keraguan sekuat apa pun jika ia berakar dari keimanan. Keimanan kepada suatu Kekuatan Transenden yang sekaligus Kekuatan Kebaikan. Itulah Tuhan. Dan kepada Sahabat Tuhan, para Nabi dan Orang-orang Suci, yang menjadi pengejawantahan-Nya.
Persis inilah yang dinubuatkan William James ketika dalam bukunya yang berjudul The Principles of Psychology, dia katakan: “Meski peradaban akan menyeret manusia ke arah lain, manusia hanya bisa tenteram atau bahagia jika dia bersahabat dengan Sahabat Agung (The Great Socious)-nya…”