هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلْأَرْضَ ذَلُولًا فَٱمْشُوا۟ فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا۟ مِن رِّزْقِهِۦ ۖ وَإِلَيْهِ ٱلنُّشُورُ
“Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu dalam keadaan mudah dimanfaatkan. Maka, jelajahilah segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Hanya kepada-Nya kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk [67]: 15)
Dalam proses mempersiapkan program perjalanan ke Uzbekistan inilah, saya baru sadar bahwa objek destinasi paling penting untuk sebuah ziarah, apalagi ziarah sufi, di Asia Tengah, adalah Uzbekistan. Setidaknya ada dua alasan terkait ini.
Pertama, Uzbekistan adalah salah satu pusat peradaban dunia, yang di dalamnya pernah berkembang agama Budha, kebudayaan Yunani—yang dibawa oleh Alexander Agung, yang pernah menguasai wilayah ini—serta pengaruh Islam, yang sampai sekarang telah membentuk masyarakat Uzbekistan. Maka, yang kedua, di negeri ini kita bisa menemukan tokoh-tokoh terpenting ilmu-ilmu dan pemikiran Islam dalam sejarah agama ini, di berbagai bidang. Termasuk ilmu fikih, ilmu hadis, teologi, dan tasawuf.
Tak kalah penting dari itu semua, negeri Uzbekistan termasuk dalam suatu wilayah yang dikenal dengan nama Transaxonia atau Tranxoxiana. Yakni wilayah di sebalik sungai oxus. Oxus adalah nama yang diberikan oleh orang-orang Yunani atas sebuah sungai legendaris yang dikenal dengan nama Amu Darya. Inilah sungai sepanjang tak kurang dari 2400 km, yang dilingkupi oleh lima negara: Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Afghanistan, dan Turkmenistan. Dalam bahasa Arab, wilayah ini dikenal dengan maa waraa’an-nahr—terjemahan persis dari nama Transoxiana.
Dalam sejarah ilmu pengetahuan, wilayah ini memang dianggap pertemuan berbagai arus ilmu pengetahuan dunia. Yakni ilmu pengetahuan warisan Yunani, Persia, dan Arab/Islam. Juga interaksi antara para sufi Muslim dan rahib-rahib Budha. Di wilayah ini pula lahir berbagai disiplin ilmu modern di masa itu, termasuk filsafat, teologi kedokteran, Alkimia, dan sebagainya.
Hal ini mengingatkan saya pada masa-masa beberapa puluh tahun lalu, saat saya mulai secara serius mempelajari filsafat secara umum, dan filsafat ilmu pengetahuan pada khususnya. Tentang transmisi filsafat dan ilmu pengetahuan dari Yunani—dan Persia—ke Kristen dan Islam. Termasuk penerjemahan karya-karya filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Latin dan Syriac, sebelum akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Sungguh suatu surprised yang menggairahkan saya. Belum lagi ada episode dramatis penyerbuan dan penguasaan pasukan Mongol atas negeri ini. Apalagi setelah saya tahu bahwa di Uzbekistan saya akan bisa menziarahi para ilmuwan dan pemikir Islam besar, seperti Imam Bukhari dan Imam Turmudzi sebagai dua ahli hadis terbesar, teolog besar Ahlus-Sunnah Imam Abu Manshur al-Maturidi, sufi besar al-Hakim al-Turmudzi, Pendiri tarikat terbesar di dunia, yakni Sayid Bahaa’uddin al-Naqsybandi. Sebagai bonusnya, masih ada lagi ziarah kepada Syaikh Abubakar al-Qaffal, salah satu ahli fikih Syafi’i terkemuka.
Di luar itu, ziarah ini juga mempertemukan rombongan dengan Habibullah Salih, seorang sufi-kaligrafer terpandang di kota Tashkent, selain kunjungan ke Museum Arkeologi Tashkent, Madrasah Imam Bukhari, Komunitas Pengamal Naqsybandiyah, serta menziarahi makam Amir Timur—yang secara agak merendahkan biasa disebut Timur “Lenk”. Last but not least, program ini juga akan membawa rombongan memberikan penghormatan kepada makam Qutsam bin Abbas, sepupu dan sahabat Nabi—konon juga menjadi anak susuan Siti Fatimah. Selain pernah menjadi pemuka kota Madinah di masa Ali bin Abi Thalib, Qutsam adalah pemimpin ekspedisi pembebasan Asia Tengah, sebelum akhirnya berdakwah di Samarkand hingga wafat di kota ini.