Oleh: R. Sunarto
Penikmat Sastra, Filsafat, dan Tasawuf
Adakah Aku? Pertanyaan ini bisa menyerang pikiran manusia. Seperti yang dialami salah satu punjangga besar kita. Ia mempertanyakan tentang ada atau tiada dirinya. Pujangga besar itu bernama Sir Muhammad Iqbal. Awalnya Iqbal ragu tentang ada atau tiada dirinya, tapi kemudian ia yakin akan keberadaannya.
Apa yang membuat Iqbal yakin bahwa ia ada? Cinta! Yaa, cintalah mengumumkan bahwa ia ada, sebagaimana yang ia ungkapan dalam sebaris kalimatnya:
“Aku ragu ada dan tiadaku. Namun cinta mengumumkan, Aku ada!
Apa yang dialami Iqbal memberi petunjuk kepada kita bahwa cinta mampu membakar keraguan di hati kita. Tapi bukankah api dapat meredup dan bahkan mati. Jika begitu, cinta pun dapat meredup dan mati! Konsekuensinya tentu jika cinta meredup maka ‘kan terdengar pelan suara yang mengumumkan bahwa aku ada; jika cinta mati maka takkan ada lagi yang mampu menyakinkan aku ada. Kita akan hidup dalam keraguan dan bahkan bisa hidup dalam keyakinan bahwa aku tak ada.
Tidak ada pilihan lain, jika kita ingin memelihara suara yang mengatakan aku ada, maka kita harus memelihara cinta. Lantas, bagaimana cara memeliharanya?
Pertama-tama kita harus mencari tahu siapa yang dimaksud “cinta” oleh Iqbal itu? Pengetahuan kita tentang “cinta” akan memudahkan kita untuk mengetahui cara memeliharanya. Untuk mencari tahu siapa sebenarnya “cinta” yang dimaksud oleh Iqbal dalam kalimatnya itu, kita tentu perlu mengetahui terlebih dahulu siapa itu Iqbal? Salah satu cara untuk mengetahui Iqbal adalah dengan melihat karya-karya yang diwariskannya kepada kita.
Ada beberapa karya yang dihasilkan Iqbal semasa hidupnya. Secara garis besar karya-karya tersebut dapat kita bagi ke dalam dua kategori: falsafah dan sastra. Karya Iqbal Kategori falsafah misalnya, “The Recontructions of Religious Tought in Islam” dan “The Development of Metaphysics in Persia”. Karya sastra Iqbal kategori sastra misalnya Message from the East (Pesan dari Timur), Asrar-i-Khudi (Rahasia diri), Zabur-e-Ajam (Mazmur dari Persia) dan Rumuz-i-Bekhudi (Petunjuk tampa pamrih).
Keterkaitan Iqbal dengan falsafah di antaranya karena pernah berjumpa dengan Sir Thomas Arnold yang menjadi guru filsafatnya di Goverment College Lahore. Selain itu juga Iqbal pernah menempuh doktoral di Ludwigh Maximilian University of Munich dengan desertasi “The Development of Metaphysics in Persia”. Sedangkan keterkaitan Iqbal dengan sastra di antaranya karena ia pengagum berat maestro puisi mistik yaitu Jalaluddin Rumi. Ia juga pernah mengambil master studi seni di Trinity College, University of Cambridge. Saat berada di Heidelberg, antara falsafah dan sastra kemudian disatukan dalam karir akademiknya.
Iqbal lebih dikenal sebagai seorang sastrawan. Walau pun salah satu karyanya yang berjudul The Recontructions of Religious Tought in Islam” juga turut serta melambungkan namanya dalam diskursus pemikiran Islam. Banyak Komentar positif tentang Iqbal, terutama karya sastranya yang berusaha memasukkan kembali dimensi kehendak ke dalam pemikiran Islam –dimensi kehendak yang dianggap meredup dalam pemikiran Islam sehingga membuat peradaban Islam dianggap mengalami kemunduran.–
Dalam karya filsafat ataupun karya sastra Iqbal terdapat satu benang merah yaitu Allah. Seluruh karya Iqbal terdapat nuansa keterkaitan dengan Allah, sebagaimana karya idolanya yaitu Jalaluddin Rumi. Sehingga predikat sufi pun melekat padanya. Iqbal sangat mencintai Islam dan senantiasa menginginkan kebangkitan dan kehormatannya.
Berdasarkan hasil telisik kita terkait informasi karya-karya Iqbal, maka tidak heran jika sebagian orang menafsirkan “cinta” —pada kalimat di atas— itu adalah Allah. Setelah mengetahui (atau berhipotesa) bahwa cinta yang mengumumkan aku ada adalah Allah, tugas kita selanjutnya ialah bagaimana cara agar memelihara Allah.
Ada banyak cara yang dilakukan manusia untuk memelihara kedekatan diri kepada Allah, di antaranya dengan mengerjakan salat, puasa, zakat, haji, zikir, dan melakukan amaliyah terbaik (ihsan). Selain itu ada cara lain —tentunya setelah melakukan amaliyah-amaliyah wajib— untuk memelihara kedekatan kita kepada Allah yaitu dengan musik.
Terkait musik sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, Imam al-Ghazali dalam kitab Kimia Kebahagian pada bab Spritualitas dalam Musik dan Tarian berkata:
”Musik dan tarian tidak memberikan sesuatu yang sebelumnya tidak ada dalam hati, tetapi ia hanya membangunkan emosi yang tertidur. Karena itu, jika yang dibangkitkan adalah cinta kepada Allah—yang sangat dianjurkan syariat—musik dan tarian boleh dipergunakkan, bahkan dianjurkan. Sebaliknya, jika yang memenuhi hatinya adalah nafsu duniawi, musik dan tarian hanya akan memperburuk keadaannya sehingga keduanya terlarang.”
Salah satu komunitas manusia yang dikenal menggunakan musik sebagai asupan cinta adalah komunitas tasawuf. Mereka menggunakan musik untuk membangkitkan cinta kepada Allah. Lalu, apa artinya? Jika kita terapkan falsafah Iqbal tentang cinta yang membuat aku ada, maka itu berarti cinta akan senantiasa mengumumkan seorang sufi itu ada karena ia senantiasa memelihara Allah dalam kehidupannya. Dan salah satu metodenya ialah dengan musik.
(Nuralwala/DA)
Tentang penulis:
R. Sunarto tinggal di Pekanbaru. Seorang penikmat karya sastra, filsafat, dan tasawuf. Serta penikmat kopi, buku, dan diskusi. IG:@bangrob18 Email: robbisunarto@gmail.com.