Integrasi Tasawuf dan Filsafat Islam dalam Diskursus Cahaya

Nurul Khair

Magister Universitas Ahlul Bait Internasional Teheran

Konsep cahaya dalam pandangan tasawuf dan filsafat Islam bertujuan untuk mendeskripsikan eksistensi Tuhan dan makhluk-Nya. Meski diketahui bahwa tasawuf dan filsafat Islam memiliki pendekatan yang berbeda, akan tetapi dalam menjelaskan tentang Tuhan, keduanya menggunakan term yang sama yaitu cahaya.

Cahaya merupakan term sederhana yang dipandang oleh para filsuf dan sufi untuk menjelaskan eksistensi Tuhan dan makhluk, dikarenakan kesederhanaan itu cahaya tidak dapat disaingi oleh berbagai istilah-isitlah lainya dalam mengkaji dan membahas Tuhan. Tidak heran, kalau banyak literasi filsafat Islam dan tasawuf menyertakan term cahaya sebagai contoh ajaran-ajaran mereka.

Sebagai langkah awal penjelasan konsep cahaya dalam pandangan kaum sufi dan filsuf, kita dapat melihat potongan puisi Jalaluddin Rumi, berbunyi:

“Maka, kuciptakan cermin:…”

“Muka yang Cemerlang, hati”

“Punggung yang gelap, dunia”

Potongan puisi Jalaluddin Rumi mendeskripsikan makhluk sebagai cermin-cermin yang diciptakan oleh Tuhan, yang senantiasa menunggu proses pemancaran hakikat cahaya-Nya. Penjelasan kaum sufi mendeskripsikan bahwa wujud Tuhan dan makhluk-Nya mengalami perbedaan dalam lingkup eksistensi (keberadaan). Eksistensi Tuhan dalam pandangan kaum sufi merupakan Dzat mandiri yang tidak membutuhkan proses penantian yakni pantulan cahaya di luar diri-Nya. Sebaliknya, eksistensi makhluk merupakan substansi yang bergantung terhadap proses pantulan cahaya Tuhan.

Penjelasan kaum sufi mengenai eksistensi Tuhan dan makhluk memiliki kesalarasan dengan pandangan para filsuf. Suhrawardi dalam Hikmah al-Israqiyah menjelaskan eksistensi Tuhan dan makhluk melalui istilah-istilah cahaya. Suhrawardi membagi dua entitas cahaya di alam semesta, yaitu cahaya murni disebut nur al-anwar dan cahaya aksidental. Cahaya murni dalam pandangan Suhrawardi merupakan sumber penerang segala sesuatu di realitas. Cahaya murni bersifat mandiri, ia tidak membutuhkan cahaya di luar dirinya untuk menerangi dirinya. Ia senantiasa menerangi segala sesuatu di luar dirinya. Adapun, cahaya aksidental merupakan entitas yang bergantung pada cahaya murni. Cahaya aksidental tidak dapat menerangkan dirinya tanpa adanya pantulan dari cahaya murni tersebut.

Baca Juga:  Makna Pluralisme yang Sebenarnya

Selain menjelaskan perbedaan antara eksistensi Tuhan dan makhluk, para filsuf khususnya filsuf iluminasi dan para sufi mengkonfirmasi adanya gradasi manifestasi—tajalli—Tuhan. Terkait gradasi manifestasi Tuhan kaum sufi berpandangan, bahwa alam semesta terdiri dari berbagai tingkatan, mulai dari alam ahadiyah alam terdekat dengan cahaya murni.— Kemudian, alam ahadiyah memancarakan sinar yang diperoleh dari hakikat cahaya, sehingga terciptalah alam wahidiyah. Proses pancaran tersebut terjadi hingga sampai ke alam materi tingkatan paling bawah.

Dalam diskursus filsafat iluminasi, ditemukan teori gradasi cahaya yang menjelaskan proses penciptaan semesta melalui proses penyinaran, sebagaimana pandangan para sufi. Suhrawardi menjelaskan bahwa nur al-anwar merupakan sumber cahaya yang menerangi keberadaan segala sesuatu di luar dirinya. Proses penerangan nur al-anwar menciptakan cahaya pertama-secara kualitas, cahaya pertama memiliki tingkatan setara dengan alam ahadiyah, dikarenakan kualitasnya begitu dekat dengan sumber cahaya (nur al-anwar). Kemudian, cahaya pertama memancarkan sinarnya, sehingga cahaya kedua tercipta. Proses penerangan ini terus terjadi hingga menuju cahaya kesebelas yang merupakan cahaya terakhir dari seluruh cahaya.

Dari pelbagai penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa konsep cahaya merupakan term penting dalam ajaran-ajaran filsuf dan sufi. Keduanya menggunakan term cahaya untuk mendeskripsikan eksistensi Tuhan dan makhluk. Meskipun, diketahui bahwa para filsuf dan sufi memiliki pandangan berbeda dalam memahami eksistensi makhluk.

Kaum sufi memahami makhluk sebagai entitas kegelapan yang membutuhkan pantulan dari sumber cahaya. Sebaliknya, kaum filsuf memandang bahwa eksistensi makhluk memiliki kesamaan dengan eksistensi Tuhan, akan tetapi secara kualitas eksistensi makhluk bersifat lemah dan terbatas, sebaliknya eksistensi Tuhan bersifat kuat dan tak terbatas. Akan tetapi, dari berbagai perbedaan tersebut diketahui bahwa para filsuf dan sufi bersama-sama menyakini bahwa eksistensi makhluk merupakan eksistensi terbatas yang membutuhkan pantulan sinar untuk mengaktualkan potensi dirinya.

Baca Juga:  Fatimah Guru Ibn ‘Arabi

Dengan demikian, diketahui bahwa urgensi integritas tasawuf dan filsafat Islam dalam diskursus konsep cahaya bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai eksistensi Tuhan dan makhluk, serta menjelaskan sisi tanzih Tuhan yang begitu kuat dan tak terbatas.

(Nuralwala/DA)

Penulis bisa dihubungi melalui, Email: nurulkhair97@gmail.com FB: Nurul Khair dan IG: @nurulkhair97

0 Shares:
You May Also Like