Sang Mujaddid itu Bernama Gus Baha’
Jika di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo ada ulama “Ushuli” yaitu K.H. Afifuddin Muhajir, maka di Pesantren Al-Anwar Karangmangu, Sarang, Rembang ada K.H. Ahmad Bahauddin Nursalim yang “Qur’ani”.
Siapa yang tak kenal dengan Gus Baha’. Kemana-mana selalu memakai baju putih dan kopiah hitam. Jika berjalan, lebih banyak menundukkan pandangan dari pada menengadah menyapu sekitaran. Langkah kakinya mantap. Saat berbincang dan ngobrol senyumnya selalu merekah mengiringi pandangan matanya yang berbinar. Selingan humor sufistiknya membuat ratusan hingga ribuan orang terkesima mendengarkannya.
Kealimannya yang ditopang keluasan dan kedalaman wawasan keilmuannya telah membentuk kepribadian Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA yang bernama K.H. Nursalim al-Hafizh, senantiasa rendah hati dan menghormati sesama. Beliau adalah ulama yang berasal dari Rembang, dikenal sebagai salah satu ulama ahli tafsir yang memiliki pengetahuan mendalam seputar Al-Qur’an. Ia merupakan salah satu santri dari ulama kharismatik yaitu, Syaikhina K.H. Maimoen Zubair, Sarang, Rembang.
Dengan keluasan ilmunya, akhirnya Gus Baha’ dilirik oleh sejumlah akademisi untuk memberikan gelar doktor kehormatan (honoris causa). Namun, selalu ditolak olehnya dikarenakan beberapa kehawatiran yang beliau rasakan. Alih-alih menerima gelar, menjadi kiai dan mendidik santri dipilihnya sebagai jalan hidup yang ditekuninya hingga saat ini.
Tak seperti umumnya para kiai, meski kealiamannya sudah memuncak, kesederhanaan Gus Baha’ patut dicontoh oleh generasi milenial, di antaranya; menonjol di bidang tafsir, fikih, hafal Al-Qur’an, dan kitab-kitab kuning, menjadi Rais Syuriah PBNU di usia muda, pakar tafsir di Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta, dan sering berkirim surat dalam bentuk bahasa Arab kepada ulama-ulama internasional.
Awal-awal terkenalnya, tak sedikit yang mempertanyakan studi Gus Baha’, termasuk penulis sendiri. “Lulusan mana ya beliau, kok alimnya sampek kelewatan begitu?” Bagaimana tidak heran, ketika penulis mendengarkan pengajian-pengajiannya, Gus Baha’ tampil “power full” dalam menjelaskan hingga para audiens tak bisa mengabaikannya. Hebat.
Memang, agak susah membayangkan lahirnya seorang pakar (tafsir) Al-Qur’an yang hanya mengeyam studi di satu pondok seperti Gus Baha’. Karena pada umumnya, pakar-pakar tafsir san studi Islam lainnya biasanya lulusan Timur Tengah seperti Prof. Quraish Shihab, Kiai Said Aqil Siradj dan tokoh lainnya. Penulis yakin, bahwa Gus Baha’ masuk dalam kategori “Mujaddid” yang memiliki tugas untuk memperbaiki, membangkitkan, dan membersihkan Islam yang dinodai unsur bid’ah, kufarat, dan sebagainya. Di dalam hadis riwayat Abu Hurairah r.a, Nabi Muhammad saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah akan menurunkan (orang) setiap permula 100 tahun seseorang kepada Umat yang akan (tajdid) mengembalikan kegemilangan agama mereka”.
Syahdan, kita tahu Gus Baha’ sendiri tak pernah belajar di luar, baik di Timur apalagi di Barat. Seluruh jenjang studinya diselesaikan di Sarang asuhan Mbah Maimoen. Lebih dari itu (yang pasti) beliau belajar sendiri. Ini menunjukkan bahwa, kealimannya di bidang tafsir Al-Qur’an disamping belajar kepada gurunya, juga ditempuh melalui kerja keras dan ketekunan.
Allah swt. berfirman dalam Al-Qur’an: “Allah swt. akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 11).
Pepatah Arab mengatakan: “Istikamah lebih utama dari seribu karomah, dan tumbuhnya karomah dengan menjaga Istiqamah”.
Jelasnya, istikamah adalah mudawamah riyadhah, melangsungkan perkara fardu dan sunnah secara kontinu dan konsisten. Dengan demikian, tidak mungkin orang yang tidak istikamah mempunyai karomah. Kita bisa melihat orang yang punya karomah itu dari istikamahnya.
Karena itu, kita harus istikamah dalam iman dan keyakinan, istikamah dalam syariah dengan selalu mendukung tegak hidupnya syariat di tengah-tengah umat dengan diawali dari keluarga kita sendiri, istikamah dalam akhlak dengan menjadikan akhlak sebagai salah satu ujung tombak menyampaikan dakwah, istikamah di ranah ilmu dengan mengkaji ilmu Allah swt. yang terbentang luas, dan membela ajaran Allah swt. serta benci kepada setiap kekufuran.
Cara istikamah seperti di atas adalah dengan membangun kesadaran dari tiap pribadi yang didahului niat dan tentunya dengan kemauan kuat. Setelahnya, diadakan pembinaan secara intensif, dan saling mendukung di antara sesama umat Islam. Dan, menurut penulis, Gus Baha’ masuk dalam kategori ini.
Gus Baha’ juga kerap kali dijadikan contoh teladan oleh Mbah Moen di berbagai kesempatan tentang profil santri ideal. “Santri tenan iku yo koyo Baha’ iku….” (Santri yang sebenarnya itu ya seperti Baha’ itu….). Rupanya, selain mengeyam pendidikan di Pesantren al-Anwar Rembang, pernah suatu ketika ayahnya menawarkan Gus Baha’ untuk mondok di Rushoifah atau Yaman. Namun, Gus Baha’ menolaknya dan lebih memilih untuk tetap di Indonesia, berkhidmat kepada almamaternya yaitu Pesantren Al-Anwar dan pesantrennya sendiri LP3IA.
Dengan demikian, tak heran jika orang sekelas Prof. Quraish Shihab pernah berkata: “Sulit ditemukan orang yang sangat memahami dan hafal detail-detail Al-Qur’an hingga detail-detail fikih yang tersirat dalam ayat-ayat Al-Qur’an seperti Pak Baha’” ungkapnya.
Senada dengan Prof. Quraish, dalam suatu kesempatan, Ustadz Adi Hidayat juga pernah berkata: “Di Rembang itu ada manusia Qur’an yang tidak banyak dikenal orang. Itu kalau bapak-ibu tanya tentang fikih-fikih dalam Al-Qur’an, itu beliau luar biasa. Namanya Gus Baha’. Kapan-kapan kalau ada pengajiannya, hadiri. Itu di antara orang yang mengerti Al-Qur’an” terangnya.
Bagaimana tak mengakuinya, keilmuan yang dimiliki Gus Baha’ sangatlah lengkap (ibarat kamus berjalan). Mulai dari hafiz Al-Qur’an, ahli fikih, ahli tafsir, dan ahli ilmu alat (nahwu-sharaf). Bahkan masih banyak keahlian beliau yang tidak dimiliki oleh ulama-ulama yang lain.
Konon, sewaktu Gus Baha’ masih nyantri di Sarang, beliau tidak diperkenankan untuk mengikuti Bahtsul Masail. Banyak dari mereka kalangan santri yang menolak kehadiran Gus Baha’ di forum Bahtsul Masail karena kealimannya, dalam hal ini beliau sudah di luar garis (mushahhih). Ini membuktikan bahwa, Gus Baha’ memiliki kapasitas keilmuan yang luar biasa, sehingga untuk memecahkan sebuah masalah tak perlu repot kesana-kemari mengadakan Bahtsul Masail. Cukup ditangani Gus Baha’ semua persoalan akan selesai seketika.
Hal lain yang menarik dari Gus Baha’ adalah beliau menempuh jalan khumul. Seluruh waktunya dihabiskan untuk pesantren, para santri, dan umat. Apa itu khumul? Adalah satu jalan yang (lumrah) ditempuh oleh para sufi. Sederhananya, ia dimaknai dengan keterasingan, menyingkir dari hiruk-pikuk duniawi. Ibnu Athaillah al-Sakandari dalam al-Hikam berkata:
“Kuburlah dirimu dalam tanah yang tak dikenal, sebab sesuatu yang tumbuh dari biji yang tak ditanam tak berbuah sempurna”.
Mafhum, bahwa khumul ini adalah kebiasaan Nabi Muhammad saw. sebelum menerima wahyu. Pada waktu itu, kebiasaan nabi adalah berkontemplasi (merenung) di Gua Hira. Lebih dari itu, fungsi khumul adalah untuk mematangkan diri baik secara intelektual, spiritual, dan emosional. Pun, juga sebagai satu cara untuk menyucikan jiwa (tazkiyah al-nafs).
Masih tentang khumul. “Jadi komitmen hati saya hanya ingin mengenalkan ajaran Allah swt. ini indah. Ajaran Allah ini solusi. Saya ndak pernah kepikiran kalau itu jadi viral atau terkenal. Sampai sekarang pun saya tidak tahu kalau itu (dakwah saya) terkenal.” Terang Gus Baha’ saat ditanya Najwa Shihab di acara ngobrol: Lebih Dekat dengan Gus Baha’.
“Saya juga gak punyak WA (WhatsApp) dan gak mau dengar itu,” imbuh Gus Baha’.
“Gak punyak Gus?” tanya Najwa.
“Gak punya. Sampek sekarang gak punyak, makanya lewat adik,” jawabnya.
Tak hanya itu, lanjut Gus Baha’, “Keinginan saya menerangkan hukum Allah itu bukan karena saya ingin dikenal, tapi supaya hukum Allah itu dikenali, dan dipahami.” Itu sebabnya, Gus Baha’ merasa nyaman (baik terkenal atau tidak) ketika sudah memaklumatkan ilmunya Allah swt.
Dalam hal ini, kata Gus Baha’, “Sehingga saya tidak mau mendengar apakah orang menerima apa tidak, cocok atau tidak. Karena, terus jadi lucu saja kalau di dunia wali masih kedikte makhluk, karena cita-cita saya ingin menjadi wali.” Beliau menghidupkan ilmu-ilmu Al-Qur’an di tengah sementara orang banyak menganggap ilmu Al-Qur’an sudah tidak (dianggap) penting. Bahwa kebenaran harus dimulai dari diperkenalkan. Wallahu a’lam bisshawab.
* Penulis merupakan alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid Nurul Jadid, dan kader PMII Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo.