Jalaluddin Rumi: Puasa Wasilah Menyambut Hidangan Langit

Jalaluddin Rumi Muhammad bin Husin al-Khattabi al-Balkhi, dilahirkan di Balkh tanggal 6 Rabi’ulawal 604 H/30 September 1207 M. Ayahnya bernama Bahauddin Walad seorang hakim yang memiliki garis keturunan sampai Sayidina Abu Bakar ash-Shiddiq—sahabat senior Nabi Muhammad saw.

Kaum sufi termasuk Rumi menyadari betul bahwa pengalaman spiritual itu tidak bisa ditransfer secara menyeluruh dengan bahasa sehari-hari, maka mereka lebih memilih menggunakan bahasa sandi atau bahasa simbol, sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Junaid al-Baghdadi, “Ucapan kami (para sufi) adalah simbol dan isyarat”.

Ibn ‘Arabi di dalam Al-Futūẖāt memberikan penjelasan terkait kenapa para guru sufi memilih bahasa simbolis/isyarat saat membagi pengalaman spiritual mereka? Apa problem bahasa religius yang mereka hadapi? Serta apa dasar mereka memilih bahasa simbol/isyarat?

Menurut Ibn ‘Arabi, “Yang dilakukan oleh sahabat-sahabat kami—para guru sufi—yang lebih memilih untuk menggunakan bahasa isyarat itu atas dasar Al-Qur’an sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Sayyidah Maryam saat berhadapan dengan para pendusta, ‘Maryam menunjuk kepada bayinya (bagaikan berkata, “Tanyalah anak ini (Nabi Isa as.), dia akan menjawab, dia akan menjelaskan kepada kamu duduk soalnya!”). Mereka (kaumnya berkata): “Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil  (yang masih) dalam ayunan?” Dia (Nabi Isa putra Maryam., seketika itu masih bayi) berkata: “Sesungguhnya aku (adalah) hamba Allah, Dia telah (pasti akan) memberiku al-Kitab (Injil) dan Dia telah (pasti akan) menjadikan aku seorang Nabi” (QS. Maryam [19]:29-30). Karena itu, ungkapan/perkataan sahabat-sahabat kami berupa bahasa simbol/isyarat-isyarat, walaupun sejatinya ungkapan mereka itu hakikatnya adalah tafsir dari Kitab Suci yang penuh dengan kemanfaatan. Walau pun demikian, mereka enggan menyebutnya sebagai penjelas (tafsir). Dikarenakan, agar mereka terlindungi dari ancaman ulama fikih dan agar tidak mendapatkan tuduhan kafir dari mereka.

Baca Juga:  Manusia, Akal dan Kemuliaan

Agaknya atas dasar itu, Rumi menjadikan puisi sebagai sarana untuk menyampaikan ide mistiknya. Karyanya yang paling terkenal ialah Al-Mastnawi al-Maknawi, terdiri enam jilid yang memuat 26.000 bait syair mistik dan 424 kisah.

Terkait dengan puasa, di dalam salah satu syair mistiknya, Rumi berkata:

Tahanlah bibirmu dari makan dan minum,

bergegaslah menyambut hidangan langit.

Di syair yang lain Rumi berkata:

Ketika kau kosongkan perutmu dari makanan,

maka ia akan dipenuhi oleh perhiasan berharga.

Dua potongan syair di atas menunjukan, Rumi dengan tegas menjadikan puasa sebagai wasilah untuk melahap makanan rohani yang suci. Nyatanya demikian. Ketika perut kita terpenuhi oleh makanan-makanan jasadi efeknya menjadi lemas dan membuat daya analisis kita rendah atau tumpul serta syahwat bengis akan muncul dalam jiwa kita. Hal yang sama juga ketika pikiran kita fokus dengan hal-hal yang bersifat fisik/jasadi, maka kita secara tidak sadar telah menghijab diri kita untuk memikirkan dan mengakses pengetahuan spiritual yang amat dasyat itu. Berkenaan dengan ini, Yahya bin Mu’azd bernah berkata, “Lapar itu seperti cahaya, kenyang bagaikan api, dan syahwat itu diibaratkan kayu yang dapat dibakar yang apinya tidak akan mati sebelum membakar pemiliknya”.

Imam al-Qusyairi (guru sufi sebelum Rumi) dalam Ar-Risālah, Bab Al-Jau’ wa Tark al-Syahwat mencatat Rasulullah (teladan utama para sufi termasuk Rumi) menjadikan puasa (mengosongkan makanan) merupakan aktivitas yang sering diamalkan.

Dari Anas bin Malik, dikisahkan, “Fatimah pernah membawakan potongan roti kepada Nabi. Singkat cerita, Nabi berkata kepada Fatimah, ‘Potongan Roti ini adalah makanan pertama yang masuk ke perut ayahmu selama tiga hari'”.

Estafet ritus puasa untuk dapat mengakses hidangan langit dan pengetahuan sejati dilanjutkan oleh para guru sufi lainnya. Imam al-Qusyairi melaporkan, Sahal al-Tustari bernah berkata, “Ketika Allah menciptakan dunia, Dia menjadikan kenyang untuk kemaksiatan dan kebodohan, dan menjadikan lapar untuk ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan”. Di dalam ucapan yang lainnya, Sahal al-Tustari berkata, “Jika aku lapar akan menjadi kuat dan jika ia makan ia menjadi lemah”.

Imam Al-Qusyairi mencatat salah satu mutiara hikmah Syekh Muzhaffar ialah, “Lapar jika dibarengi dengan qana’ah, akan menjadi ladang pemikiran, sumber hikmah dan kehidupan cerdas, dan pelita hati“.

Baca Juga:  BERTEMU AL-GHAZALI DI BASEMENT SEBUAH TOKO BUKU DI HARVARD SQUARE (BAGIAN 2)

Memaknai puasa seperti ini akan berdampak pada transformasi diri, sehingga setiap menjalani perjalanan kehidupan kita bisa menangkap pesan-pesan Tuhan yang terkandung di balik peristiwa yang kita alami. Dengan bercermin pada pandangan Rumi dan para guru sufi yang lainnya terkait puasa, akan membawa kita untuk lebih sigap lagi dalam mempersiapkan diri (isti’dād) dalam menangkap ilmu Tuhan yang begitu luas. Inilah renungan Maulana Jalaluddin Rumi terkait puasa yang memiliki kesamaan dengan para guru sufi sebelumnya. 

Sumber Bacaan:

Abul Qāsim ‘Abdul Karīm bin Hawāzin al-Qusyairī, Ar-Risālah al-Qusyairiyyah, diedit oleh Aẖmad Hāsyim al-Salamī, Beirut: Dār al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 2013.

Muẖyi al-Dīn Ibn ‘Arabī, Al-Futūẖāt al-Makkiyyah,  diedit oleh Aẖmad Syamsuddīn. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2011.

Afifah Ahmad, Ngaji Rumi: Kitab Cinta dan Ayat-Ayat Sufistik, Bandung: Afkaruna.id, 2021.

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Menuju Manusia Rohani

Kita tahu, kebiasaan mengurangi makan atau lapar, di kalangan sufi bukanlah sesuatu yang baru atau cerita-cerita dongeng. Kebiasaan…