Obrolan dan diskusi tentang tradisi filsafat Islam Pasca Mulla Sadra masih berlanjut ke periode selanjuntya, yaitu periode Qajar. Periode ini tentu dapat dikatakan sebagai periode kedua setelah sebelum yaitu periode Safawi, dari tradisi filsafat Islam Pasca Mulla Sadra yang ada dan berpusat di kota Teheran, sebagai ibu kota Iran.
Periode Qajar ini, terjadi kira-kira sekitar awal abad ke-XIII/XIX, di mana ajaran-ajaran Mulla Sadra dibangkitkan kembali secara penuh di Isfahan. Tokoh penting yang membangkitkan kembali ajaran Mulla Sadra seperti, Mulla Ismail Khajui (w. 1173 H/1760 M), dan Mulla Ali Nuri (w. 1246 H/1830 M).
Tokoh terakhir ini, memiliki kedudukan penting sebagai komentator besar atas Asfar al-Arba’ah karya Mulla Sadra, dan dianggap sebagai tokoh yang mengajarkan filsafat Mulla Sadra hingga tiga generasi melampaui satu zaman selama tujuh puluh tahun.
Anggapan tersebut, didasarkan pada keberhasilan dan kesuksesan Mulla Ali Nuri dalam mengajarkan filsafat di madrasah yang baru didirikan oleh Muhammad Khan Marwi di pusat kota. Dikemudian hari madrasah ini dikenal sebagai Madrasah Marwi: pusat pembelajaran filsafat yang diperhitungkan. Bahkan, cerita kesukesasn tersebut terdengar sampai ke Isfahan, dan banyak filsuf berimigrasi ke kota metropolis baru ini.
Di periode Qajar ini pula juga, menjadi saksi kemunculan sejumlah filsuf lain yang ikut terkenal seperti, Mulla Ali Zanuzi (w.1307/1890) dengan karyanya berjudul Badayi’ al-Hikam. Karya ini mencoba memberikan jawaban-jawaban secara Islam atas persoalan antinomi aliran filsafat kantianisme yang dilontarkan beberapa intelektual Persia yang baru kembali dari Eropa. Sebab karena itu, Mulla Ali Zanuzi dianggap sebagai filsuf yang paling genius dan kreatif di zamannya.
Tokoh lain yang ada dan mengajarkan prinsip-prinsip filsafat Mulla Sadra dan Suhrawardi adalah Hajji Mulla Hadi Sabziwari (w. 1295 H/1878 M). Tokoh yang satu ini hampir di seluruh Isfahan dianggap pujangga, filsuf, dan orang suci yang dihormati di seluruh Persia.
Konon, dalam suatu catatan, bahkan seorang raja hingga berkunjung ke rumahnya di Sabziwar di Khurasan. Karya Sabziwari yang terkenal Syarh al-Manzumah, berisi tentang ringkasan prinsip-prinsip filsafat Suhrawardi dan Mulla Sadra dan juga menjadi buku pegangan standar bagi pelajar filsafat Islam di Iran.
Mulla Hadi Sabziwari juga mengulas dan memberi komentar pada karya pendahulunya seperti, Hikmah al-Isyraqi karya Suhrawardi dan Asfar al-Arba’ah, serta Mafatih al-Ghaib karya Mulla Sadra. Komentarnya terhadap Asfar al-Arba’ah dianggap menjadi tulisan yang paling komprehensif. Selain menulis buku-buku filsafat, Sabziwari juga menulis tentang gnosis baik, dalam bahasa Arab maupun bahasa Persia, termasuk komentarnya atas Matsnawi karya Jalaluddin Rumi (1207-1273).
Pada masa periode Qajar ini, tradisi filsafat Islam berkembang menjadi dua aliran yaitu, aliran Suhrawardian-Sadrian dan aliran Syikhiyyah yang mengklaim diri sebagai lawan dari aliran Suhrawardian. Kedua aliran filsafat Islam ini diwakili oleh Mulla Ali Nuri yang dikenal sebagai menyebarkan filsafat Mulla Sadra.
Sedangkan tokoh aliran iluminasionis yang paling utama diwakili oleh Hajji Mulla Hadi Subziwari yang merupakan sosok yang paling gigih menghidupkan kembali ajaran Suhrawardi.
Di antara kedua aliran ini dapat dikatakan sangat menghindari terjadinya perdebatan antara kaum Ushuli dan Syikhiyyah. Sebab, ada semacam kecenderungan atas praktek asketik yang menjadi salah satu alasan Sabziwari menjadi terkenal.
Penekanan pada unsur asketik sebagai elemen penting pada kajian filsafatnya tampak jelas pada syair-syair dalam karyanya. Unsur asketik ini juga oleh sebagian kalangan dianggap menjadi posisi yang paling penting dalam menghidupkan tradisi Hikmah al-Isyraq.
Dengan demikian, dapat dikatakan selama periode Qajar ini, Teheran secara bertahap meningkat menjadi pusat studi filsafat Islam, dan banyak guru-guru yang sangat terkenal di akhir periode Qajar ini hingga perang dunia kedua, seperti, Sayyid Muhammad Kazim as-Sar (w. 1394 H/ 1975 M), dan Sayyid Abu Hasan Qaswini (w.1394 H/ 1974 M).
Dan, paling terkenal ada dua nama tokoh, terdiri dari ayah dan anak yatiu, Mulla Abdullah Zanuzi dan anaknya bernama Mulla Ali Zanuzi yang menulis komentar terhadap karya Mulla Hadi Sabziwari semuanya ini mengajar di madrasah di Teheran. Keduanya, dan Mizra Mehdi Asthiyani (w.1373 H/ 1953 M) menjadi penyokong terkemuka pemikiran Suhrawardi dan Mulla Sadra.
Selain menguasai pemikiran Mulla Sadra, Mulla Zanuzi juga dianggap berhasil mendeskripsikan pertemuan dua keilmuan antara filsafat Islam dan filsafat Barat Eropa, khususnya filsafat Immanuel Kant. Sementara Mulla Abdullah Zanuzi menulis buku berjudul Lama’at-i Ilahiyyah.
Buku ini menguaraikan pengaruh Suhrawardi dan Mulla Sadra terhadap para filsuf periode Qajar seperti, Muhammad Isma’il Isfahani, Mulla Muhammad Ja’far Langarudi, Mulla Isma’il Khaju’i, Mirza Mahdi Asythiyani, dan Mirza Thahir Tunkabuni.
Beberapa dekade ini, kira-kira sejak berakhirnya perang dunia kedua, kota Qum tetap menjadi pusat pengajaran dan studi yang sangat penting dalam menjaga tradisi filsafat Islam. Ada tokoh seperti, Allamah Sayyid Muhammad Husayn Thabathaba’i (w.1402 H/ 1981 M). Karyanya yang sampai pada generasi ini seperti, Usul-i Falsafah wa Rawisy-i Ri’alisme atau dalam versi bahasa Inggris menjadi The Principles of Philosophy and The Methods of Realism, berupa tanggapan terkait filsafat dari latar belakang metafisika Sadrian atas filsafat Marxisme.
Dari Allamah Thabathaba’i dan para guru yang lain ini, kemudian muncul tokoh seperti, Murtada Muthahhari (w. 1399 H/ 1979 M), Sayyid Jalal al-Din Asytiyani dan Mahdi Ha’iri Yazdi dan Sayyed Hossein Nasr, serta yang lain di mana kesemuanya mendapatkan tradisi filsafat Islam hingga dewasa ini.
Kemunculan tokoh seperti Mahdi Ha’iri Yazdi dan Sayyed Hossein Nasr serta yang lain hingga dewasa ini dianggap sebagai kebangkitan kembali tradisi filsafat Islam di mana belakangan ini banyak menemukan tantangan baru dari pemikiran filsafat barat modern yang membutuhkan dialog dengan ajaran dan pemikiran lain di dunia Islam hingga dikenal sebagai sebuah tradisi intelektual yang hidup di kalangan intelektual Barat.
Pada akhirnya kita harus mengakui bahwa tanah Persia tak hanya memiliki tentang tanah sebagai perawat tradisi filsafat Islam. Namun, juga bisa menjadi arena utama untuk aktivitas dalam filsafat Islam.
Terbukti, filsafat Islam pasca Mulla Sadra juga menyebar secara luas di benua India dan di Iraq tradisi filsafat Islam mulai menampakkan kemajuan dan tak menunjukkan padam hingga kini, seperti yang tampak dalam karya-karya Muhammad Baqir al-Sadr (w. 1400 H/ 1980 M) semisal Falsafatuna.
Ajaran metafisikanya menghasilkan tanda yang sangat jelas dan menampakkan kebenaran Islam dengan apa yang kemudian disebut sebagai “teosofi transenden” dewasa ini.