Hijrah (15): Hijrah Tak Pernah Berakhir

Satu hari di masa yang lampau, seorang dewa bernama Marduk bertarung dengan dewa lainnya bernama Kingu (dewa yang konon katanya merupakan dewa paling bodoh dan tidak sakti). Marduk berhasil mengalahkannya, ia menebas Kingu hingga bersimbah darah. Oleh Marduk, darah Kingu dicampur dengan abu tanah, lalu dari itu terciptalah manusia. Demikian, cerita penciptaan manusia yang dimuat dalam Enuma Elish, kitab mitos penciptaan manusia yang berasal dari Babilonia.

Kisah di atas, meski datang dari zaman yang jauh (dan tidak mesti diyakini benar), memuat sebuah pesan penting bahwa manusia tercipta dari dua bahan baku yang amat bertentangan, yakni abu tanah dan darah dewa (katakanlah entitas ilahiyah). Yang pertama, menggambarkan kerendahan dan kehinaan, sedang yang kedua menunjukkan kesucian dan kemuliaan. Dengan demikian, manusia merupakan gabungan dari dua kontradiksi antara Yang Mahatinggi dan Yang Maharendah.

Berabad-abad setelahnya, Nabi Muhammad saw. menerima wahyu yang menjelaskan hakikat yang hampir serupa. Allah berfirman dalam Al-Qur’an :

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “Sungguh, Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering dan lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)-nya, dan telah meniupkan roh-Ku  ke dalamnya, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud” (QS. Al-Hijr [15]: 28-29).

Dalam ayat di atas, dijelaskan bahwa manusia diciptakan Tuhan dari tanah liat yang ditiupkan ruh Tuhan ke dalamnya. Menurut Syariati, kedua istilah itu (tanah liat dan ruh Tuhan) menandakan sifat manusia yang ganda dan kontradiktif. Di satu sisi, manusia diciptakan dari tanah (yang hina), namun di sisi lain dalam diri manusia telah ditiupkan Ruh Tuhan yang suci. Dengan demikian, manusia menempati posisi di tengah-tengah antara dua kutub berlawanan.

Senada dengan itu, Blaise Pascal menyebutkan dalam bukunya Two Infinites bahwa manusia berdiri di antara dua yang tidak terbatas, yakni antara besarnya kelemahan dan kerendahan dengan besarnya keagungan dan kemuliaan. Sehingga manusia dapat mencapai keadaan yang tak terhingga dalam kenistaan, kejahatan dan keburukan, sebagaimana ia berpotensi pula mencapai yang tak terhingga dalam kemuliaan, keindahan, dan kesempurnaan. Pertentangan ini, bahkan digambarkan oleh Syariati sebagai pertentangan antara Tuhan dan Iblis bak tesis dan antitesis yang senantiasa berdialektika dalam diri manusia sepanjang hidupnya.

Baca Juga:  Kenapa Pengetahuan tentang Tuhan Disebut Iman (Kepercayaan)?

Lalu, apa kiranya hikmah dibalik diciptakannya makhluk semacam ini? Sebagai Zat Mahasempurna, Tuhan tentu memiliki rencana dalam setiap ciptaan-Nya dan tidaklah Ia menciptakan sesuatu yang sia-sia.

Menjawab ini, dalam ayat lain, dijelaskanlah bahwa Adam, manusia pertama—atau dalam interpretasi Syariati disebut sebagai simbol dari keseluruhan entitas manusia—diciptakan demi tugas menjadi khalifah di bumi. Dengan demikian, seluruh manusia pada hakikatnya lahir demi misi menjadi seorang khalifah atau perwakilan Tuhan di bumi. Ketika para malaikat memprotes, Allah berfirman bahwa Ia tahu apa yang mereka (malaikat) tidak tahu.

Kandidat makhluk yang dapat menjadi khalifah haruslah memenuhi beberapa syarat. Pertama, makhluk tersebut haruslah terdiri dari materi, sebab bumi adalah bagian dari alam materi. Kedua, makhluk tersebut mestilah memiliki karakteristik Tuhan dalam dirinya, sebab ia akan menjadi wakil Tuhan di bumi.

Mungkin inilah alasan kenapa bukan malaikat yang menjadi khalifah, sebab malaikat adalah entitas non-materi yang tidak mungkin mewujud di alam materi; juga tidak mungkin hewan, sebab hewan dalam dirinya tidak terdapat sifat-sifat ketuhanan. Maka, jadilah manusia, makhluk dengan tubuh materi namun berisi ruh Tuhan sebagai kandidat terpilih menjadi khalifah fil ardh.

Namun, sebagai konsekuensinya, terjadi tarik-menarik antara kebaikan dan kejahatan dalam diri manusia. Bahkan tak jarang, manusia melupakan misi utamanya hadir di alam semesta ini. Sebab ia terlena dan sibuk memuaskan hasrat hewani dalam dirinya. Dan, sebagaimana yang telah dijelaskan, tak ada batasan dalam dua potensi diri manusia tersebut. Sehingga, manusia bila terus menerus mengikuti keinginan-keinginan jahat (sisi hewan, tanah liat) dalam dirinya, maka ia akan terjerumus begitu dalam hingga tenggelam menuju kehinaan yang tidak terhingga. Dan manusia semacam ini, alih-alih menjadi khalifah yang menjaga keharmonisan alam, ia justru akan menjadi perusak di manapun ia berada. Para koruptor yang menyengsarakan rakyat, perusak alam, dan ahli maksiat yang memuja kenikmatan duniawi adalah manifestasi dari ekstrem ini. Orang-orang semacam ini, takkan pernah merasa puas, dan akan terus menjatuhkan dirinya dalam kubangan tanah, hingga—sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an—menjadi lebih hina dan sesat dari binatang.

Baca Juga:  Kaum Muslim Mengapresiasi Filsafat Neoplatonisme

Sebaliknya, di sisi ekstrem lainnya, ada orang-orang yang berlebihan dalam hal ukhrawinya. Menjadi sangat benci pada dunia dan dengan radikal meninggalkan semua hal-hal duniawi. Sifat semacam ini juga punya sisi negatif, sebab membuat pelakunya cenderung menjauh dari kehidupan sosial, sehingga tak punya kontribusi positif dalam masyarakat. Betapa banyak tanggungjawab yang mereka tinggalkan, baik tanggungjawab pada diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Bahkan, dalam beberapa sekte, ada praktik-praktik menyiksa tubuh secara berlebihan yang katanya bertujuan untuk membunuh nafsu dalam diri. Lebih jauh, paham-paham radikal dan ekstrem yang membuat orang sanggup melakukan perbuatan-perbuatan keji seperti bom bunuh diri dan terorisme juga lahir dari keinginan untuk mengabdi kepada Tuhan (tentu saja, ini merupakan kesalahpahaman terhadap ajaran agama). Ini semua memperlihatkan kepada kita bahwa menjadi ekstrem dalam hal apapun adalah kekeliruan.

Lalu, pertanyaannya, bagaimana kesempurnaan manusia itu? apakah kesempurnaan manusia dapat dicapai hanya dengan fokus pada penyempurnaan jiwa, ruh saja dengan mengabaikan kebutuhan-kebutuhan badan? Atau sebaliknya hanya fokus pada penyempurnaan fisik/badan saja dan tidak memedulikan kebutuhan jiwa rohani?

Muthahari menjelaskan bahwa kesempurnaan (kamal) manusia terletak pada kestabilan dan keseimbangan nilai-nilainya. Ia melanjutkan bahwa manusia dapat dianggap sempurna, ketika tidak hanya cenderung pada satu nilai saja, dari sekian nilai yang ia miliki. Dalam diri manusia, terdapat nilai jasmanai dan rohani. Dengan demikian, kesempurnaan manusia ialah dengan keseimbangan dalam perkembangan dua nilai tersebut.

Lebih lanjut, Muthahari  mengibaratkan keseimbangan dalam perkembangan ini dengan pertumbuhan pada anak kecil. Seorang anak dikatakan sehat, yakni bila pertumbuhannya seimbang seluruhnya. Antara kepala, tangan, kaki, perut dll. Tumbuh secara proporsional. Ketika hanya satu, semisal kaki saja yang tumbuh, sedang yang lain tidak, maka bisa dikatakan itu merupakan kelainan. Memang anak ini dikatakan berkembang, namun perkembangan yang tidak seimbang dan stabil.

Baca Juga:  Makna Batin Kisah Maryam

Dalam diri manusia, tuntutan kebutuhan jasmani dan ruhani harus dipenuhi secara bersamaan dan seimbang, kebutuhan jasmani dapat terpenuhi dengan hal-hal yang bersifat materi sedangkan kebutuhan ruhani harus dipenuhi dengan yang bersifat spiritual seperti ibadah, zikir, etika, dan amal saleh lainnya. Apabila kedua hal tersebut tidak dapat dipenuhi secara adil maka kehidupan manusia itu dapat dipastikan akan mengalami kekeringan dan kehampaan bahkan tidak menutup kemungkinan bisa mengalami gangguan kejiwaan.

Setiap kali satu potensi bertumbuh, mestilah diiringi dengan pertumbuhan potensi lainnya. Sepanjang hidup, proses inilah yang semua manusia perjuangkan, yakni sebuah perjalanan untuk tetap berada di tengah keseimbangan. Quraish Shihab memberikan gambaran bahwa shirath al-mustaqim merupakan jalan lurus yang lebar. Orang-orang yang selamat ialah orang yang terus berada di bagian tengah, sedang yang berada di pinggir (sisi ekstrem entah kiri ataupun kanan) sangat rawan tergelincir dan jatuh. Tentu saja ini (meski sangat sederhana secara teori) merupakan hal yang tidak mudah untuk dilakukan. Namun, untuk inilah kita ada di dunia. Kita ada untuk terus berhijrah menuju Dia dengan segala rintangannya. Dan hijrah (menyempurna) dalam keseimbangan inilah yang mesti kita perjuangkan. Sebuah perjuangan tanpa akhir.

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Ziarah ke Sebalik Sungai Amu Darya (Bagian 2)

هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلْأَرْضَ ذَلُولًا فَٱمْشُوا۟ فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا۟ مِن رِّزْقِهِۦ ۖ وَإِلَيْهِ ٱلنُّشُورُ “Dialah yang menjadikan…