Mendialogkan Sistem Ketatanegaraan Islam: Sebuah Catatan

Diskursus relasi agama dan negara kerap kali menjadi topik utama dalam banyak forum ilmiah, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Dari sudut substansi, tema ini cukup penting dan strategis guna mencari pola hubungan sosial yang ideal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karena itu, tidak mengherankan jika tema ini selalu up-to date diperbincangkan dalam rangka membingkai konsep ketatanegaraan dalam Islam, di tengah cepatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dan dinamika sosial kemasyarakatan.

Wacana sistem ketatanegaraan Islam semakin signifikan untuk terus digagas, lantaran Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber primer ajaran Islam tidak pernah berbicara secara mendetail (juzi) dan terperinci (tafshili) menyangkut relasi agama dan negara. Sebaliknya, teks wahyu banyak mengungkap soal hubungan negara dan agama secara global (ijmali) dan garis besar (kulli).

Dalil-dalil kulli yang hanya memberikan aturan, secara global dapat tercermin, misalnya, dalam pesan-pesan moral tentang pentingnya penegakan keadilan (al-‘adalah), asas persamaan di muka hukum (almusawah), demokratisasi (asysyura), penegakan HAM dan kebebasan (al-hurriyah), dan lain-lain. Dalam konteks ini, pemaknaan teks dengan mempertimbangkan perubahan konteks yang terus terjadi mempunyai arti yang sangat strategis. Tujuan akhirnya ialah untuk mengimplementasikan kemaslahatan, di tengah kehidupan masyarakat melalui instrumen politik yang beradab.

Dominannya dalil-dalil kulli tentang hubungan negara dan agama, menyiratkan kelenturan Islam dalam mengapresiasi perkembangan masyarakat yang terus terjadi sepanjang sejarah. Peran nalar manusia lalu menjadi sangat sentral dalam menghubungkan teks-teks agama dengan realitas masyarakat yang cenderung mengalami perubahan. Kenyataan seperti ini menunjukkan adanya suatu kewajaran, jika persoalan relasi agama dan negara selalu menarik untuk diperbincangkan oleh banyak kalangan. Terlebih pada abad kita sekarang, ilmu ketatanegaraan mengalami perkembangan yang cukup pesat dan dinamis.

Baca Juga:  Terlalu Banyak Narasi Perang dalam Sejarah Islam

Persoalannya ialah bagaimana hubungan agama dan negara dapat memunculkan nilai-nilai keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, keharmonisan, serta sesuai dengan tujuan akhir diturunkannya ajaran agama, yakni menebar kemaslahatan dan mencegah kerusakan. Tujuan akhir seperti ini, dalam terminologi yurisprudensi Islam, disebut dengan maqashid asysyariah.

Dalam Islam, seluk-beluk persoalan politik masuk kategori fiqh muamalah (hukum sosial). Dalam nomenklatur fikih, terdapat kaidah (maxim) yang menyatakan bahwa pada prinsipnya, hukum muamalah ialah ibahah. Kaidah fiqh mengatakan:

الأصل في المعاملة الاباحة

Hukum asal muamalah adalah boleh dilakukan (kecuali terdapat dalil yang melarangnya).

Kaidah lain mengatakan:

المعاملة طلق حتى يعلم المنع

“Pada dasarnya fiqh muamalah bebas dilakukan, hingga diketahui adanya larangan”.

Dengan mengacu pada kedua kaidah fikih tersebut, ketentuan mengenai persoalan politik dan sistem pemerintahan tidak memerlukan dalil teks agama yang rinci. Dasar pembentukan sebuah pemerintahan dalam Islam ialah kemaslahatan yang dituangkan secara verbal dalam bentuk dalil kulli, yakni berupa prinsip-prinsip umum dalam berbagai seruan moral. Sementara, menyangkut detail operasionalnya, Islam sangat akomodatif dan kompatibel dengan perkembangan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu ketatanegaraan.

Pengalaman politik umat Islam sendiri dilalui dengan penuh keragaman pola dan bentuk pemerintahan, sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakat. Pada masa Rasulullah Saw misalnya, wacana relasi negara dan agama belum mengemuka lantaran beliau sendiri yang menangani berbagai persoalan negara melalui bimbingan wahyu.

Fase Makkah yang dijalani Rasulullah Saw selama 13 tahun belum banyak mengupas persoalan relasi agama dan negara. Sebab, pada masa ini fokus ajaran agama diarahkan pada konsolidasi akidah dan dasar-dasar ajaran agama lainnya. Pada fase Madinah, wacana hubungan agama dan negara mulai muncul di permukaan, khususnya ketika selama sepuluh tahun komunitas Islam kerap bersinggungan dengan komunitas lain, seperti Yahudi dan Nasrani. Wacana ini pun mampu diselesaikan oleh Rasulullah Saw. sehingga tidak banyak menimbulkan perdebatan di kalangan umat Islam saat itu.

Baca Juga:  Fatimah Guru Ibn ‘Arabi

Otoritas Rasulullah Saw dapat mengikat seluruh umat Islam saat itu karena mereka memercayai bahwa beliau, selain menjadi pemimpin, juga sebagai seorang rasul yang diberi wahyu untuk memimpin dan membimbina mereka. Posisinya sebagai seorang nabi dan rasul, memberikan otoritas untuk memerintah dan mewajibkan setiap pengikutnya supaya mengikuti ajaran-ajarannya.

Syahdan, sepeninggal Rasulullah Saw, wacana kepemimpinan mulai muncul. Dinamika ilmu ketatanegaraan, pun terus bergulir untuk merespon hubungan simbiosis antara negara dan agama, dengan tetap mengacu pada teks wahyu yang sebagian memang masih bersifat multitafsir. Sebelum, jenazah Rasulullah dikebumikan, terjadi perdebatan politik di balai Tsaqifah Bani Sa’idah menyangkut khalifah yang berhak menjadi pengganti beliau.

Perselisihan ini lalu menorehkan keputusan monumental menyangkut prinsip syura (permusyawaratan ) dalam sejarah ketatanegaraan Islam. Hal ini ditandai dengan terpilihnya Abu Bakar ash Shiddiq Ra sebagai khalifah pertama. Setelah melalui perdebatan yang cukup alot, Abu Bakar yang diusung kubu sahabat Muhajirin mengalahkan kandidat lain dari kubu sahabat Anshar.

Pada era pembesar sahabat, sistem pemerintahan yang disepakati ialah kekhalifahan. Dalam sistem ini, diangkatlah seorang pemimpin yang kemudian lazim disebut dengan khalifah. Tugas seorang khalifah ialah melanjutkan perjuangan Rasulullah Saw. Sepeninggal Abu Bakar, jabatan khalifah diganti secara berturut-turut oleh Umar bin Khattab Ra, Ustman bin Affan Ra, Ali bin Abi Thalib Ra.

Pada periode kekhalifahan ini, persoalan pemerintah terutama suksesi kepemimpinan diputuskan secara demokratis melalui mekanisme sistem musyawarah. Namun, sistem demokrasi pada era ini mulai banyak dipertanyakan sejak awal pemerintah Ustman, dan kemudian berlanjut pada masa kekhalifahan Ali. Pun juga pada masa ini persaingan kekuasaan mulai berlangsung sengit, bahkan hingga mengarah pada konflik kepentingan dan perang saudara.

Baca Juga:  Ciri-Ciri Wali Allah dalam Al-Qur’an

Terpilihnya Utsman sebenarnya juga melalui mekanisme demokrasi. Namun, sebelum Umar meninggal, ia menunjuk enam orang supaya bermusyawarah untuk menetapkan penggantinya. Keputusan Umar inilah yang membedakan pemilihan Utsman dengan pemilihan khalifah sebelumnya. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kericuhan dan alotnya peralihan kekuasaan.

Akhirnya, terpilihlah Utsman meski disertai rasa ketidakpuasan di antara enam orang yang ditunjuk tersebut, hingga menimbulkan friksi-friksi tajam di kalangan pembesar sahabat. Setelah Utsman terbunuh akibat ketidakpuasan yang terjadi di daerah-daerah, peralihan kekuasaan menjadi semakin berdarah-darah. Pemilihan penggantinya, Ali bin Abi Thalib, dinilai kian menjauh dari tata cara demokrasi yang pernah diterapkan sebelumnya.

0 Shares:
You May Also Like