Oleh: Azam Bahtiar
Direktur Nuralwala: Pusat Kajian Akhlak dan Tasawuf
Perempuan dan Sufisme, memang selalu unik untuk dibahas. Bukan saja karena syuhud al-Haqq (menyaksikan Tuhan) via perempuan itu merupakan penyaksian yang paling genap dan sempurna (yakni, karena watak afektifnya) dalam tasawuf, namun juga karena perempuan selalu dikesankan subordinat. Saya sudah pernah share, bahwa dalam pandangan sufisme secara umum, dan khususnya Syaikh Akbar Ibn al-‘Arabi, perempuan berpeluang sama untuk dapat mencapai derajat quthbiyyah. Tak beda dengan laki-laki.
Kali ini, mata saya dibelalakkan untuk ke sekian kalinya, lagi-lagi secara tak sengaja. Saya sungguh terkejut menemukan peran sentral sesosok wanita, yang bahkan sulit untuk saya bayangkan hari ini, dalam turut-serta mentransmisikan ajaran-ajaran Syaikh Akbar. Dan tentu bukan sembarang transmisi.
Dalam tulisan pendek saya tentang Futuhat di FB, saya pernah singgung soal tradisi sima’: sejenis metode tradisional dalam mentransmisikan sekaligus memvalidasi sebuah teks, melibatkan musma’ (korektor), qari’ (pembaca), sami’ (pendengar/saksi), dan karib (juru tulis). Secara keseluruhan, bagian Futuhat telah mengalami 71 kali sima’at (ini termasuk murid Ibn Al-‘Arabi yang bertindak sebagai musma’).
Percayakah Anda, bahwa dalam aktivitas maha penting itu muncul nama sesosok wanita sebagai qari’?
Ya, dialah Ummu Dallal. Tak kurang dari 3 sima’at kitab Futuhat, Ummu Dallal berperan sebagai qari’ : tokoh sentral yang membacakan teks-teks Futuhat, persis di hadapan Syaikh Akbar dan belasan atau bahkan puluhan ulama lain. Persisnya pada sima’ ke-21,34, dan 38. Ini belum termasuk keterlibatan beliau sebagai sami’.
Dalam sima’ ke 21, misalnya, Ummu Dallal berperan sebagai qari’, sementara daftar nama sebagai sami’ (persis dangan sima’ ke-20 sebelumnya) adalah sebagai berikut:
(1) Husain bin Ibrahim al-Irbili, (2) Abdul Aziz bin Abdul Qawi al-Jabbab, (3) Nashrullah bin Abul ‘Izz al-Shaffar, (4) Abu Bakar bin Sulaiman al-Hamawi, (5) Yusuf bin Hasan bin Badr al-Nabulisi, (6) Muhammad (putra Syaikh Akbar), (7) Muhammad (putra Syaikh Akbar yang lain), (8) Ahmad bin Muhammad bin Abul Faraj al-Turkiti, (9) Ali bin Mahmud bin Abir-Raja’ al-Hanafi, (10) Abu Bakar bin Muhammad al-Balkhi, (11) Husain bin Muhammad al-Maushili, (12) Ya’qub bin Mu’adz al-Warabi, (13) Muhammad bin Barnaksy al-Mu’azhzhami, (14) Muhammad bin Ali bin Husain, (15) Ahmad bin Abul Haija’ al-Dimasyqi, (16) Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Dimasyqi, (17) Isa bin Ishaq al-Hudzbani, (18) Yunus bin Usman al-Dimasyqi, (19) Abdullah bin Muhammad bin Ahmad al-Lakhmi, (20) Yahya bin Ismail al-Malathi, dan (21) Abul Qasim bin Abul Fath bin Ibrahim al-Dimasyqi.
Data di atas tercatat dalam manuskrip Al-Futuhat al-Makkiyyah tulisan tangan Ibn al-‘Arabi sendiri.
Tak mudah, tampaknya, menemukan tradisi semacam ini di saat ini: seorang wanita —ya, wanita!— membacakan teks berat selevel Futuhat di hadapan setidaknya 21 ulama laki-laki!
Siapakah Ummu Dallal? Saya tidak tahu. Secara buru-buru saya cari dalam kitab-kitab thabaqat dan tarajim, tapi belum ketemu. Nama yang tertulis dalam catatan di atas hanya: Ummu Dallal binti Ahmad bin Mas’ud bin Sadad al-Muqri al-Maushili.
Di dalam Futuhat sendiri (4/490), di Bab terakhir bagian wasiat, Ibn al-‘Arabi memosisikan Syaikh Ahmad bin Mas’ud bin Sadad al-Muqri al-Maushili (ayah Ummu Dallal) sebagai guru beliau, persisnya dalam perjumpaan di tahun 601 H (artinya, saat itu Ibn al-‘Arabi berusia 41 tahun) saat sang guru mengisahkan pertemuannya dengan Nabi Muhammad saw. di dalam mimpi.
Hanya itu yang bisa saya dapat. Pelajaran apa yang bisa kita ambil? Agaknya kita perlu evaluasi: sudah sejauh manakah degradasi tradisi keilmuan kita? Dan sudah seberapa luas kah kita memberi ruang bagi perempuan untuk ini?
Mari kubur dalam-dalam tafsir misoginis atas Islam!
Tulisan ini diambil dari, dan sudah pernah dimuat sebelumnya di, sini