Imam Ali di Mata Syaikh Akbar Ibn al-‘Arabi

Oleh: Azam Bahtiar

Direktur Nuralwala: Pusat Kajian Akhlak dan Tasawuf

Beberapa hari kemudian, tepat setelah sebilah belati menusuknya di saat shalat subuh, dia menghebuskan nafas terakhirnya pada 21 Ramadhan 40 H. Hari ini, di masa yang lampau. Dialah Ali bin Abi Thalib, menantu Nabi Muhammad saw. dan “pintu kota ilmu”. Bahkan, sependek yang saya tahu, dialah satu-satunya sahabat Nabi di masa itu yang diseru dengan panggilan kehormatan: “sang imam”.

Peristiwa teror itu terjadi pada 17 Ramadhan. Di hari yang sama, di tahun yang berbeda—persisnya 520 tahun kemudian, lahir di ujung Barat sana seseorang yang kelak menjadi guru kaum gnostik bahkan untuk lintas agama. Dialah Syaikh Akbar Ibn al-‘Arabi, Muhammad bin Ali. Dua manusia agung itu “terbunuh” dan lahir di hari yang sama. Keduanya pun, tentu bukan sebuah konspirasi atau sekedar kebetulan tanpa makna, melahirkan polaritas yang hampir sama: lahir kelompok yang memuja dan, secara bersamaan, juga kelompok yang mengutuk. Bukan hanya sekali, dan dengan sejumlah perbedaan redaksi, Imam Ali as. menyatakan bahwa akan binasa dua jenis manusia yang meresepsinya secara keliru: menganguminya secara ekstrim atau, sebaliknya, membencinya hingga ke tulang sumsum. Nabi pun juga mengabarkan demikian kepadanya. Di sisi lain, meski tak ditemukan ungkapan sejenis itu dari Ibn al-‘Arabi, sejarah telah menjadi saksi bahwa dia mengalami nasib yang sama: dipuja dan dimaki, bahkan dianggap dengan sengaja hendak menghancurkan Islam secara sadar dan terencana.

Dalam tulisan ini, saya memilih 17 Ramadhan sebagai titik awal proses terbunuhnya Imam Ali as semata karena itulah tanggal yang diyakini oleh Ibn al-‘Arabi sebagaimana termaktub dalam karyanya Muhadharah al-Akhyar wa Musamarah al-Abrar (I: 65).

Bila hampir-hampir tak dapat kita temukan perselisihan di antara para ahli bahwa Imam Ali as adalah sahabat Nabi yang paling ‘alim dari seluruh sahabat-sahabat lainnya (tanpa sedikit pun mengurangi rasa hormat kita kepada mereka), maka sungguh menarik untuk melihat bagaimana persepsi kaum sufi dalam memandang Sang Imam yang menjadi “pintu kota ilmu Nabi” itu. Dalam hal ini, saya tak punya alasan untuk tak memilih Ibn al-‘Arabi sebagai representasi kaum sufi.

Berbeda dengan para penulis yang berdebat-ruwet dalam merumuskan “keutamaan para sahabat”, sebagaimana dapat dengan mudah kita baca dalam polemik-polemik teologis Sunni-Syiah yang berbusa-busa dan kedaluwarsa itu, saya justru merasa resepsi spiritual seorang Ibn al-‘Arabi jauh mengatasi perdebatan-perdebatan itu. Memang, tak mudah bagi kita untuk mendalilkan pandangan Ibn al-‘Arabi ini berdasarkan rasio instrumental, karena memang ia diturunkan dari sumber epistemologis yang berbeda. Penyingkapan spiritual, jika pun dapat diargumentasikan secara demonstratif, barangkali ia menyentuh tak lebih selain pada prinsip-prinsip umumnya saja.

Baca Juga:  MERAIH PAHALA RAMADHAN DI SEPANJANG TAHUN

Di dalam magnum opus-nya, Al-Futuhat al-Makkiyyah, penghormatan khusus seorang Ibn al-‘Arabi kepada Imam Ali as. dapat dengan mudah kita temukan sejak lembar-lembar awal. Dalam sebuah visi spiritual yang dinarasikannya kembali dengan penuh makna dalam mukadimah Al-Futuhat, Ibn al-‘Arabi memilih menggunakan redaksi “kalimat doa” untuk Imam Ali secara distingtif, tak seperti yang digunakan secara jamak untuk tokoh-tokoh lain, yakni “shalla Allahu ‘alaihi wa sallam” (I: 44, no. 12); betapapun di tempat lain digunakan juga “radhiya Allahu ‘anhu”. Lumrahnya, redaksi doa ini hanya diucapkan mengiringi nama suci Sang Nabi Muhammad saw. Untuk Ahlulbait, paling banter redaksi yang mirip dan dapat kita temukan hanyalah: “‘alaihis-salam”. Di sini Ibn al-Arabi memilih cara yang tak biasa. Tentu bukan tanpa alasan, meski saya tak paham dan belum menemukan jawabannya. Amir ‘Abdul Qadir al-Jaza’iri sendiri, seorang ‘arif Akbarian belakangan, meski menulis syarah lebih dari 30 halaman untuk mukadimah Al-Futuhat yang serba pendek itu (II: 436-475), sayangnya persis pada bagian ini (dan sesudahnya) syarah beliau berakhir.

Andai saja hal di atas bisa kita sebut sebatas merefleksikan aspek formal semata, maka barangkali pernyataan terbesar Ibn al-‘Arabi terkait Imam Ali adalah apa yang ditulisnya di Bab 6 Al-Futuhat al-Makkiyyah terkait awal penciptaan ruhani, suatu penciptaan atau peluberan-wujud pra-jismani.

Di sinilah, tanpa tedeng aling-aling, Ibn al-‘Arabi menyatakan secara terbuka hasil visi mistiknya, bahwa realitas terdekat “pasca” tajalli Tuhan yang melahirkan al-haba’, “Materi Universal”, adalah haqiqah Muhammad (Hakikat Muhammad). Tak ada yang lebih dekat kepada-Nya, secara reseptif, melebihi Hakikat Muhammad. Dan kedekatan ini sekaligus mengimplikasikan intensitas Cahaya yang diserapnya. Dalam penciptaan semesta ruhani ini, Ibn al-‘Arabi menyebut bahwa orang yang paling dekat dengan Hakikat Muhammad ‘ketika itu’ dan ‘di alam itu’ adalah Ali bin Abi Thalib dan asrar (rahasia/jiwa) para nabi (II:226-227, no. 324).

Baca Juga:  NALAR REALIS MEMAHAMI SAINS: Respons atas Interupsi F. Budi Hardiman terhadap Goenawan Mohamad dan A.S. Laksana

Yang paling dekat dengan Hakikat Muhammad adalah Ali bin Abi Thalib!

Sepanjang sejarah, barangkali Ibn al-‘Arabi lah orang pertama yang menyatakan hasil penyingkapan visi spiritual ini. Saya pun yakin, tak ada penghormatan atas Imam Ali melebihi pencapaian yang telah dinyatakan oleh Ibn al-‘Arabi ini.

Tercengang oleh teks dalam Al-Futuhat ini, Kamal al-Haidari, seorang otoritas Syiah kontemporer, bahkan berani bersumpah dengan nama Allah bahwa andai saja lembar-lembar Al-Futuhat tak memuat kecuali hanya pernyataan ini, maka cukuplah itu sebagai bukti akan kebesaran Syaikh Akbar hingga hari kiamat! Katanya lagi, seperti menantang, tunjukkan jika pernah ada seorang pun—entah itu dari Sunni, Nashibi, Syiah, Muslim, maupun Kafir—yang pernah mengenalkan kedudukan Imam Ali melebihi apa yang pernah disampaikan oleh Syaikh Akbar ini! Demikian dinyatakan Kamal al-Haidari dalam kuliahnya, Durus fi Kharij al-Ushul—sebuah kuliah untuk level tertinggi dalam pendidikan keagamaan di antara saudara-saudara kita dari kalangan Syiah—dalam tema Ta’arudh al-Adillah (kuliah ke-192).

Itulah Imam Ali as, itu pula pernyataan terbuka Syaikh Akbar Ibn al-‘Arabi. Dua tokoh yang sama-sama agung, meski tak mungkin membandingkan keduanya.

Terakhir, terkait pernyataan Ibn al-‘Arabi ini, saya perlu menyatakan pandangan saya soal perbedaan redaksi dalam Al-Futuhat. Redaksi yang saya rujuk di atas berbunyi: “wa aqrabun-nasi ilahi Ali bin Abi Thalib wa Asrar al-anbiya”. Versi lain menyebutkan: “wa aqrabun-nasi ilahi Ali bin Abi Thalib wa Asrar al-anbiya’ ajma’in”. Ada juga versi: “wa aqrabun-nasi ilahi Ali bin Abi Thalib radhiya-Allahu ‘anhu imam al-‘alam wa sirr al-anbiya’ ajma’in”. Belakangan, versi terakhir inilah yang cukup populer di antara kaum arif Syiah.

Saya percaya, redaksi yang benar adalah yang pertama. Edisi kritis Al-Futuhat yang didasarkan pada Manuskrip Konya (yakni, Al-Futuhat edisi kedua, yang selesai diperiksa oleh Ibn al-‘Arabi pada 636 H), yaitu yang diterbitkan di bawah perintah dan arahan Amir Abdul Qadir al-Jaza’iri (lalu diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah al-Kubra [al-Muyammaniyyah], pada 1329 H) dan edisi lain hasil suntingan Osman Yahiya (dianggap sebagai suntingan terbaik, Al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Ammah lil-Kitab, pada 1985 M), dalam kedua edisi kritis ini tak ada pernyataan: “imam al-‘alam wa sirr al-anbiya’ ajma’in”.

Kaum arif Syiah belakangan mengambil versi “imam al-‘alam wa sirr al-anbiya’ ajma’in” melalui nukilan Faidh al-Kasyani (w. 1091) dalam Al-Kalimat al-Maknunah. Nukilan ini kemudian direproduksi berulang-ulang, dan belakangan dikembangkan sebagai argumen oleh Syaikh Qomshei untuk menetapkan bahwa Khatam al-Wilayah (al-‘Ammah al-Syamilah) bukanlah Nabi Isa as, sebagaimana ditetapkan oleh Ibn al-‘Arabi sendiri, melainkan Imam Ali bin Abi Thalib (Rasa’il Qaishari : 71).

Baca Juga:  Thariqah Bani 'Alawi: Dari Hadramaut ke Nusantara

Dari jalur Sunni, Syaikh Abdul Wahab al-Sya’rani (w. 973) menukil dalam Al-Yawaqit wal-Jawahir, atau tepatnya meringkaskan, dengan redaksi yang hampir mirip, yaitu: “wa kana aqrabun-nasi ilahi fi dzalika al-haba’ ‘Ali bin Abi Thalib radhiya-Allahu ‘anhu al-jami’ li-asrar al-anbiya’ ajma’in” (II: 255). Sayangnya, kita tak punya data untuk memastikan dari edisi mana beliau menukil. Namun, sebelum mereka semua, seorang arif besar dari Syiah, Sayyid Haidar Amuli (abad 8), menukil pernyataan Ibn al-‘Arabi di atas persis seperti versi pertama yang saya pilih, dan dituangkannya minimal dalam dua karyanya: Nashsh al-Nushush, yang merupakan mukadimah untuk syarah kitab Fushush al-Hikam (I: 195, kecuali pada I: 51), dan tafsir Al-Muhith al-A’zham wal-Bahr al-Khidhamm (II: 410, 413; III: 281; V: 294).

Secara historis, ungkapan “imam al-‘alam wa sirr al-anbiya’ ajma’in” berasal dari Manuskrip Bayazid (ditulis sebelum 683 H), yang oleh sementara peneliti diduga sebagai salinan dari Manuskrip Al-Futuhat edisi pertama (629 H), sebelum direvisi oleh Ibn al-‘Arabi sendiri pada 636 H. Andaipun dugaan ini benar—sekali lagi, belum ada bukti meyakinkan bahwa manuskrip ini benar-benar merupakan salinan dari Manuskrip Al-Futuhat awal—menurut saya, revisi Al-Futuhat yang dikerjakan oleh Ibn al-‘Arabi sendiri seharusnya menjadi rujukan primer dan final.

Alhasil, lepas dari itu, Syaikh Akbar telah mengenalkan sisi lain yang berbeda dari seorang Ali bin Abi Thalib; sebuah realitas “pra-eksistensi” yang jauh lebih subtil.

Untuk keduanya, Al-Fatihah…

Tulisan ini diambil dari, dan sudah pernah dimuat sebelumnya di sini

0 Shares:
You May Also Like