Hijrah (4) : Menuju Masyarakat Madani

Oleh: Bil Hamdi

Mahasiswa Filsafat Islam STFI Sadra Jakarta

Apa yang dibangun Nabi di Madinah setelah hijrah akan dikenal dalam wacana modern sebagai masyarakat madani. Cara Nabi mengatur dan mengelola masyarakat Madinah nantinya akan menjadi contoh konkret—bagi orang-orang di abad modern—bagaimana masyarakat yang plural bisa hidup berdampingan. Tapi, tidak demikian dengan kalangan elit Quraisy, menurut mereka yang dilakukan Nabi hanyalah kebodohan dan kegilaan.

Untuk orang yang hidup di awal abad ke 7 M, sesuatu yang dilakukan Nabi tentunya merupakan gagasan baru dan asing. Nabi membuat sebuah konstitusi. Meski telinga modern akan familiar dengan istilah ‘konstitusi’ tersebut, namun tidak demikian dengan orang-orang pada masa itu.

Sebagaimana yang kita ketahui, komposisi masyarakat Madinah lebih beragam ketimbang Makkah. Mereka terdiri dari 5 suku yang mana 3 di antaranya adalah suku-suku yang beragama Yahudi (Qurayza, Qainuqa, Nadir) dan dua lainnya suku Arab (Aus dan Khazraj). Secara geografis, Madinah adalah daerah yang subur, sehingga penghasilan utama daerah ini adalah pertanian dan perkebunan. Karena itu, tak jarang masing-masing suku berperang satu sama lain karena perebutan lahan. Dan jangan kira peperangan itu hanya antara orang-orang Arab melawan Yahudi saja, justru yang terjadi adalah orang Arab melawan orang Arab, ataupun orang Yahudi melawan Yahudi. Baik di Makkah ataupun di Madinah, saat itu mereka masih terbiasa menyelesaikan urusan dengan pedang. Keadaan itu bertahan sekian lama hingga mereka mengundang juru damai untuk datang ke tempat mereka.

Begitu sampai di Madinah, Nabi langsung membuat sebuah konstitusi atau yang lebih dikenal dengan istilah piagam Madinah. Nabi bersama seluruh warga Madinah menyepakati sebuah kontrak sosial untuk hidup bersama dengan damai. Mereka juga akan bersatu di bawah nama ummat. Lalu, Nabi meminta mereka untuk berkomitmen pada kebaikan (al-khair). Kesemua aturan itu harus ditaati dan dijalankan demi menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Setiap orang yang menyepakati konstitusi akan dilindungi dan dijamin keselamatannya. Dalam konstitusi tersebut, untuk pertama kalinya manusia diperkenalkan kepada wasasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi. Mereka diminta bertangungjawab untuk menjaga stabilitas sosial dan politik. Tak heran, bila model pemerintahan Madinah menjadi percontohan masyarakat beradab karena kebebasannya diikat dalam sebuah aturan yang disepakati bersama. Model seperti inilah yang dicita-citakan Nabi. Sebuah masyarakat ideal. Untuk mempertahankan model ini, Nabi memperkenankan masyarakat untuk mengangkat senjata membela diri menghadapi musuh peradaban.

Baca Juga:  Belajar Hidup dari Kierkegaard: Sang Filsuf Eksistensialis

Inilah sebuah gebrakan besar menuju masyarakat madani. Masyarakat  jahiliyah akan sulit membayangkan bagaimana mungkin orang-orang dari suku yang berbeda bisa duduk bersama saling melempar senyuman dan candaan. Apalagi membayangkan untuk hidup berdampingan dengan Yahudi. Orang yang jelas-jelas berbeda keyakinan. Sebuah toleransi tingkat tinggi seperti itu pastilah merupakan hal aneh dan gila bagi masyarakat jahiliyah saat itu. Akan lebih mudah bagi mereka untuk menghunuskan pedang dan saling membunuh. Tapi itulah yang sedang dilakukan Nabi di daerah perkebunan kurma itu.   

Di Madinah, selain menjadi pemimpin agama, atas keputusan bersama, Nabi juga menjadi pemimpin politik, dengan kata lain menjadi kepala negara. Nabi berwenang untuk menentukan arah dan tujuan masyarakatnya. Dengan kewenangannya itu, Nabi membebaskan para budak, menyerukan bahwa setiap manusia, siapapun itu, adalah setara di hadapan Allah. Bahkan Al-Qur’an merekam dengan jelas bahwa siapapun dari kalangan beriman baik Yahudi, Nasrani ataupun Sabiin, entah itu laki-laki atau perempuan asalkan mereka berbuat baik, Allah akan mengganjar perbuatan mereka dengan kebaikan pula. Hal inilah yang memunculkan semangat positif untuk saling membantu dan bekerjasama di antara masyarakat Madinah. Sinergi positif yang segera akan membuat seluruh jazirah Arab bergetar melihat lahirnya kekuatan besar dari suatu komunitas baru yang terdiri dari kumpulan suku-suku dan agama yang berkoalisi. Komunitas inilah yang dalam wacana modern disebut sebagai masyarakat Madani.

Hari-hari Nabi di Madinah dihabiskan untuk mendakwahkan ajaran-ajaran berupa hukum dan aturan yang mesti ditaati bersama. Proses belajar dan mengajar dilaksanakan dengan tujuan untuk memperhalus budi bahasa dan tingkah laku masyarakat dalam komunitas. Sebagai masyarakat beradab, sudah semestinya setiap orang beriman untuk meninggalkan watak-watak jahiliyah dalam dirinya. Membunuh dan berperang bukan lagi pilihan utama, justru menjadi opsi terakhir bila memang tak ada lagi pilihan lain. Bahkan, dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa membunuh satu orang sama saja dengan membunuh seluruh manusia. Suatu gagasan yang sama sekali belum dikenal saat itu.

Betapapun sekarang Nabi telah menjadi pemimpin yang besar dari masyarakat Madinah, hatinya masih terpaut pada Makkah. Ingatan akan kampung halaman yang telah membuangnya selalu terbayang. Dia akan kembali, bahkan dia harus kembali. Untuk itu, Nabi mesti mempersiapkan sebuah kekuatan besar. Setelah merasa pasukannya cukup kuat untuk mengepung Makkah, ia mulai menyusun rencana. Orang-orang mungkin akan berpikir bahwa rencana itu adalah rencana pembalasan atau mungkin bahkan hari pembantaian. Tapi tidak, kita akan melihat sebuah sikap paling beradab dari seorang Nabi paling mulia di muka bumi. Orang-orang akan mengenang hari itu sebagai peristiwa Fathul Makkah (hari pembebasan/pembukaan Makkah)

Baca Juga:  Hijrah (1) : Tentang Muhammad Yang Terusir

Pada hari itu, Nabi memimpin sepuluh ribu pasukan menuju Makkah. Siapapun warga Makkah saat itu pasti gentar, bahkan hanya dengan mendengar hentakan kaki kuda para pasukan. Bayangan akan hari pembalasan Muhammad menghantui tiap kepala warga Makkah. Mungkin mereka akan berpikir andai dulu mereka tak mengusir Muhammad. Tapi, penyesalan apapun saat itu sudah terlambat. Muhammad, sang pesakitan itu telah kembali. Muhammad yang mereka hina-hina, serta mereka rendahkan sekarang mengepung Makkah. Dan seingat mereka, setiap balas dendam (dalam tradisi jahiliyah) pastilah akan menumpahkan darah. Mereka akan dibantai.

Hadzal yaum yaumul malhamah!

“Hari ini adalah hari pertumpahan darah!” Ucap salah seorang sahabat Nabi dengan suara melengking menggetarkan seluruh Makkah.

Para penduduk Makkah berlarian mencari tempat sembunyi, Muhammad telah datang membawa segala amarah yang mungkin selama ini dia pendam. Dia akan menumpahkannya hari ini. Dalam keadaan putus asa semacam itu, ingatan akan bagaimana dulunya mereka memperlakukan Muhammad tiba-tiba tercetak jelas di pikiran. Masih ingatkah bagaimana dulunya mereka memboikot Bani Hasyim sehingga anak-anak mati kelaparan? Masih ingatkah bagaimana mereka menyiksa para pengikut Nabi? Masih ingatkah mereka pada setiap kata-kata kotor, sumpah serapah dan caci maki mereka terhadap Nabi? Tampaknya, adalah hal yang sangat mustahil mendapatkan ampunan Muhammad setelah semua yang mereka lakukan padanya.

Dalam riuh rendah serta hiruk pikuk hentakan langkah pasukan dan teriakan warga itu, Nabi memasuki Makkah. Dia menyadari ucapan sahabatnya bahwa hari itu adalah hari pembantaian telah membuat seisi kota menjadi ketakutan. Rupanya, sahabatnya itu cadel, dia tak bisa mengucapkan huruf ‘ra’ dengan baik sehingga terdengar seperti huruf ‘lam’. 

Hadzal yaum yaumul marhamah!

“Hari ini adalah hari kasih sayang!” itulah yang sebenarnya yang ingin diucapkan.

Para pengikutnya telah memadati gang-gang saat ia berjalan menuju ka’bah. Beberapa warga Makkah ikut bergabung di dekat ka’bah antara mengharap ampunan dan pasrah pada keadaan. Ketika Nabi sampai di tepi ka’bah, tepatnya di dekat Hajar Aswad, Nabi berteriak “Allahu Akbar”. Sebuah teriakan yang bersambut dengan teriakan berikutnya hingga memenuhi penjuru Makkah. Inilah hari kemenangan, kemenangan yang nyata! Nabi memasuki pintu Ka’bah.

Baca Juga:  Terapi dari Kesedihan dan Ketakutan Ala Al-Qur'an

Saat keluar, dia menyaksikan orang-orang telah berkumpul di sekeliling Ka’bah. Nabi memandangi orang-orang Makkah yang wajahnya tak lagi segarang saat mereka mengusirnya dulu. Wajah mereka sekarang hanyalah wajah pasrah. Apapun yang menimpa mereka setelah itu berada di tangan orang yang dulunya mereka usir. Utusan Allah telah mengambil alih Makkah dari genggaman orang-orang msuyrik.

Di hari kemenangan itu, Nabi menghapuskan segala bentuk ketidakadilan. Tak ada lagi hak-hak istimewa untuk segelintir elit penguasa. Dalam Islam, semuanya akan memiliki derajat yang setara sebagai seorang manusia merdeka. Mulai hari itu, Islam akan menjadi simbol perjuangan akan keadilan dan perdamaian.

“Wahai orang-orang Quraisy, menurut kalian, apa yang akan aku lakukan pada kalian?” Tanya Nabi pada hadirin.

“Hanya hal yang baik.” Jawab kerumunan itu berharap Muhammad berbelas kasih.

Dilihat dari sisi manapun, itu adalah momen yang paling tepat bila Nabi ingin membalaskan dendam pada mereka. Nabi bisa membunuh mereka atau juga mengusir mereka dengan penuh penghinaan. Tapi tidak, Nabi kita tidak demikian, agama kita tidak demikian, dia adalah sang Nabi cinta, dan agama Islam adalah agama cinta. Muhammad mengampuni mereka. Allah memberikan pengampunan pada mereka. Antum tulaqa! kalian adalah orang-orang yang dibebaskan. Hari itu bukanlah hari penaklukan, hari itu adalah hari pembebasan. Sebuah revolusi tanpa pertumpahan darah. Nabi sedang menunjukkan bahwa Islam adalah agama perdamaian. Masyarakatnya adalah masyarakat beradab (Madani) dan darinya akan lahir sebuah peradaban.

***

Beberapa tahun setelah peristiwa pembebasan Makkah iru, Nabi wafat. Dengan demikian, perjuangan 23 tahunnya mendakwahkan Islam telah berakhir. Seluruh wahyu Al-Qur’an telah turun. “Aku tinggalkan bagi kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh pada keduanya, yaitu kitabullah (Al-Qur’an) dan sunnah.”. Demikianlah Nabi agung itu meninggalkan pesan. Dia wafat tanpa meninggalkan wasiat siapa yang akan menggantikannya sebagai pemimpin politik, seolah ingin mengatakan bahwa bukan itu, bukan itu tujuannya diutus menjadi Nabi. Ia diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak manusia. Bukan yang lainnya. Wa-Allahu a’lam.

 

0 Shares:
You May Also Like