Gaya Pemikiran Filsafat Ibn Miskawaih

Ali Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’qub Ibn Miskawaih, yang selanjutnya kita kenal dengan sebutan Ibn Miskawaih, beliau dilahirkan di kota Rayy (Teheran-Iran). Ibn Miskawaih merupakan seorang pemikir terkemuka yang berkarir politik dan beraktivitas filsafat. Dalam karir politiknya, Ibn Miskawaih pernah menjabat sebagai bendahara pada pemerintahan Dinasti Buwaihiyyah ‘Adhul al-Daulah, sedangkan dalam aktivitas filsafatnya atau pun dalam karir keilmuannya. Ibn Miskawaih termasuk golongan pemikir Tauhidi dan al-Sijistani. Di samping itu, Ibn Miskawaih juga merupakan seorang ilmuan Muslim yang menguasai berbagai disiplin keilmuan, seperti; Kimia, Filsafat, Logika, dan yang paling menonjol adalah Sastra dan Sejarah. Dalam pemikiran filsafatnya sendiri, pemikiran Ibn Miskawaih terletak pada pemikiran etikanya yang tersusun dengan baik.

Dalam gaya pemikiran filsafatnya, Pemikiran Ibn Miskawaih difokuskan dengan pemikiran tentang etika, seperti yang sebelumnya telah dipaparkan pada pembahasan di atas. Sebelum membahas secara lebih dalam tentang pemikiran etika dari Ibn Miskawaih, adalah penting untuk kita ketahui seperti apa dan bagaimana, gaya dan corak pemikiran filsafat dari Ibn Miskawaih, karena Ibn Miskawaih merupakan tokoh yang banyak menguasai disiplin keilmuan dan disebut sebagai bapak etika Islam.

Al-Fauz al-Asghar, merupakan salah satu karya dari hasil pemikiran filsafat Ibn Miskawaih, yang di dalamnya ia mengatakan bahwa para filsuf klasik dari Yunani, sedikit pun tidak meragukan eksistensi keesan Tuhan. Sehingga, tidak ada masalah bagi kalangan para filsuf dan pemikir Islam untuk mempertemukan pemikiran kita dengan pemikiran mereka. Ibn Khaldun bahkan mengklaim dan menyamakan pemikiran Aristoteles mengenai Sang Pencipta dengan “Penggerak Yang Tidak Bergerak” (al-Muharrik alladzi la ya-taharrak).

Menurut Ibn Miskawaih, argumen tersebut merupakan argumen yang sangat kuat dan dapat diterima oleh Agama. Ibn Miskawaih berkesimpulan, bahwa tidak ada jalan rasional untuk memahami Tuhan, kita harus mengikuti petunjuk-petunjuk Agama dan pandangan-pandangan umum dari komunitas religius. Dalam pemikiran filsafatnya, Ibn Miskawaih menyelaraskan pemikiran filsafat dan pemikiran religius dengan gagasan emanasi nirputus Neoplatisme. Dalam pemikiran filsafatnya, Ibn Miskawaih melandaskan pemikirannya dari Al-Qur’an, pemikiran Aristoteles, Plato, al-Kindi, dan orang-orang yang sezaman dengannya.

Berdasarkan penjelasan di atas, seperti apa dan bagaimana pemikiran filsafat Ibn Miskawah. Hemat penulis, bahwa gaya dan coraknya adalah dipengaruhi oleh gaya dan corak pemikiran filsafat dari filsuf Yunani seperti Plato, Aristoteles, Glenus, dan para filsuf Muslim seperti al-Kindi dan para pemikir yang sezaman dengannya.

Filsafat Ethic Religious Ibn Miskawaih

Dilihat dari segi objeknya, etika merupakan kajian tentang sikap dan tingkah laku manusia dalam menjalani kehidupan. Dalam Islam, etika atau akhlak menempati posisi yang sangat penting, sehingga, etika seringakali dijadikan standar untuk mengukur baik-buruk seseorang dalam menjalani kehidupan di masyarakat sebagai makhluk sosial. Walaupun pada dasarnya etika bersifat relatif dan dapat berubah sesuai dengan tempat dan konteks zamannya. Disamping itu juga, secara teologis, konsepsi etika Maskawaih dibangun berdasarkan nilai-nilai Al-Qur’an dan Hadis. Karena, di dalam Al-Qur’an dan Hadis banyak sekali ayat dan riwayat yang berbicara tentang akhlak manusia.

Etika sebagai ilmu normatif, merupakan salah satu disiplin ilmu filsafat yang merefleksikan bagaimana manusia dalam hidupnya lebih berhasil sebagai makhluk yang tidak hanya memiliki eksistensi fisik, akan tetapi juga memiliki eksistensi rohani. Etika memiliki keharusan terhadap kodrat manusia, martabat manusia, keseimbangan ekosistem, kepentingan umum, dan bertanggung jawab terhadap generasi manusia pada waktu yang mendatang. Etika memiliki sifat yang universal. Kepribadian seorang individu atau masyarakat berkaitan erat dengan sejauh mana ia membangun dan membentuk dirinya, dan melalui sarana sosial manusia bereksistensi untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan dalam hidup.

Etika merupakan bagian terpenting dalam kontruksi pemikiran filsafat Ibn Miskawaih, dalam arti ia merupakan seorang filsuf moralis. Konsep etika Ibn Miskawaih secara terperinci dapat dilacak dalam karyanya yang sangat monumental, yaitu; Tahdzib al-Akhlak wa Tathir al-A’raq. Dalam pemikiran etikanya, Ibn Miskawaih mendefinisikan akhlak merupakan bentuk jamak dari khuluq, yang berarti keadaan jiwa yang mengajak seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya. Ibn Miskawaih memulai dengan menyelami jiwa manusia, ia memandang bahwa ilmu jiwa memiliki keutamaan sendiri dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang lain. Dalam pengamatan ilmu jiwa, Ibn Miskawaih berkesimpulan bahwa jiwa (an nafs) adalah bukan jism dan ardh bukan bagian dari jism.

Ibn Miskawaih berpendapat, bahwa jiwa adalah jauhar yang tidak tertangkap oleh panca indra manusia. Puncak kejayaaan Dinasti Buwaihi terjadi pada masa Adud al-Daulah (367-372) tidak dibarengi dengan perbaikan kondisi akhlak, bahkan terjadi degradasi moral secara massif di kalagan elit penguasa dan Rakyat. Kondisi masyarakat dan penguasa yang seperti menginspirasi Ibnu Maskawaih untuk melakukan kajiana secara mendalam tetng Etika Islam. Konsepsi Etika Miskawaih dijabarkan secara komprehensif dalam Tahdzib al-Akhlak wa Tathir Al-Araq.

Konsep pemikiran etika Ibn Miskawaih banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafat Helenistik, terutama dengan pemikiran Plato, Aristoteles, Glenus, dan filsuf etika lainnya. Dalam pemikiran etikanya, Ibn Miskawaih mencoba untuk memadukan antara dua tradisi pemikiran, yaitu tradisi pemikiran Yunani dan tradisi pemikiran Islam. Model pemikiran Ibn Miskawaih sangat kental dengan model pemikiran  Aristoteles secara teoritis dan praktik.

Perpaduan antara akal (hellenistik) dan teologis (Al-Qur’an dan Hadis) dalam mengkonstruksi konsepsi Ethic Religious telah menempatkan Ibn Maskawaih sebagai seorang filsuf yang sangat dikagumi dalam bidang Etika, sehingga sangat wajar jika Ibnu Maskawaih disebut sebagai guru dalam bidang Etika.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like