Kisah Sunan Kalijaga sebagai Juru Damai

Kisah ini bersumber dari Babad Tanah Jawi versi WL. Olthof. Babad Tanah Jawi adalah manuskrip berisi cerita tentang kekuasan raja-raja di Tanah Jawa terkait pergolakan politiknya, hingga hubungan kekelurgannya. Manuskrip ini selalu dijadikan rujukan dalam rekontruksi sejarah di Jawa.

Selain menceritakan tentang tahta raja-raja Jawa, disebutkan pula beberapa tokoh Wali Songo, di antaranya Sunan Kali Jaga, Sunan Prapen, Sunan Kudus, dan lainya, yang berperan sebagai ulama, pendakwah, dan guru.

Salah satu tokoh Wali Songo tersebut ialah Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga adalah Wali Songo yang multitalenta, beliau penasehat sultan dan ulama rujukan bagi kepala-kepada daerah. Dalam Serat Dhamargandul, Sunan Kalijaga merupakan seorang negosiator ulung.

Di antara Wali Songo, Sunan Kalijaga dikenal sebagai wali yang paling luas cakupan bidang dakwahnya dan paling besar pengaruhnya. Sebab, selain berdakwah dengan cara berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain sebagai dalang, penggubah tembang, pemancah memen (tukang dongeng keliling), penari topeng, desainer pakaian, penasihat sultan dan pelindung rohani kepala-kepala daerah.

Dikisahkan, Sunan Kalijaga mempunyai murid  tokoh penguasa daerah di Jawa yaitu Sultan Pajang dan Ki Pamanahan. Keduanya satu perguruan di bawah naungan Sunan Kalijaga dan dipersaudarakan pula oleh Sunan  Kalijaga. Sultan Pajang sewaktu muda bernama Jaka Tingkir dan dijuluki juga Sultan Hadiwijaya. Sedang Ki Pamanahan adalah putra tunggal  Kyai Ageng Ngenis.

Sultan Pajang dan Ki Pamanahanpernah mengalami konflik karena kesalahpahaman. Konflik itu bermula ketika Sultan Pajang tidak segera menunaikan janjinya memberikan hadiah tanah Mataram kepada Ki Pamanahan atas pengakuannya yang telah menumbangkan Arya Penangsang, rival Sultan Pajang.

Sunan Kalijaga sebagai guru yang dihormati oleh Sultan Pajang dan Ki Pamanahan, menggunakan cara mediasi untuk  mengatasi keretakan hubungan kedua muridnya tersebut. Pada mulanya Sunan Kalijaga menemui Ki Pamanahan yang sedang menyendiri bertapa  di Desa Kembang Lampir. Sunan Kalijaga menyampaikan kepada Ki Pamanahan, keinginannya untuk medamaikan kedua muridnya tersebut:

Baca Juga:  Kisah Perjumpaan Rumi dengan Syams Tabrizi

…Jangan sedih. Ayo ikutlah aku, saya pertemukan dengan Sultan Pajang. Berhubung kalian berdua satu perguruan, saya wajib mendamaikan agar persaudaraan kalian tetap rukun, tidak ada yang berbeda pendapat. (W.L. Olthof, 2011: 125)

Sunan Kalijaga dan Ki Pamanahan pun pergi ke Pajang. Kehadiran mereka membuat Sultan Pajang agak terkejut  dan segera memberikan penghormatan kepada gurunya. Setelah itu, Sunan Kalijaga melakukan mediasi, menjembatani dialog antara Sultan Pajang dan Ki Pamanahan.

Pada kesempatan itu, Sultan Pajang menyampaikan bahwa sikapnya yang tidak segera menepati janjinya memberikan tanah Mataram kepada Ki Pamanahan, disebabkan keinginannya memberikan tanah yang lain karena tanah Mataram masih berupa hutan. Selain itu, dikarenakan keresahannya atas sebuah ramalan bahwa di Mataram akan ada raja besar seperti dirinya. Sultan Pajang sebagai raja Pajang takut tersaingi dengan raja baru dalam ramalan tersebut.

Sunan Kalijaga menyarankan agar Ki Pamanahan dimintai janjinya untuk tidak berkeinginan menjadi raja di Mataram. Selanjutnya, Ki Pamanahan berjanji bahwa dirinya tidak mempunyai niatan menjadi raja di Mataram dan jika diingkari, dirinya tidak akan selamat atau tertimpa musibah. Akhirnya hati Sultan Pajang menjadi lega dan bersedia memberikan tanah Mataram kepada Ki Pamanahan.

Sunan Kalijaga sebagai seorang ulama, tentu paham tentang perintah dalam Islam untuk menjadi juru damai (mushlih) bagi sesama Muslim yang berkonflik. Banyak ayat Al-Qur’an maupun hadis yang memerintahkan seorang Muslim untuk membumikan perdamaian. Ayat yang lebih spesifik memerintahkan untuk mendamaikan (ishlah) bagi dua Muslim yang berkonflik adalah

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah (bagaikan) bersaudara karena itu, damaikanlah antara kedua saudara kamu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat” (QS. Al-Hujurat [49]: 10).

Baca Juga:  Gelap

Mengenai ayat ini, Quraish Shihab—mufasir kenamaan Indonesia—menuliskan pada karyanya Al-Mishbah, orang-orang mukmin, kendati tidak seketurunan adalah bagaikan bersaudara seketurunan, dengan demikian mereka memiliki keterkaitan bersama dalam iman dan juga keterkaitan dalam seketurunan.

Sedangkan Ishlah adalah upaya menghentikan kerusakan atau meningkatkan kualitas sesuatu, sehingga manfaaatnya lebih banyak lagi. Ishlah yakni perbaikan agar keharmonisan pulih, dan dengan demikian, terpenuhi nilai-nilai bagi hubungan tersebut, dan sebagai dampaknya lahir kemanfaatan.

Dalam konteks hubungan antarmanusia, maka nilai-nilai itu tercermin dalam keharmonisn hubungan. Ini berarti jika hubungan antar dua pihak retak atau terganggu, maka terjadi kerusakan atau paling tidak berkurangnya kemanfaatan yang diperoleh dari mereka.

Sumber bacaan

Olthof, W.L. 2011. Babad Tanah Jawi. Yogyakarta: Penerbit Narasi

Sunyoto, Agus. 2012. Atlas Wali Songo. Tanggerang: Perpustakaan Iman

Shihab, Muhammad Quraish. 2002 Tafsir Al-Mishah. Jakarta: Lentera Hati

Tandhanagara, K.R.T. 1959. Serat Dhamar Gandul. Surakarta: Sadu Budi

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Gelap

Oleh: Nizar Afifi Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Pak Mursyid dan Bu Aminah merupakan pasangan suami istri yang…