Sebelum dan Sesudah

Oleh: Nizar Afifi

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sore itu Pak Mursyid sedang berada di parkiran swalayan di daerahnya. Beliau berniat untuk berbelanja kebutuhan bulanan.

Dari parkiran Pak Mursyid berjalan menuju pintu utama swalayan, namun di depan pintu sudah ada pegawai yang bertugas untuk mengecek suhu pelanggan sebelum masuk ke area swalayan, tentu saja Pak Mursyid tidak bisa mengelak untuk ditodongkan alat ukur suhu yang bentuknya sudah seperti senjata api milik Pak polisi.

“Silahkan cuci tangan dulu Pak sebelum masuk berbelanja”. Pinta pegawai yang bertugas kepada Pak Mursyid sembari menodongkan alat ukur suhu ke jidat Pak Mursyid.

“Sudah tadi di sekitar parkiran”. Jawab Pak Mursyid sekenanya

“36,7◦C Pak”. Ucap pegawai dengan isyarat memperbolehkan Pak Mursyid masuk karena pengakuan Pak Mursyid yang telah mencuci tangan dan suhu tubuh yang tidak melebihi ambang batas.

Sebagai seorang laki-laki yang kebetulan jarang berbelanja terlebih untuk berbelanja kebutuhan rumah seorang diri, jadi beliau rasa wajar saja jika saat itu membawa catatan perbelanjaan dari sang istri.

Kebetulan saat itu Bu Aminah tidak bisa menemani Pak Mursyid karena sedang ada acara kumpul rembug pengurus PKK lingkungan tempat tinggalnya.

Dengan cepat Pak Mursyid mengumpulkan keperluan sesuai dengan catatan dari Bu Aminah. Sewajarnya orang yang sedang berbelanja, mata Pak Mursyid terus berkeliaran melihat segala sesuatu yang menarik baginya. Namun keinginan itu selalu ditahan.

“Saat situasi pandemi ini timbang membeli barang atau sesuatu hanya karena keinginan sesaat, bukankah lebih bermanfaat jika dipergunakan untuk saling berbagi”. Pikir beliau sembari menaruh kembali barang yang dia inginkan sesuai dengan tempatnya.

Setelah dirasa cukup, beliau menuju kasir menyelesaikan pembayaran dan langsung pulang.

Baca Juga:  Raden Ajeng Kartini dan Tafsir Sufi Faidh al-Rahman

Sesampainya di rumah, beliau disambut oleh Bu Aminah.

“Sana kebelakang dulu bersih-bersih, paling engga cuci tangan”. Seru Bu Aminah ketika mengetahui suaminya itu pulang.

“Iya, iya, tak ke belakang cuci tangan sebentar”. Sahut Pak Mursyid diiringi langkah menuju kamar mandi. Berbeda dengan saat di swalayan, kali ini Pak Mursyid menuruti perintah istrinya dengan cuci tangan pakai sabun minimal selama 30 detik. Bukan tanpa alasan, ini beliau lakukan hanya karena menghindari kemungkinan terburuk untuk keluarganya.

“Ini kan sama saja dengan cuci tangan sesudah berbelanja dan sebelum bertemu dengan keluarga. Lantas apa yang membedakan antara cuci tangan sesudah dan sebelum melakukan sesuatu, bukankah sama saja?” Pikir beliau saat membasuh tangannya pakai sabun.

“Ehm, kalau dipikir-pikir kata sebelum identik dengan tindakan preventif, sementara sesudah sebagai tindakan yang bersifat responsif. Namun untuk saat seperti sekarang ini, ternyata sebelum bukan sebatas tindakan preventif namun juga tanggung jawab kepada sesama. Bukankah jika saya membawa sesuatu yang tidak diinginkan, dan menyentuh apa saja justru dapat berdampak buruk bagi sesama.” Karena terlalu memikirkan hal itu, tak terasa air mengalir membasuh tangan beliau secara berlebihan. Hingga akhirnya beliau sadar dan berkata “ah, lagi-lagi saya ishraf (berlebihan).”

“Pak, Pak, Pak, cuci tangan kok lama sekali toh. Coba sini dulu”. Teriak Bu Aminah dari ruang tengah yang sedang memeriksa kelengkapan belanja.

Bu Aminah masih fokus pada hasil belanja suaminya, sementara Pak Mursyid masih memikirkan tentang sebelum dan sesudah. Dua perkara itu mengganggu pikirannya karena perkara sepele, cuci tangan.

Jauh dalam pikirannya, Pak Mursyid teringat dengan adanya lima perkara sebelum lima perkara. “Waktu muda sebelum waktu tua, waktu sehat sebelum waktu sakit, waktu kaya sebelum waktu fakir, waktu luang sebelum waktu sibuk, dan waktu hidup sebelum waktu mati”.

Baca Juga:  Cerita Sufi: Menyimpan Surga Ala Bisyr bin Harits

Dari hasil berpikir yang cukup lama dan mendalam itu, akhirnya Pak Mursyid berkesimpulan pentingnya sebelum daripada sesudah. Karena jika sesuatu sudah terjadi, maka yang bisa dilakukan adalah memperbaiki. Namun proses untuk memperbaiki bukan hanya karena “sebelum dan sesudah”. Tapi proses untuk menjadi lebih baik tidak bisa berlangsung hanya sesaat, tapi terus menerus sampai akhir hayat.

“Pak ini belanjaannya masih kurang”, suara dengan nada sedikit keras ini menyadarkan Pak Mursyid dari renungannya.

 

0 Shares:
You May Also Like