Kisah Seorang Syarif yang Fasik dan Seorang Budak yang Saleh

Alkisah diceritakan bahwa ada seorang budak berkulit hitam di daerah Khurasan. Dia merupakan sosok yang berilmu dan beramal saleh sehingga menjadi seorang kiai yang sangat dihormati oleh masyarakat sekitar. Bahkan mereka bertabaruk (meminta berkah kepada Allah) dengannya. Suatu ketika dia keluar dari rumahnya untuk melaksanakan salat di masjid. Maka, orang-orang pun ikut menyertainya menuju masjid. Di tengah jalan, tiba-tiba dia bertemu dengan seorang syarif yang fasik dalam keadaan mabuk. Maka, orang-orang itu mengusir dan menjauhkan syarif yang fasik tersebut dari hadapan kiai itu. Namun, syarif tersebut melawan dan akhirnya mendekap tubuh kiai tersebut seraya berkata, “He, si hitam kulitnya, he, si kafir keturunan orang kafir, aku ini adalah keturunan Rasulullah. Aku dihinakan, sedangkan kamu dimuliakan. Aku dicaci, sedangkan kamu dihormati. Aku direndahkan, sedangkan kamu ditolong.”

Mendengar makian itu, lalu mereka hendak memukul syarif tersebut. Akan tetapi, kiai berkulit hitam yang alim dan saleh itu mencegah mereka seraya berkata, “Jangan (pukul dia). (Kesalahan) dia sudah diampuni (oleh saya) karena (menghormati) kakeknya. Memukul dia harus berdasarkan hukumannya (maksudnya, kalaupun dia mau dihukum, maka hukuman itu harus berdasarkan kesalahannya). Akan tetapi, wahai syarif, saya membersihkan hati saya, sedangkan Anda menggelapkan hati Anda. Maka, orang-orang lebih melihat hati saya yang bersih ketimbang wajah saya yang hitam sehingga saya menjadi baik. Saya mengikuti perilaku leluhur Anda, dan Anda mengikuti perilaku leluhur saya. Oleh karena itu, orang-orang melihat saya berada di jalannya leluhur Anda dan melihat Anda berada di jalannya leluhur saya. Maka, mereka mengira saya adalah keturunan leluhur Anda dan mengira Anda adalah keturunan leluhur saya. Makanya, mereka memperlakukan Anda dengan perlakuan yang sama terhadap leluhur saya, dan mereka memperlakukan saya dengan perlakuan yang sama terhadap leluhur Anda.”

Baca Juga:  Cerita Sufi: Menyimpan Surga Ala Bisyr bin Harits

Kisah tersebut disebutkan oleh Imam Fakhruddīn ar-Rāzī dalam at-Tafsīr al-Kabīr (Mafātīḥ al-Gayb) (Dār al-Fikr, 1981, XXVIII: 139) dan dikutip oleh Syekh Muhammad Nawawī al-Jāwī dalam Marāḥ Labīd li Kasyf Ma‘nā Qur’ān Majīd (Dār al-‘Ilm, II: 316). Kedua ulama ternama ini menyebutkan kisah tersebut ketika menafsirkan surah Al-Ḥujarāt (49): 13, yaitu: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.”

Menurut para ulama, surah Al-Ḥujarāt (49): 13 tersebut menegaskan bahwa semua manusia berasal dari leluhur yang sama, yaitu Adam dan Hawa. Mereka adalah bersaudara serta memiliki kemuliaan dan martabat yang sama secara kemanusiaan. Oleh karena itu, tidak ada alasan sedikit pun bagi mereka untuk saling membanggakan diri dalam masalah nasab (Marāḥ Labīd, hlm. 316 dan Nasrullah Ainul Yaqin, “The Universal Brotherhood In Islamic Law: A Study Of The Thoughts Of Yusuf Al-Qaradawi And Ahmad Syafii Maarif”, dalam https://ejournal.uin-suka.ac.id/syariah/almazahib/ article/view/3523/2125, 16/09/2024, hlm. 41-42).

Allah kemudian menciptakan mereka berbeda-beda, baik dari segi suku, bangsa, keyakinan, maupun lainnya. Tujuannya adalah untuk saling mengenal (at-ta‘āruf) dan saling tolong (at-tanāṣur) satu sama lain, bukan untuk saling membanggakan diri (at-tafākhur) dan saling bermusuhan (at-tanākur). Maka dari itu, setiap orang harus menghindari perbuatan-perbuatan buruk yang akan merusak kerukunan dan keharmonisan dalam kehidupan manusia, seperti saling mengejek, mencaci, dan menggunjing. Sebab, menurut Imam Fakhruddīn ar-Rāzī, ketiga perbuatan buruk itu (mengejek, mencaci, dan menggunjing) akan melahirkan sikap at-tanākur (saling bermusuhan), bukan sikap at-ta‘āruf (saling mengenal) (at-Tafsīr al-Kabīr, hlm. 138).

Baca Juga:  Kisah Sunan Kalijaga sebagai Juru Damai

Adapun perkara yang membuat mereka lebih unggul atas sebagian yang lain adalah takwa kepada Allah sebagaimana disebutkan di bagian akhir surah Al-Ḥujarāt (49): 13 tersebut. Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw menegaskan bahwa barang siapa yang ingin menjadi orang yang paling mulia di sisi Allah, maka hendaklah dia bertakwa (Marāḥ Labīd, hlm. 316). Menurut Syekh Muhammad Nawawī al-Jāwī, takwa adalah menjaga diri agar senantiasa taat kepada Allah dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Pendapat lain mengatakan bahwa takwa adalah menjaga hati (batin) dari selain Allah dan menjaga tubuh (lahir) dari melanggar aturan-aturan Allah.

Dalam hal ini, setiap orang harus menjaga batinnya dari najis-najis rohani, seperti marah, syahwat perut dan seksual, benci, iri, dengki, pelit, cinta dunia dan kedudukan, serakah, riyā’, sombong, ujub, dan arogan. Sebaliknya, dia harus menghiasi batinnya dengan akhlak-akhlak yang baik dan diridai, seperti keyakinan yang benar, sabar, khawf (takut kepada Allah) dan rajā’ (berharap kepada Allah), zuhud, warak, tawakal, cinta dan rindu kepada Allah, rida, niat yang baik, ikhlas, jujur, murāqabah (merasakan kehadiran Allah dalam segala kondisi), muhasabah, tafakur, sabar atas gangguan orang lain (al-ḥilm), ingat mati, dan syukur (aś-Śimār al-Yāni‘ah fī ar-Riyāḍ al-Badī‘ah, hlm. 93).

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Gelap

Oleh: Nizar Afifi Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Pak Mursyid dan Bu Aminah merupakan pasangan suami istri yang…