Tuhan Bagi Seluruh Umat

Oleh: Resza Mustafa

Penulis Lepas

Apabila perang yang terjadi maupun masih berlangsung di Aleppo, Gaza, Kabul, hingga Kashmir dianggap sebagai medan lomba meraih konteks pemikiran “demi berbakti kepada Tuhan”. Orang-orang yang setiap hari berperang dengan cara saling bunuh, tak ubahnya kabut penghalang jalan seorang penggembala yang rindu akan cinta dan kasih sayang dalam kehidupan. Padahal, ajaran agama bicara Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang.

Namun tak bisa disangkal, Kanjeng Nabi Muhammad saw. menyajikan kitab yang mengisahkan tetang peperangan. Agama memang lucu. Tapi orang-orang sekarang aneh, karena agama masih saja dibawa sebagai alasan berperang secara semena-mena; kepada kehidupan. Terkadang, hati manusia memang serasa lebih keras dari batu.

Seorang penggembala menyingkir, dari kemarahan Nabi Musa. Dalam sebuah kisah terkenal Jalaluddin Rumi, di kitab Masnawi. Musa, mendengar doa aneh dari penggembala.

“Oh, Tuhan, di manakah Kau? Bolehkah aku jadi sahaya-Mu, menjahit kasur-Mu dan menyisir rambut-Mu? Bolehkah aku mencuci baju-Mu, membasmi kutu-Mu, dan membawakan-Mu susu?” Bagi Musa, doa tersebut terlampau bergelora dan bisa jadi sumber sebuah kekafiran. Menyamakan Tuhan dengan manusia yang butuh air susu adalah sikap kurang sopan.

Maka Musa berteriak, “Sumbat mulutmu dengan kain! Kalau kau tak hentikan tenggorokanmu memuntahkan kata-kata seperti itu, api akan datang dan membakar orang-orang!” Mendengar teriakan keras tersebut. Penggembala menghentikan doanya.

“Ah, Musa. Telah kau bakar sukmaku dengan sebuah penyesalan,” sebat penggembala merobek gamisnya, seraya melenguhkan nafas dalam-dalam. Dia lantas menengok ke sebuah tempat di ujung padang gurun. Tanpa alasan apapun, seketika pergi.

Demikian dikisahkan oleh Rumi. Kemudian Tuhan menegur Musa. “Telah kau pisahkan hambaku dari Aku. Engkau datang untuk merukunkan, atau meretakkan? Jangan pisah-pisah. Hal yang Aku benci adalah perceraian. Telah Ku-berikan kepada setiap orang bentuk ekspresi bagi raganya sendiri-sendiri. Aku tidak tergantung pada kemurnian maupun najis. Tidak tergantung pada kemalasan maupun kegairahan sembahyang”.

Baca Juga:  ANAK-ANAKMU BUKANLAH ANAK-ANAKMU. MEREKA BERASAL DARIMU, TAPI MEREKA MILIK MASA MEREKA (BAGIAN 2)

Mendengar teguran Tuhan, Musa bergegas lari ke tengah gurun mengejar penggembala. Ketika mereka bertemu lagi, Musa dengan cepat memberi tahu kabar gembira itu. “Sudah datang perkenan Tuhan, kau tak perlu mencari aturan atau cara untuk sembahyang. Ungkapkan saja apa yang dikehendaki hatimu,” ujar Musa.

Tapi, dan ini yang tak disangka-sangka dari dongeng Rumi. Penggembala menjawab, “Ah, Musa. Aku telah melampaui itu. Aku kini tenggelam, berendam, dalam air mata tangisku”. Jawabnya. Penggembala bersikap acuh dan tak hendak kembali ke dalam acuan Musa. Sangat disayangkan karena akhirnya Musa lebih memilih tetap bertumpu pada rumusan hukum “perkenan”, perizinan, sabda.

Dengan kata lain, dari adanya peristiwa tersebut rumusan hukum baru tercipta. Penggembala lebih menyukai keakraban total dengan Tuhan yang dicintainya tanpa ingin memakai perantara. Masnawi Rumi menampakkan bahwa Musa yang dalam Alkitab dikisahkan sebagai penerima 10 Aturan Tuhan, justru dibuat tidak memahami sepenuhnya, apa yang diinginkan Tuhan.

0 Shares:
You May Also Like