Problem Epistemologi dan Perlunya Islamisasi Ilmu Pengetahuan

Oleh: Bil Hamdi

Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra Jakarta

Perkembangan sains modern telah mengantarkan umat manusia pada puncak kejayaan duniawinya. Sayangnya, kemajuan dunia itu tidak diimbangi dengan peningkatan spritualitas. Sebaliknya umat manusia malah makin menjauh dari agama, bahkan dari Tuhan. Ilmu pengetahuan modern, selain telah memberikan segala kemudahan bagi kita, juga telah menyumbang dampak negatif yang luar biasa. Terutama menyangkut keimanan umat beragama.

Dewasa ini, iman dan agama terus dipukul mundur oleh kemegahan sains. Para ilmuwan sains dengan bangga menyatakan bahwa sains bisa menjawab segala persoalan dengan bukti konkret. Sebaliknya, mereka merendahkan umat beragama sebagai orang lemah yang berhenti mencari kebenaran dengan cukup meyakini dogma-dogma. Agama dianggap tidak mampu menyelesaikan problem kemanusiaan modern. Akibatnya, gelombang ateisme pun tak bisa dihindari. Di berbagai belahan dunia, orang-orang mulai menanggalkan keimanan mereka dan memasuki wilayah baru di mana tak ada lagi Tuhan yang berkuasa. Di wilayah itu, Tuhan seolah tak berdaya dan takluk di bawah cengkraman ilmu pengetahuan. Dari sini, muncul pertanyaan ‘mengapa sains begitu memusuhi agama?’

Mulayadhi Kartanegara dalam bukunya Mengislamkan Nalar melacak sumber fundamental dari segala kekisruhan sains melawan agama. Menurutnya, sains yang diusung Barat dibangun atas dasar epistemologi yang materialistik dan positivistik. Ketika menjawab pertanyaan “apa yang dapat diketahui?” mereka (barat) menjawab  bahwa manusia hanya dapat mengetahui hal-hal sejauh yang mampu diamati oleh indra. Dan ketika menjawab pertanyaan “bagaimana mengetahui?”, mereka (barat) menjawab hanya indra (metode observasi) satu-satunya instrumen pengetahuan manusia. Oleh karena itu, hal-hal di luar pengamatan indrawi merupakan sesuatu yang mustahil dijamah oleh manusia.

Bangunan epistemologi barat yang sedemikian materialistik itu kemudian berlanjut pada problem realitas (kenyataan). Hal-hal yang nyata, menurut mereka (barat) hanyalah benda-benda fisik (materi)  yang mampu dijangkau dengan indra.  Dengan demikian, segala sesuatu yang tidak dapat dijangkau indra merupakan sesuatu yang tidak nyata (unreal). Dari sinilah, sains mulai melakukan serangannya terhadap agama serta segala perangkat keyakinannya. Karena yang nyata hanyalah materi (fisik), maka hal-hal metafisik tidak lain hanyalah khayalan semata. Dengan demikian Tuhan, malaikat, iblis, surga dan neraka dianggap tak lebih dari khayalan manusia yang tak nyata adanya atau meminjam istilah Richard Dawkins bahwa keyakinan tentang Tuhan hanyalah delusi (wahm). Mereka (barat) akan bertanya ‘kalau memang Tuhan itu ada, mana buktinya?’. Ketika mengatakan ‘bukti’, yang dimaksudkan di sini adalah bukti empiris yang diperoleh melalui observasi, sehingga bahkan argumen keteraturan dan harmoni alam (argumen from design) yang dianggap paling kuat untuk membuktikan eksistensi Tuhan, kini tak lagi dianggap valid sebab hanya berdasarkan metode silogisme, dan bukan melalui metode observasi. Dalam hal ini, teori evolusi Darwin mengenai seleksi alam dianggap telah mematahkan argumen keteraturan alam tersebut.

Baca Juga:  Muqaddimah dan Karakteristik Pemikiran Ibn Khaldun

Lalu, bagaimana tindakan kita sebagai seorang yang beragama? Kita bisa saja mencaci maki sains sebagai ilmu yang mengantarkan pada kekufuran. Bisa juga menolak kemajuan sains dengan berhenti menggunakan fasilitas hasil temuan sains. Lalu, pergi jauh ke dalam hutan mengasingkan diri dari gemerlap dunia modern. Namun, perbuatan itu malah akan membuat mereka semakin yakin bahwa agama memang sudah tak lagi mampu menjawab tantangan zaman. Dan secara perlahan-lahan umat beragama akan meninggalkan agama lama mereka yang ajarannya telah usang. Lalu, beralih ke agama baru yakni sains modern. Sebuah agama tanpa Tuhan di mana para saintis akan menjadi ‘nabi-nabi’ baru untuk masa depan. Sebagai orang yang beragama, tentu kita tidak bisa membiarkan ini terjadi.

Untuk menjawab tantangan inilah, upaya islamisasi ilmu menjadi sangat relevan sebagai sebuah solusi bagi umat Islam agar mampu mempertahankan keimanan di tengah pengaruh sains dan modernitas yang demikian pesat. Islamisasi ilmu pengetahuan berarti mengislamkan atau melakukan penyucian terhadap sains produk barat karena sangat kering dan jauh dari nilai-nilai spritual. Inilah sesungguhnya tugas intelektual dan cendekiawan Muslim di era sekarang.

Teori ilmu haruslah dihadapi dengan teori ilmu pula. Canggihnya epistemologi barat juga mesti kita hadapi dengan mengembangkan epistemologi Islam sehingga alih-alih melarikan diri (dari persoalan), kita justru mampu memberikan respon terhadap serangan-serangan yang diajukan sains terhadap agama dengan jawaban yang logis dan rasional.

Untuk memahami lebih lanjut tentang kemungkinan Islamisasi ilmu ini, kita juga mesti mengetahui bahwa terdapat perbedaan mendasar antara epistemologi Islam dan barat, yang mana, jika barat membatasi dirinya hanya pada hal-hal yang bisa diamati dengan indra, maka Islam tidak demikian. Dalam Islam, instrumen atau alat untuk menangkap pengetahuan meliputi tidak hanya indra, namun juga akal dan hati (intuisi, wahyu, ilham). Jadi, apa-apa yang mampu diamati oleh indra, apa-apa yang dapat diabstraksikan oleh akal, dan apa-apa yang dapat dirasakan oleh hati, kesemuanya menjadi sumber pengetahuan dalam Islam. Dengan demikian, lingkup ilmu dalam Islam jauh lebih luas dibandingkan sains modern meliputi tidak hanya bidang-bidang yang bersifat fisik tetapi juga yang metafisik seperti Tuhan, malaikat, alam kubur, dan alam akhirat. Dalam epistemologi Islam, realitas tak terbatas pada hal-hal materi saja, melainkan termasuk juga yang metafisik. Dalam pandangan ini, benda fisik dan metafisik adalah sama riilnya. Bahkan dunia metafisik (akhirat) dianggap sebagai yang lebih hakiki.

Baca Juga:  Hijrah (4) : Menuju Masyarakat Madani

Dari kerangka epistemologi Islami inilah, lahir ilmuwan-ilmuwan Muslim abad pertengahan terkemuka yang berhasil menemukan berbagai penemuan penting dan tercanggih pada zamannya. Dari pemikiran mereka, berbagai displin ilmu baru pun muncul, mulai dari aljabar, trigonometri, serta kimia. Belum lagi sumbangan besar terhadap ilmu kedokteran, astronomi, serta teknik pertanian yang tak ternilai harganya. Islam punya sederet nama seperti Al-Jazari yang dikenal sebagai father of robotics karena penemuan jam gajahnya yang sangat unik dan dianggap sebagai karya robotik pertama di dunia, atau seperti Ibnu al-Haytham yang mendapat gelar sebagai father of modern optic berkat kontribusi besarnya di bidang optik, Al-Idrisi yang berhasil membuat peta dunia dengan deskripsi paling lengkap dan rumit yang bahkan dianggap sebagai peta paling hebat di abad pertengahan, atau Ibnu Sina seorang filsuf Muslim yang menulis kitab Asy-Syifa‘ yang sangat berpengaruh bagi perkembangan ilmu kedokteran modern, serta banyak lagi yang tak dapat disebutkan satu per satu di sini. Penemuan-penemuan inilah yang menjadi tonggak kemajuan sains modern yang dikembangkan oleh Barat sekarang.

Pertanyaannya, apakah kemajuan ilmu pengetahuan yang dikembangkan ilmuwan Muslim itu membuat mereka meninggalkan agama dan lalu menjadi seorang ateis? Jawabannya adalah tidak.

Bila kita melihat sejarah perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam, kita tidak akan menemukan seorang pun ilmuwan yang secara eksplisit meninggalkan keyakinan mereka terhadap agama dan Tuhan karena pandangan keilmuwan mereka. Penguasaan mereka yang luar biasa di bidang fisika, matematika, astronomi, ataupun kimia tidak membuat mereka menjadi ateis dan lalu menolak ajaran Islam. Justru, penemuan mereka di bidang sains malah makin memperkuat keimanan mereka. Inilah perbedaan yang sangat jelas antara ilmuwan Muslim dan ilmuwan Barat modern. Dan perbedaan ini tentunya merupakan konsekuensi logis dari perbedaan epistemologi antara keduanya.

Baca Juga:  Dakwah Perlu Manfaatkan Fasilitas Teknologi

Melihat dampak negatif yang luar biasa dari perkembangan sains modern terhadap keimanan umat beragama, maka dirasa perlu adanya islamisasi ilmu pengetahuan yang berlandaskan epistemologi Islami. Tujuannya, agar sains sebagai lambang kemajuan duniawi dan agama sebagai lambang kemajuan ukhrawi bisa berjalan beriringan tanpa saling menjatuhkan. Sebagaimana yang dulunya juga telah pernah dicapai oleh peradaban Islam. Wallahu a’lam.

Untuk melihat koleksi kaos, lihat di sini.

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Kemarahan Suci?

Oleh: Haidar Bagir Pengasuh Nuralwala: Pusat Kajian Akhlak dan Tasawuf Lama saya berpikir, kenapa ketika sedang berbicara tentang…