Belajar Cinta Kepada Rabi’ah al-‘Adawiyah

Oleh: Darmawan

Ketua Program Nuralwala: Pusat Kajian Akhlak dan Tasawuf

Perlu ditegaskan, dalam ajaran Al-Qur’an kesempurnaan seorang insan itu tidak terletak pada status gendernya, tetapi yang membuat manusia mulia ialah karena ketakwaannya di hahadapan Allah swt. (QS. Al-Hujurat [49]:13).

Untuk itu, dalam catatan sejarah peletak/penggerak/pemimpin peradaban itu ada kalanya dari kalangan laki-laki dan ada juga dari kalangan wanita. Dalam diskursus tasawuf pun tercatat selama berabad-abad banyak dari kalangan sufi wanita turut berpartisipasi dalam mengembangkan ajaran-ajaran tasawuf seperti Rabi’ah al-‘Adawiyah, Lubabah al-Muta’abidah, Maryam al-Bashriyah, Rayhanah al-Walihah dsb—terkait informasi sufi-sufi perempuan bisa dibaca dalam kitab Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidat al-Shufiyyah karya Abu ‘Abd al-Rahman as-Sulami yang berhasil mencatat 84 sufi perempuan.

Dari sekian banyak sufi perempuan yang paling masyhur ialah Rabi’ah al-‘Adawiyah, tentu ini disebabkan karena kesempurnaan spiritual dan kepakarannya, sehingga banyak para sufi setelahnya mengutip dan meriwayatkan qaul-nya. Di antara tokoh sufi yang meriwayatkan ujaran-ujaran Rabi’ah ialah Sufyan al-Tsauri dan Syu’bah (Ibn al-Hajjaj), sedangkan di Nusantara ada sufi perempuan dari Cirebon bernama Nyi Ratu Junti yang mengamalkan laku tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyah hingga ia rela tidak menikah karena kecintaannya kepada Tuhan—terkait cerita Ratu Junti tertuang dalam naskah Carub Kandha Naskah Tangkil. Di era modern, kesohoran nama Rabi’ah tidak redup di kanca zaman, justru pemikiran dan laku spiritulnya masih terus dikaji hingga mampu menyelesaikan problem solving masyarakat modern saat ini.

Terjadi perbedaan pendapat terkait tahun kelahirannya, ada laporan menyatakan bahwa Rabi’ah lahir di kota Bashrah tahun 95 H/714 M dan ada pula yang menyakini lahir di tahun 99 H/718 M dan wafat di Bashrah tahun 185 H/801 M. Terlepas dari itu, yang jelas Rabi’ah dikenal sebagai tokoh sufi yang pertama kali mempromosikan gagasan Cinta Ilahi sebagai dasar dalam menjalankan semua ritus agama. Persisnya tanpa pamrih akan surga maupun takut neraka. Sebagaimana bunyi baitnya:

Baca Juga:  Islam dan Rasionalitas: Konstruksi Masyarakat Ideal

Duhai jiwa, berapa lama engkau tertidur?

Sampai kapan kau tertidur?

Hampir saja engkau tertidur dan tidak bangun kalau bukan karena sangkakala Hari Kebangkitan mengoyakmu.

Wahai Tuhanku, pengabdianku kepada-Mu

Bukan karena panasnya neraka, bukan karena nikmatnya surga,

namun karena besarnya cintaku pada-Mu.

Rindu bertemu dengan-Mu itulah yang mendorongku.

Dalam Dzikr al-Niswah al-Muta’abbidat al-Shufiyyah As-Sulami mencatat, suatu hari Sufyan ats-Tsauri (murid langsung Rabi’ah) bertanya kepada Rabi’ah, Apa cara yang terbaik bagi seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah? Rabi’ah menangis dan menjawab, “Bagaimana bisa manusia seperti diriku ditanya tentang itu? Cara yang terbaik bagi seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. ialah ia harus mengetahui bahwa ia tidak boleh mencintai apa pun di dunia atau di akhirat nanti, selain cinta kepada Allah swt”.

Syihabudin al-Suhrawardi dalam buku ‘Awarif al-Ma’arif mengutip bait puisi Rabi’ah al-‘Adawiyah:

Kujadikan Engkau teman berbincang kalbu

agar tubuhku berbincang dengan-Mu.

Dengan-Mu tubuhku merasa dekat

dalam kalbu terpancar selalu

oh kekasihku cintaku.

Saking kuat dan besar cintanya kepada Allah, hingga Rabi’ah tuna cinta kepada makhluk-Nya. Al-Sulami memaparkan, pada suatu hari Rabi’ah ditanya: Bagaimana cintamu kepada Nabi saw.? Atas pertanyaan itu Rabi’ah menjawab, “Sungguh, aku cinta kepadanya. Tetapi cinta kepada Sang Pencipta (Allah) telah memalingkan aku dari cinta kepada makhluk”.

Hemat saya ucapan, ajaran dan laku tasawuf Rabi’ah al-‘Adawiyah merupakan puncak dalam keberagamaan antara makhluk dan Khaliq, antara Ma’bud dan ‘abid atau manusia dan Tuhan, hubungan antara keduanya ialah terjalin penuh cinta kasih sebagaimana bunyi ayat, “Hai orang-orang yang beriman! Barang siapa di antara kamu murtad dari agamanya, maka kelak Allah mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka (pun) mencintai-Nya” (QS. Al-Ma’idah [5]: 54).

Baca Juga:  THE POWER OF MUHAMMAD SAW

Hubungan cinta kasih antara Allah dan makhluk ini tercipta, tentu karena manusia telah berhasil dalam melakukan ritus penyucian diri dari keangkuan diri, hawa nafsu, hingga dirinya sirna (fana’).

0 Shares:
You May Also Like