Tradisi Filsafat Islam Pasca Mulla Sadra Periode Safawi

Di luaran sana, obrolan dan diskusi tentang End Philosophy di kalangan para intelektual, khususnya intelektual Indonesia dalam beberapa bulan terakhir ini, menguak kembali dan semakin marak serta menarik. Ini tak bisa lepas dari kemajuan dan temuan-temuan sains modern.

Obrolan dan diskusi ini tak hanya terkait tentang filsafat umum atau filsafat Barat, melainkan juga mencakup filsafat Islam yang memang oleh sebagian kalangan intelektual Islam sudah redup bahkan mati sejak dikritik al-Ghazali lewat Tahafutul al-Falasifah-nya.

Bagi saya pribadi, obrolan dan diskusi tentang filsafat Islam di tengah-tengah obrolan end philosophy ini tetap menarik, serta masih membutuhkan keberlanjutan diskusi dan saya menikmatinya. Salah satunya obrolan dan diskusi terkait filsafat Islam adalah nasib tradisi filsafat Islam Pasca Mulla Sadra.

Sebagaimana dalam catatan yang beberapa waktu lalu dirilis, Mulla Sadra tetap dan akan menjadi tokoh yang paling berpengaruh dalam kelanjutan tradisi filsafat Islam hingga sampai hari ini.

Barangkali para peminat filsafat Islam sudah tahu, kalau Mulla Sadra merupakan filsuf besar, dan sangat dominan di bidang metafisika. Pemikiran dan gagasannya dapat dikatakan sebagai puncak sekaligus penyempurna dari aktivitas intelektualisme lebih dari satu abad sebagaimana yang dilakukan para filsuf, teolog, dan ahli mistik (sufi), baik yang terjadi di dunia Islam maupun yang diwarisi oleh para ahli hukum Islam di peradaban lain.

Tak hanya di dunia Islam, akan tetapi juga di seluruh dunia, baik Timur maupun Barat dan ajarannya bukan satu-satunya yang memiliki pengikut hingga sampai hari ini. Ada tokoh dan ajaran Avecennean, serta Suhrawardian yang maju berjalan berdampingan dengan Mulla Sadra di Persia.

Ini sebagai suatu pertanda baik dari perjalanan khazanah filsafat Islam yang kita miliki. Nyatanya memiliki berbagai variasi dan kaya gagasan di mana tak ada keredupan apalagi mati suri, serta bisa jadi sebagai bagian dari saksi kebangkitan kembali filsafat Islam di Persia, terutamanya pada periode Safawi ini.

Baca Juga:  Pemahaman Islam dalam Pusaran Zaman Fitnah

Pada periode Safawi ini, tradisi filsafat Isyaraqi di Persia memiliki mata rantai yang sangat panjang, di mana pengaruh dan puncaknya terjadi sekitar abad ke-VII/XIII. Beberapa filsuf besar seperti, Muhammad Baqir ibn Syams al-Din Muhammad (w.1040 H / 1161 M), yang masyhur dipanggil Mir Damad, pendiri mazhab Isfahan, dan Mulla Sadra serta ibn Turkah Isfahani, Jalal al-Din Dawani, Dashtakis dan Sayyid Syarif Jurjani hidup masa Safawi ini.

Para generasi berikutnya juga ikut andil dalam memberi komentar pada karya pendahulunya, seperti yang dilakukan Dawani dan Ghiyath al-Din Mansur Dasytaki yang menulis tafsiran tentang Hayakil al-Nur dan Wadud Tabrizi di al-Alwah al-‘Imadiyyah dan juga mengulas komentar Quthbuddin tentang Hikmah al-Isyraq.

Tokoh lain yang ikut memberi komentar para karya pendahulunya ada Ibn Kummunah (w.667 H/1269 M) yang menulis komentar terhadap buku Al-Talwilat, karya Nashir ad-Din ath-Thusi (597 H/1201 M – 672 H/1274 M), serta muridnya Allamah Hilli (w.693 H/1293 M), dan juga Athir ad-Din Abhari.

Tak berhenti di situ, keberlanjutan tradisi filsafat Islam pasca Mulla Sadra ini diteruskan kembali oleh murid-muridnya, yang paling terkenal, misalnya ada Abd al-Razaq Lahiji, wafat sekitar tahun 1072/1661. Lahiji ini dikenal sebagai teolog atau pakar ilmu kalam. Dapat dikatakan ia sangat terpengaruh pemikiran Mulla Sadra. Meskipun demikian, Lahiji menulis karya yang bercorak isyraqi dan menulis komentar atas karya Suhrawardi diberi judul Hayakil an-Nur.

Selain al-Lahiji ada Mulla Muhsin Fayd Kasyani wafat sekitar 1091/1680. Ada yang menyebut kalau Kasyani ini adalah tokoh penting di anatara murid Mulla Sadra, karena dianggap bisa menghidupkan kembali ajaran al-Ghazali dalam bingkai Syi’ah.

Kedua murid Mulla Sadra ini sangat mencurahkan hidupnya pada ilmu-ilmu agama yang lebih sifat murni seperti, hadis dan teologi. Keduanya jarang sekali menulis tentang teosofi transenden karena pada masanya ada semacam perlawanan dari beberapa ulama eksoterik.

Baca Juga:  Ziarah ke Sebalik Sungai Amu Darya (Bagian 4)

Meskipun demikian, keduanya tetap berlatih mendalami ajaran Mulla Sadra seperti memberi pengajaran pada yang lain. Di antara murid lain Mulla Sadra ada yang bernama Qadi Sa’id Qummi (w.1103/1692) dikenal karena tulisan-tulisan filsafat Islamnya yang sangat tajam dan mencolok, termasuk komentarnya atas karya Plotinus yang berjudul Enneads, di mana di dalamnya dijelaskan makna batin pada gerakan peribadatan Islam. Selain itu, Qummi juga menulis karya penting berjudul Asrar al-Ibadat.

Tokoh lain yang sangat jarang sekali terekspos, apalagi sampai menjadi topik pembahasan di mata kuliah Filsafat Islam, adalah Mulla Muhammad Sadiq Ardistani (w.1134/1721), merupakan tokoh yang dianggap menjembatani antara ajaran Mulla Sadra pada masa periode Safawi atau Safawid.

Pada periode Safawi di era Ardistani ini, ajaran-ajaran filsafat Islam Mulla Sadra ditransmisikan menjadi tradisi lisan sebagai bagian dari transmisi filsafat Islam tradisional. Di era Ardistani ini pula, mata rantai guru dan jaringan murid pada generasi filsuf berikutnya kuat dan berarti.

Transmisi keilmuan ini kalau boleh saya katakan hampir sama seperti yang dilakukan ulama-ulama trandisional di Indonesia, atau kalau dalam konteks yang lebih luas lagi seperti transmisi keilmuan yang dilakukan jaringan Ulama Timur Tengah dan kepulauan Nusantara di sekitar abad 17 dan 18, dalam bingkai ulama sufisme layaknya narasi Azyumardi Azra.

Dengan demikian, apa yang dilakukan Ardistani konteks dan skalanya lebih kecil lagi. Meski begitu dapat dikatakan pula ajaran Mulla Sadra memiliki jaringan transmisi baru yang sangat terbentang luas hingga sampai terasingnya dari Isfahan di akhir periode Safawid. Menjelang berakhirnya periode Safawi, tradisi filsafat Islam pasca Mulla Sadra, dilakukan melalui praktek-praktek sufisme yang didasarkan pada fondasi-fondasi syariah.

Baca Juga:  Menguak Makna Batin Kisah Nabi Saleh

Dan, seiring melemahnya periode Safawi ini penopang utama tradisi filsafat Islam, lewat sufisme pada akhirnya terdesak oleh dominasi golongan yang memiliki paham ortodok. Dominasi ortodoks pada tradisi filsafat Islam menandakan berakhirnya periode Safawi yang kemudian digantikan periode Qajar.

Pada periode Qajar ini, tradisi filsafat Islam kurang mendapat dukungan penguasa Qajar secara politis terhadap pengembangan intelektual dan mistis di Persia juga memberi dorongan pengaruh pada isyraqi menjadi mazhab Isfahan layaknya pada periode Safawi, filsafat Hikmah al-Muta’aliyah Mulla Sadra tetap dapat eksis. Di antara tokoh-tokoh penting penyebar pengaruh iluminasionis pada periode ini adalah Hasan Lanbuni sekitar abad ke-13 H atau abad ke-19 Masehi.

0 Shares:
You May Also Like
Read More

ZIARAH (Bagian 1)

Kata “ziarah” berasal dari bahasa Arab. Artinya, mengunjungi atau bertandang. Maknanya umum, bisa bertandang ke rumah orang, mengunjungi…