Yang Tak Menyayangi Para Pendosa, Berarti Telah Keluar dari Jalan yang Benar
Mujadid abad ke-5 Hijriah, Hujjatul Islam Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, menyebutkan dalam karya terakhirnya, Minhāj al-‘Ābidīn ilā Jannah Rabb al-‘Ālamīn (2006: 37), bahwa orang-orang yang memiliki akal sehat (żawī al-albāb)―yang merupakan makhluk Allah yang paling mulia―harus memandang seluruh makhluk Allah dengan pandangan kasih sayang dan meninggalkan pertentangan dan pertengkaran (an naẓara ilā kaffati khalqillāh ta‘alā bi ‘ainir raḥmah wa tarkil mumārāh).
Dahulu Nabi Muhammad saw.―yang ditemani sahabat Zaid bin Haritsah―pernah meminta pertolongan kepada suku Tsaqif untuk perlindungan umat Islam. Namun, mereka tidak hanya menolak permintaan Rasulullah saw. itu secara keji dan jahat, tetapi juga menyuruh orang-orang pandir dan para budak untuk mencaci maki beliau dan melemparinya batu. Perbuatan jahat mereka ini mengakibatkan urat keting Rasulullah saw. terluka dan mengalirkan darah, dan membuat Zaid bin Haritsah terluka di bagian kepala karena melindungi Rasulullah saw. agar tidak terkena lemparan batu-batu tersebut. Akhirnya, malaikat Jibril menemui Rasulullah saw. untuk membalas kejahatan mereka. Namun, beliau lebih memilih mendoakan mereka seraya berkata, “Ya Allah, semoga Engkau memberikan petunjuk kepada kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui” (‘Umar ‘Abd al-Jabbâr, Khulâṣah Nûr al-Yaqîn fî Sîrah Sayyid al-Mursalîn, Juz I: 41-42).
Di sisi lain, Nabi Muhammad saw. pernah diminta untuk mendoakan orang-orang musyrik celaka. Akan tetapi, beliau menjawab, “Sesungguhnya aku tidak diutus untuk melaknat, tetapi aku diutus untuk menjadi rahmat” (Mawsū‘ah Naḍrah an-Na‘īm, 1998, VI: 2099). Menurut penulis, akhlak Rasulullah saw. tersebut merupakan contoh nyata dari memandang makhluk Allah dengan pandangan kasih sayang dan meninggalkan pertentangan dan pertengkaran.
Sebab, jika beliau tidak memandang mereka dengan pandangan kasih sayang, maka beliau tentu akan mengiakan permintaan malaikat Jibril untuk membalas mereka dan mengiakan permintaan para sahabat dengan mendoakan orang-orang musyrik celaka. Namun, beliau tidak melakukan hal itu, karena beliau adalah raḥmah (kasih sayang), nabiyyur raḥmah (Nabi kasih sayang), dan rasūlur raḥmah (Rasul kasih sayang) untuk seluruh alam (Syekh Muhammad Tahir-ul-Qadri menulis secara khusus hadis-hadis yang berkaitan dengan rahmat/kasih sayang Rasulullah saw., baik kepada golongan jin, manusia, binatang, maupun tumbuhan dalam Muhammad the Merciful).
Menurut Syekh Abdul Wahhab asy-Sya‘rani (wali qutub pada masanya), salah satu akhlak para ulama salaf aṣ-ṣāliḥ adalah memiliki kasih sayang dan empati yang besar kepada seluruh umat Islam (baik taat maupun durhaka/ahli maksiat) dan sekalian binatang. Bahkan mereka tidak mau mendoakan celaka orang-orang yang menzaliminya. Dalam hal ini, Syekh Ibrahim at-Tamīmī sama sekali tidak pernah mendoakan celaka orang yang menzaliminya. Sebab, sudah cukup baginya dosa kezaliman yang telah dilakukan (Tanbīh al-Mugtarrīn, hlm. 120-121).
Para ulama salaf aṣ-ṣāliḥ mewarisi sifat kasih sayang dan empati Nabi Muhammad saw., sehingga mereka menyayangi manusia melebihi dirinya sendiri. Oleh karena itu, Syekh Abu Abdillah al-Magāribī berkata, “Barang siapa yang tidak memandang para pendosa dengan pandangan kasih sayang, maka sungguh dia telah keluar dari jalan (yang benar).” Dalam hal ini, ketika Syekh Ma‘ruf al-Karkhi melihat seorang pendosa (ahli maksiat), maka dia memintakan ampunan dan rahmat kepada Allah untuk pendosa tersebut. Hal ini dilakukan karena Allah mengutus Nabi Muhammad saw. untuk menyelamatkan manusia dan menebarkan kasih sayang kepada mereka. Sedangkan setan diutus untuk mencelakakan manusia dan berbahagia atas perbuatan-perbuatan buruk mereka (hlm. 120-121).
Selain itu, disebutkan bahwa suatu ketika Syekh Ma‘ruf al-Karkhi bertemu dengan sekelompok Muslim yang sedang membawa khamar dan sejenisnya di atas perahu di sungai Tigris. Lalu, beberapa orang berkata kepadanya, “Apakah Anda tidak mau mendoakan para pendosa itu celaka?” Maka, beliau berdoa, “Ya Allah, sebagaimana Engkau telah membahagiakan mereka di dunia, maka bahagiakanlah mereka kelak di akhirat.” Mendengar hal itu, mereka berkata lagi, “Kami kan menyuruh Anda mendoakan mereka celaka. Kok, Anda malah mendoakan kebahagiaan untuk mereka?” Beliau menjawab, “Aku berlindung kepada Allah dari mendoakan orang Islam celaka. Sesungguhnya Allah tidak akan membahagiakan mereka di akhirat kecuali Dia telah menerima tobat mereka dan mengampuni dosa-dosanya di dunia” (hlm. 121).
Bahkan―saking sayangnya kepada sesama Muslim―para ulama salaf aṣ-ṣāliḥ menghindari perbuatan-perbuatan baik yang bisa menyebabkan seorang Muslim berdosa. Hal ini merupakan sebagian akhlak mereka yang paling agung, yang hanya mampu dilakukan oleh orang-orang yang (hatinya) telah mendapatkan pancaran cahaya dari Allah. Dalam hal ini, Syekh Abu Muslim al-Khawlānī sengaja tidak memanggil salam ketika bertemu orang-orang Islam. Beliau melakukan hal ini karena khawatir mereka akan merendahkannya dan tidak menjawab salamnya, sehingga mereka berdosa karenanya. Di sisi lain, Syekh Abu Abdillah al-Anṭākī berkata: “Jika engkau tahu bahwa orang-orang akan menghinamu, maka kamu tidak boleh berkumpul dengan mereka karena kasihan kepada mereka, kecuali dalam waktu-waktu salat” (hlm. 120-121). Dengan demikian, ketika dia tidak berkumpul dengan mereka, maka mereka akan terhindar dari dosa menghina. Wallāhu A‘lam wa A‘lā wa Aḥkam…