BAGAIMANA DENGAN AYAT-AYAT YANG MENGANCAM AZAB BERLIPAT GANDA ITU?

Beberapa hari lalu saya menulis “Meraih Husnul Khatimah dan Kemenangan dalam Hisab-Nya itu Tidak Sulit”. Benarkah demikian? Bagaimana dengan ayat-ayat di bawah ini?

Pertama, malah paruh ayat pertama yang justru saya jadikan salah satu dalil kedermawanan Allah, disebutkan sbb. :

وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا. يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا

“Dan orang-orang yang tidak menyembah Rabb yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat (pembalasan) dosa-(nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada Hari Kiamat dan Dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina” (QS. Al-Furqan [25]: 68-69).

Lihat, betapa Allah melipatgandakan azab atas perbuatan buruk kita. Dan masih ada beberapa ayat lain yang bermakna sama.

Sebagian menafsirkan bahwa ayat pembalasan setimpal terhadap perbuatan buruk itu berlaku di dunia sebagai qishash. Ada juga yang menyatakan bahwa pelipatgandaan azab itu adalah karena bukan saja orang jahat itu telah berbuat jahat, tapi perbuatan jahat itu telah memberikan dampak jatuh. Ringkasnya bahwa kejahatannya bersifat jariyah.

Menurut saya, tak ada dasar yang kuat untuk menafsirkan ayat-ayat tersebut sebagai hanya berlaku di dunia sebagai bentuk qishash. Atau, kalau itu mau ditafsirkan sebagai dampak dari sifat jariyah dari keburukan tersebut, argumentasi saya masih berlaku dosa keburukan itu dikalikan sekian orang yang terdampak secara jariyah, tapi masing-masing dikalikan satu. Sementara untuk amal jariyah yang baik, maka pahalanya dikalikan jumlah orang yang terdampak lalu dikalikan sepuluh.

Baca Juga:  Apa yang Dimaksud dengan Istilah Atas, Tinggi, Bertempat di Langit dalam Teks-Teks Keagamaan?

Penafsiran lain, yang tidak bertentangan dengan penafsiran yang baru saya sampaikan di atas adalah sebagai berikut. Prinsip mengganjar perbuatan buruk sebagai (hanya) setimpal dengan perbuatannya itu berlaku bagi orang yang melakukannya karena khilaf. Dengan kata lain, bukan karena sengaja membangkang (menantang, bahasa Jawa ya njarak) kepada Allah Swt. Nah, jika perbuatan buruk itu dilakukan sebagai bentuk pembangkangan, maka dosanya menjadi berlipat. Pertama adalah dosa berbuat keburukan, dan kedua adalah dosa pembangkangan. Bukan itu saja, sudah mereka menyeleweng dari aturan Allah, mereka pun menghalangi orang dari jalan-Nya. Saya kira ini yang dimaksud dengan ayat berikut ini:

الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوا عَن سَبِيلِ اللَّهِ زِدْنَاهُمْ عَذَابًا فَوْقَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُوا يُفْسِدُون

“Dan orang-orang kafir yang menghalangi orang dari jalan Allah, maka Kami tambahkan azab di atas azab akibat kerusakan-kerusakan yang mereka perbuat” (QS. An-Nahl [16]:88).

Jadi pelipatgandaan itu terjadi akibat adanya dosa yang sudah dilakukan oleh si pelaku secara individual, ditambah lagi dengan dosa sosial menghalangi orang dari jalannya. Mudahnya, azabnya menjadi dua kali lipat karena ada dua kejahatan yang dilakukan. Berbeda dengan ganjaran bagi kebaikan yang, seperti difirmankan-Nya, satu kebaikan langsung diganjar dengan 10 kali lipat pahala.

0 Shares:
You May Also Like