Mengapa Nabi Muhammad Disebut sebagai Insan Kamil?

Teringat ungkapan dari Ibn al-‘Arabi bahwa puncak kemuliaan manusia sesuai dengan hadis takhallqu’ bi akhlaq Allah adalah berakhlak dengan akhlak Allah. Dan Nabi Muhammad Saw. sebagai manifestasi yang telah berhasil berakhlak dengan akhlak Allah. Sebab, beliau sebagai tajalli (manifestasi) Allah yang paling sempurna. Bukankah dalam hadis dikabarkan “Yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah (Nur) Muhammad. Kemudian ditegaskan dalam sebuah hadis qudsi dinyatakan bahwa, “Kalau bukan karenamu (Muhammad), maka Aku (Allah) tak akan menciptakan alam ciptaan ini”. Jadi, kesempurnaan alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kasih dengan mengambil kepribadian Nabi Muhammad Saw. sebagai modelnya.

Dalam pandangan Ibn al-’Arabi, alam ini terwujud berkat manifestasi “gagasan-gagasan Ilahi” yang kemudian disebut sebagai al-a’yan al-tsabitah (esensi-esensi permanen) yang menjadi bagian dari kesatuan wujud Allah Swt., sebagaimana yang tertuang di surat Fushshilat ayat 53. Kemudian Nabi Muhammad telah mengharmonisasikan semuanya itu di dalam dirinya. sebab, beliau sebagai mikrokosmos yang paling merepresentasikan segenap ciptaan Tuhan. Dengan itulah, mengapa Nabi disebut sebagai al-insan al-kamil (manusia paripurna), sehingga tidak heran ketika Tuhan Maha Kasih sendiri bersama malaikat-Nya bersalawat kepada Nabi, sekaligus memerintahkan orang-orang beriman untuk bershalawat dan menyertakan salam pada beliau juga.

إِنَّ اللهَ وَ مَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يا أَيُّهَا الَّذينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَ سَلِّمُوا تَسْليماً

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”.

Lantas, pernahkah kita mengkaji dan mencari tahu apa inti dari kesempurnaan Nabi Muhammad Saw.? Di samping, Akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an sebagaimana ketika Siti ‘Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah, kemudian beliau menjawab dengan menyatakan, “Akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an”. Dan Al-Qur’an sebagai manifestasi sempurna dari Tuhan dalam bentuk firman. Dengan demikian, inti kesempurnaan Nabi itu terletak pada laku dan akhlak yang agung (baca: QS. Al-Qalam ayat 4). Maka, kita dapat mengemukakan bahwa letak kesempurnaan Muhammad Saw. Pada akhlaknya dan itulah akhlak Allah (al-takhalluq bi akhlaq Allah).

Coba kita resapi ayat yang mengambarkan akhlak agung yang ada pada diri Nabi Muhammad Saw. Bagaimana Allah mengungkapkan akhlak Nabi melalui firman suci-Nya. Kemudian, apa inti dari akhlak Nabi yang dilabeli sebagai uswatun hasanah itu? Jawabannya inti akhlak Nabi adalah cinta dan kasih sayang. Bukankah cinta adalah asasku, kata Nabi. Semua sifat penuh cinta kasih yang beliau tampakkan adalah suatu kenyataan logis mengingat Tuhan diutus oleh beliau sebagai rahmat bagi seluruh alam (QS. Al-Anbiya ayat 107).

Baca Juga:  ZIARAH (3)

Ketika Allah telah mencciptakan makhluk, lalu Dia tuliskan dalam kitab-Nya yang tersimpan di ‘Arasy yang mengabarkan kasih sayang-Ku melampaui murka-Ku. Sebab, sifat yang dominan dalam dirinya adalah kasih sayang. Bukankah tiap hari kita baca basmalah sekalipun yang hanya dua sifat Allah muncul, keduanya (Rahman dan Rahim) yang mengarah pada cinta kasih. Di sisi lain, ditegaskan di sebuah hadis bahwa, “Allah yang membagi kasih sayang-Nya menjadi 100 bagian. Disimpan-Nya 99 bagian dari-Nya. Kemudian Dia turunakn ke bumi satu bagian yang dengannya, menyebabkan seluruh ciptaan saling menyayangi, persisnya kasih sayang seorang ibu kepada anaknya.

Maka, semua yang terjadi di alam semesta sebagai ejawantahan dari cinta-Nya, dan kasih sayang-Nya melambari seluruh ciptaan sampai ke seantero langit dan bumi. Kemudian Syaikh Akbar Ibn al-‘Arabi—mahaguru kaum sufi—berkata, Cintalah yang menjadi dasar seluruh gerak-gerik di semesta.

Dengan demikian, puncak kasih-sayang di antara manusia itu terejawantahkan dalam cinta seorang ibu kepada anaknya. Maka muncullah ungkapan “kasih ibu sepanjang hayat”. Karena, seluruh cinta kasih yang mengghinggapi hati para ibu sepanjang hayat, yang memberi kekuatan dalam mengandung, melahirkan, merawat, membesarkan dan mendidik anak-anaknya, dengan segala bentuk rintangan yang menghampiri hidupnya, ternyata hanyalah percikan dari satu bagian Cinta Tuhan yang dishare untuk seluruh semesta dan seluruh isinya. Dan masih ada 99 yang ditangguhkan buat kehidupan abadi, setelah kehidupan semu, kamuflase dan fatamorgana ini, yang dialokasikan Tuhan kepada kita.

Dalam mengarungi kehidupan, Tuhan mengutus utusan Tuhan membawa misi  untuk membimbing umat manusia ke jalan lurus. Selain, utusan Tuhan berupa Nabi ini selain membawa risalah Ilahi, juga agar kita bisa teladani. Sebab, Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir yang menebarkan cinta kepada umat manusia. Maka, kehadiran Nabi Muhammad Saw. sebagai manifestasi puncak dari Cinta Tuhan. Karena pribadi mulia ini telah dikuasai oleh cinta Ilahi, maka tetap tegar, kokoh dan tak mudah goyah, meskipun dihina, diusir dari kampung halaman dan seabrek perlakuan buruk lain-Nya pada saat beliau berdakwah. Dan apa kata Nabi Muhammad Saw? “Ya Tuhan, ampunilah perlakuan mereka kepadaku, sebab mereka tidak mengetahui apa yang telah mereka perbuat”. Maka, pengutusan Nabi Muhammad sebagai cinta kasih bagi semesta, inilah diistilahkan akhlak Muhammad yang berakhlak dengan akhlak Allah. 

Baca Juga:  Idulfitri Terjadi Setiap Hari

Kita yakin dan percaya dengan sepenuh hati, hidup Nabi memang dipenuhi dengan concern keprihatinan kepada manusia. Penderitaan yang dialami oleh manusia senantiasa dirasakan sebagai beban. Sekaligus dia menginginkan manusia terbebas dari problem yang menimpa pada mereka dan berharap agar setiap manusia bisa hidup bahagia. Sebagaimana ketika dinostalgia kembali, kehidupan Nabi sejak beliau muda, dia sudah menjadi tumpuan masyarakatnya. Sebelum tiba di usia perkawinannya, beliau ber-tahannus (khalwat), demi mencari solusi bagi kejahiliyahan kaumnya pada waktu itu. Dan ketika diberikan mandat oleh Tuhan sebagai Nabi dan Rasul, seluruh hidupnya dibaktikan bagi kesejahteraan umat manusia.

Maka, Nabi Muhammad sebagai sang insan kamil/manusia paripurna yang mana perwujudan sempurna sifat-sifat kasih sayang Allah Swt. Dialah pintu gerbang bagi kita untuk dapat kembali kepada Tuhan. Dengan mengikutinya dan menjadikannya sebagai suri tauladan dalam mengarungi hiruk pikuknya kehidupan. Ketika kita berhasil mengikuti beliau, sesungguhnya kita sedang menjalani proses pendakian spiritual untuk mengembangkan al-takhalluq bi akhlaq Allah. Sebab, mencintai Nabi Muhammad adalah mencintai Allah, dan mencintai Allah adalah adalah mencintai Nabi Muhammad Saw.(QS. Al-Imran ayat 31).

Kemudian hati yang merupakan rumah cinta dan mencinta merupakan peran hati. Dengan itulah, manusia mesti mencintai atas dasar cinta murni. Lantas, apa yang dimaksud dengan cinta murni itu? Tentunya, cinta murni yang dilandasi dengan keikhlasan. Dan cinta murni, cinta tanpa nafsu yang biasa dikenal cinta budak pada tuannya. Cinta yang tersucikan dari nafsu yang melenyapkan wujud pecinta, yang tersisa hanya wujud kekasih. Lagi-lagi, semua itu karena asasnya adalah cinta. Telah banyak rekaman sejarah perihal kisah para pecinta, mulai dari kisah Romeo dan Juliet, kemudian Rama dan Sinta hingga kisah Laila dan Majnun yang cukup populer.

Baca Juga:  Mengulik Nasionalisme dalam Islam (1)

Namun, manusia mesti berhati-hati dalam mencinta. Sebab, jangan sampai kita mencintai yang tak layak dicintai. Sebab, ada cinta yang sangat bernilai yang di bawah naungan akal yang biasa dikenal cinta rasional. Cinta rasional biasa dideskripsikan sebagai cinta yang menjadikan wujud nirbatas, yaitu Tuhan sebagai objek cinta primer. Adapun ranah ciptaan, dicintai sebagai medium mendekatkan diri kepada wujud nirbatas. Walhasil, mencintai wujud nirbatas yaitu Dialah yang sempurna di antara yang sempurna, berarti mencintai segala sesuatu yang bersumber dari-Nya. Maka, berbohonglah bagi mereka yang mengaku mencintai Tuhan, tetapi tak berakhlak dengan akhlak Allah.

Berdustalah bagi mereka yang mengaku mencintai Nabi Muhammad sebagai pembawa pencerahan kepada umat manusia, tetapi tak berakhlak dengan akhlak Allah. Sebab, Nabi Muhammad dilabeli sebagai insan kamil atas dasar beliau telah lulus dalam menginternalisasikan lakunya yakni berakhlak dengan akhlak Allah. Maka, mengeksploitasi ciptaan Tuhan berarti tidak mencintai Tuhan selaku Pencipta, semua ciptaan berasal dari-Nya. Semakin manusia mengenal Tuhan, maka semakin ia mencintai-Nya. Pada akhirnya, semakin mencintai Tuhan, maka semakin ikhlas pula ia menyembah-Nya, sekaligus mencintai segala yang berasal dari-Nya. Sebab, tidaklah mencintai Tuhan, kecuali bagi mereka yang mengenal-Nya. Sehingga muncullah sebuah hadis dikabarkan “Man ‘Arafahu Ahabbahu”, yaitu barang siapa yang mengenal Tuhan, maka Tuhan pun akan mencintai-Nya.    

Sumber Bacaan

Azam Bahtiar, 40 Hadis Cinta Untuk Milenial, Tangerang: Yayasan Islam Cinta Indonesia, 2018.

Haidar Bagir, Risalah Cinta Dan Kebahagiaan, Bandung: Mizan, 2015.

 

0 Shares:
You May Also Like