Proses belajar-mengajar Al-Qur’an merupakan perkara yang sangat mulia dalam Islam. Menurut Rasulullah saw., umat Islam yang paling baik adalah Muslim yang belajar mengaji Al-Qur’an, dan kemudian mengajarkannya kepada orang lain; khairukum man ta‘allama al-qur’ân wa ‘allamahû (Imam al-Gazâlî, Iḥyâ’ Ulûm ad-Dîn, 2005: 323). Di sisi lain, Rasulullah saw. memerintahkan umat Islam agar mendidik anak-anak mereka mencintai Nabi Muhammad saw., mencintai Ahlul Bait, dan membaca Al-Qur’an; ad-dibû awlâdakum ‘alâ śalâśi khiṣâlin: ḥubbi nabiyyikum wa ḥubbi ahli baitihî wa qirâ’atil qur’ân (Abdul Majid Tamim, Mi’ah Ḥadîś Syarîfah, hlm. 2).
Adapun pahala bagi orang tua yang mengajari anaknya sendiri membaca Al-Qur’an adalah seperti melaksanakan sepuluh ribu kali haji, memerdekakan sepuluh ribu budak dari keturunan Nabi Isma‘il, memberi makan sepuluh ribu Muslim yang kelaparan dan memberi pakaian sepuluh ribu Muslim yang telanjang, mendapatkan sepuluh kebaikan dari setiap huruf Al-Qur’an, dihapus sepuluh keburukannya, dan ditemani oleh Al-Qur’an di alam kubur sampai hari kiamat. Selain itu, Al-Qur’an akan menjadi hujahnya kelak di hadapan Allah, dan tidak akan meninggalkannya hingga masuk ke dalam surga. Keterangan ini berdasarkan hadis yang disebutkan oleh Hujjatul Islâm Imam al-Gazâlî (Minhâj al-Muta‘allim, 2010: 77).
Menurut Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah (Buya Hamka), meskipun Al-Qur’an sudah ditulis dalam satu mushaf dan dicetak beribu-ribu kali, tetapi keistimewaannya tidak akan tercapai sebelum dibaca. Sebab, Al-Qur’an adalah kitab bacaan, yang diturunkan ke muka bumi untuk dibaca dan diamalkan. Di sisi lain, Al-Qur’an adalah pedoman yang membentuk kehidupan dan kebudayaan umat Islam, yang ditegakkan di atas budi pekerti, kelembutan jiwa (perasaan), memperkaya pikiran dan kesadaran, dan tutur kata yang lemah lembut (Tafsir al-Azhar, Jilid 1: 10). Oleh karena itu, umat Islam harus belajar membaca Al-Qur’an hingga fasih sesuai aturan ilmu tajwid. Selain itu, mereka harus mendidik anak-anak mereka membaca Al-Qur’an hingga fasih, baik dididik sendiri maupun dipasrahkan kepada guru-guru agama yang fasih membaca Al-Qur’an. Buya Hamka menjelaskan bahwa mendidik anak-anak Muslim dari kecil membaca Al-Qur’an secara fasih dan benar sesuai ilmu tajwid merupakan tradisi di seluruh negara Muslim (hlm. 10).
Dalam perkembangannya, tradisi mendidik anak-anak Muslim membaca Al-Qur’an dari kecil tersebut mendapatkan perlawanan dari para penjajah. Dalam hal ini, salah satu usaha para penjajah yang menduduki negara-negara Muslim adalah menghalangi perhatian para orang tua agar tidak mengajari anak-anak mereka membaca Al-Qur’an. Salah satu contohnya adalah penjajah Belanda yang tidak memberi waktu belajar Al-Qur’an bagi anak-anak Muslim Nusantara yang sekolah di sekolah Belanda. Sehingga banyak orang Islam yang tidak bisa mengaji Al-Qur’an ketika Indonesia sudah merdeka. Bahkan sebagian dari mereka ada yang tidak bisa membaca kalimat syahadat saat melangsungkan akad nikah (hlm. 10).
Menaburkan Semerbak Aroma Al-Qur’an
Salah satu kontribusi nyata dan besar kiai, ibu nyai, ustaz, dan ustazah di kampung adalah mendidik generasi Muslim membaca Al-Qur’an secara baik dan benar sesuai koridor (aturan) ilmu tajwid. Dalam hal ini, para pahlawan tanpa tanda jasa tersebut memang menaruh perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan akhlak dan membaca Al-Qur’an. Sebab, dua hal ini sangat berguna bagi generasi Muslim, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Keberadaan para pengajar Al-Qur’an seperti kiai, ibu nyai, ustaz, atau ustazah di kampung tidak boleh diremehkan. Sebab, keberadaan mereka juga sangat memengaruhi bagi kebaikan hidup umat Islam.
Menurut Habib Zein bin Smith, ada lima golongan yang sangat berarti dalam kehidupan umat Islam, yaitu: (1) pengajar Al-Qur’an; (2) kesatria yang tak pernah gentar menghadapi musuh; (3) orang kaya yang dermawan; (4) ulama yang mengamalkan ilmunya; dan (5) pemimpin yang adil. Oleh karena itu, jika salah satu dari kelima golongan tersebut tiada (meninggal), maka pelita kehidupan akan berkurang (Al-Fawâ’id al-Mukhtârah li Sâlik Ṭarîq al-Âkhrah, 2008: 20).
Makanya, tidak heran jika para pahlawan tanpa tanda tersebut mewakafkan dirinya dengan penuh kesadaran, keikhlasan, dan kesabaran untuk mendidik generasi Muslim membaca Al-Qur’an di langgar atau masjid, yang biasanya dilaksanakan setelah salat Magrib sampai azan Isya. Mereka melakukan semua itu secara istikamah tanpa pamrih dan upah, baik dari para orang tua santri maupun dari pemerintah. Bahkan mereka juga terlibat aktif mendidik ilmu tajwid kepada generasi Muslim, yang biasanya dilaksanakan di Madrasah Diniyah. Dengan demikian, generasi Muslim bisa mengenal teori (hukum-hukum) bacaan Al-Qur’an sejak dini, dan kemudian mempraktikkannya ketika mengaji di langgar atau masjid. Berkat cinta dan kasih-sayang para pahlawan tanpa tanda jasa tersebut, generasi Muslim terutama di kampung-kampung bisa membaca kitab suci Al-Qur’an yang kudus, keramat, dan senantiasai terpelihara hingga hari kiamat. Sebab, Al-Qur’an merupakan kalam Allah, yang dengan membacanya dinilai ibadah (Syekh Yûsuf al-Qaraḍâwî, Kaifa Nata‘âmal ma‘a al-Qur’ân al-‘Aẓîm?, 1999: 155). Dengan demikian, setiap Muslim bisa beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengan membaca Al-Qur’an.
Menurut Imam al-Ḥâfiẓ Abû ‘Amr bin aṣ-Ṣalâḥ, membaca Al-Qur’an adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia, dan tidak diberikan kepada para malaikat. Oleh karena itu, para malaikat girang hati untuk mendengarkan bacaan Al-Qur’an dari manusia (Habib Zein bin Smith, Al-Manhaj as-Sawiyy Syarḥ Uṣûl Ṭarîqah as-Sâdah Âli Bâ‘Alawiyy, 2005: 496). Dengan demikian, sayang seribu sayang jika seorang Muslim tidak mau membaca Al-Qur’an, karena dia telah menyia-nyiakan anugerah agung dari Allah yang tidak diberikan kepada para malaikat. Apalagi Al-Qur’an merupakan kalam yang paling utama dan mulia di antara kalam-kalam yang lainnya, di mana orang yang suka membaca Al-Qur’an akan mendapatkan semerbak aromanya. Imam Ibnu Kaśîr menjelaskan bahwa semerbak aroma Al-Qur’an akan senantiasa ada selama Al-Qur’an ada, baik dibaca maupun tidak. Oleh karena itu, orang yang suka membaca Al-Qur’an (meskipun durhaka) akan memperoleh semerbak aromanya. Sedangkan orang yang tidak suka membaca Al-Qur’an (meskipun saleh), maka dia tidak akan memperoleh semerbak aromanya (Tafsîr al-Qur’ân al-‘Aẓîm, 2000: 34).
Pendapat Imam Ibnu Kaśîr tersebut berdasarkan hadis, yaitu: “Orang baik yang suka membaca Al-Qur’an adalah laksana jeruk yang manis rasanya dan harum baunya. Sedangkan orang baik yang tidak suka membaca Al-Qur’an adalah laksana tamar yang manis rasanya dan tidak ada aromanya. Adapun orang durkaha (fâjir) yang suka membaca Al-Qur’an adalah laksana kemangi yang harum baunya dan pahit rasanya. Sementara orang durkaha yang tidak suka membaca Al-Qur’an adalah laksana buah ḥanẓalah yang pahit rasanya dan tidak ada aromanya” (hlm. 34).
Bapak Lahir yang Fana dan Bapak Batin yang Baka
Sebuah hadis menyebutkan bahwa ada tiga jenis bapak dalam kehidupan umat Islam, yaitu: pertama, bapak biologis yang merawat dan membesarkan dari lahir; kedua, bapak mertua; dan ketiga, bapak yang mengajar dan mendidik (guru). Bapak yang ketiga ini lebih utama daripada bapak yang pertama dan bapak yang kedua (Al-Manhaj as-Sawiyy, hlm. 218). Menurut para ulama, kedudukan pengajar (mu‘allim) dan pendidik (mursyid) lebih kuat daripada kedudukan bapak. Sebab, bapak memelihara anaknya dari malapetaka yang akan merusak tubuhnya dan kehidupannya di dunia, dan menjadi perantara bagi sang anak untuk memperoleh kenikmatan duniawi. Sedangkan guru dan mursyid memelihara anak tersebut―dengan pendidikan dan bimbingan―dari malapetaka di alam keabadian (akhirat), dan menjadi perantara bagi sang anak untuk memasuki eloknya surga dan menikmati segala keindahannya serta memperoleh puncak kebahagian, yaitu menyaksikan Allah Yang Maha Indah dan Memesona (al-Fawâ’id al-Mukhtârah, hlm. 43-44).
Oleh karena itu, sebagian ulama memberikan penghormatan lebih banyak kepada gurunya daripada bapaknya. Menurut mereka, bapak batin (guru) akan abadi, dan bapak lahir (bapak biologis) akan fana. Dengan demikian, bapak batin adalah lebih utama daripada bapak lahir. Namun, jika bapak lahir menjadi bapak batin sekaligus, maka dia lebih utama (hlm. 44). Makanya, sungguh beruntung seorang anak yang memiliki bapak dan ibu yang merawatnya, mendidiknya, dan membimbingnya sekaligus. Akhirnya, semoga guru-guru ngaji di kampung tetap istikamah dan hidup sejahtera dunia-akhirat! Wallâhu A‘lam wa A‘lâ wa Aḥkam…