Dari dulu hingga kini, nama al-Ghazali tak hanya populer di kalangan umat Islam, akan tetapi juga masyhur di kalangan Barat dengan sebutan khasnya “Algazal”. Kepopuleran al-Ghazali ini, tentu tak bisa dilepaskan dari peran dan karyanya yang dianggap sebagai penyelamat ajaran Islam dari berbagai kesalahpahaman di beberapa bidang, seperti teologi, filsafat dan tasawuf.
Misalnya, dalam bidang teologi, al-Ghazali berani dengan keras membantah pandangan teologi Batiniyah dan Ismailiyah. Demikian dalam bidang filsafat, al-Ghazali membantah beberapa pemikiran filsuf sebelumnya melalui Maqashid al-Falasifah, dan Tahafutul al-Falasifah, yang kemudian oleh sebagian kalangan dianggap sebagai penyebab kemandekan tradisi kajian filsafat di dunia Islam.
Begitu pula dalam tasawuf, al-Ghazali dianggap mampu mengkompromikan tiga bidang keilmuan sekaligus; syariat dan hakikat atau teologi-tasawuf dan fikih yang terdapat dalam magnum opus-nya Ihya’‘Ulum al-Din, di mana pada awalnya saling berjalan sendiri-sendiri, dan tak mau berjalan beriringan. Oleh karena itu, al-Ghazali dianggap sebagai ulama ahli filsafat, teologi, ahli fikih dan ahli mistik.
Maka tak mengherankan jika Zwemmer seorang penganut agama Kristen Protestant yang sangat terkenal dalam kajian keislaman menarasikan, bahwa hanya ada dua ulama, atau intelektual Muslim datang menyempurnakan agama Islam sesudah wafatnya Nabi Muhammad Saw; Imam Bukhari, ulama pengumpul hadis, dan al-Ghazali yang dikenal sebagai ulama bisa menguraikan nilai-nilai agama Islam dengan sempurna.
Namun, Jauh-jauh hari sebelum namanya populer dan karyanya dikaji hingga kini, al-Ghazali pernah mengalami quarter of life crisis, goncangan jiwa, dan keragu-raguan atas keilmuan yang ditekuninya. Banyak pertanyaan bermunculan dalam benak dirinya, mulai dari pertanyaan, apakah ilmu selama ini dipelajari secara empirik benar-benar ilmu hakiki atau bukan? Apakah jalan yang ditempuh sudah benar atau tidak? Apakah profesi sebagai dosen dan guru besar benar-benar ikhlas atau hanya mencari duniawi dan kemasyhuran?
Quarter of life crisis ini merupakan bagian dari pergolakan pemikiran al-Ghazali atas dirinya, di mana pada akhirnya hal semacam ini dapat membantu memahami dan membaca perkembangan pemikiran matang al-Ghazali. Secara umum perkembangan pemikiran al-Ghazali dapat dilihat dari sejarah perjalanan hidupnya yaitu masa sebelum ‘uzlah, masa ‘uzlah dan masa setelah ‘uzlah.
Masa sebelum ‘Uzlah
Masa ini, al-Ghazali lahir sekitar tahun 450 Hijriyah, dan menjalani masa kanak-kanak yang ditinggal orang tuanya, dititipkan kepada sahabat ayahnya yang seorang sufi, kemudian dimasukan ke dalam asrama di kota Thus untuk memperdalam ilmu fikih kepada Ahmad bin Muhammad ar-Rizkani sampai umur 20 tahun. Pada usia 21 tahun ini, ia berangkat ke Nizhapur untuk kuliah di Perguruan Tinggi Nizhamiyyah. Di sini ia bertemu dan menjadi murid Imam al-Harmain al-Juwaini.
Dari Imam al-Juwaini, al-Ghazali dapat menguasi berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti, ilmu mantik, ilmu kalam, fikih-ushul fikih, filsafat, tasawuf dan retorika perdebatan, serta menjuluki sebagai “Bahr Mu’riq” atau lautan menghayutkan, karena kepintaran dan kecerdasan yang dimiliki.
Ketika berumur 25 tahun dan menguasai berbagai bidang keilmuan, serta wawasannya sangat luas, al-Ghazali kemudian diangkat sebagai dosen di Univ Nizhamiyyah, dan ditunjuk sebagai pengganti Imam al-Juwaini. Dan, tercatat sebagai dosen, ulama, intelektual muda yang dihormati dan dijunjung tinggi oleh teman-temannya, bahkan termasuk oleh gurunya, Imam al-Juwaini.
Setelah Imam al-Juwaini wafat tahun 485 H/1091 M, al-Ghazali pindah ke Baghdad dan ditunjuk oleh Perdana Menteri Nizham al-Muluk sebagai rektor Universitas Nizhamiyyah di Nishapur sebagai pengganti Imam al-Juwaini, dan di saat itu umur al-Ghazali masih sangat muda 28 tahun. Di sini al-Ghazali menulis buku yang berjudul Maqashid al-Falasifah, yang dapat dikatakan belum banyak melakukan kritik dan kecaman atas para pendahulunya.
Karir keilmuan al-Ghazali dalam dunia akademik mencapai puncaknya di saat berumur 34 tahun, di saat diminta Perdana Menteri Nizham al-Mulk untuk pindah ke ibu kota Bagdad dan diamanahkan untuk menjabat rektor Universitas Nizhamiyyah menggantikan al-Kaya al-Harisi. Di Bagdad ini al-Ghazali mendapati segalanya, kekayaan, jabatan, dan popularitas.
Kita simak Narasi Abu Hasan an-Nadawi tentang ini, “Sesungguhnya kemasyhuran al-Ghazali dan kedudukannya dalam dunia pengetahuan di seluruh dunia Islam sudah mencapai puncak tertinggi. Sebagai seorang besar dia telah menduduki jabatan, kebesaran dan kepemimpinan yang paling tinggi, yang dapat dicapai seorang besar di zamannya. Para mahasiswa berdatangan dari berbagai penjuru. Alim ulama, para umara’ dan wazir-wazir tunduk dan hormat kepadanya. Ia tinggal di ibu kota negara Islam. Ia mengajar, memberi fatwa dan mengarang”.
Masa ‘Uzlah
Tak lama setelah al-Ghazali mencapai populiritasnya, banyak goncangan terjadi pada dirinya, mulai dari situasi politik pemerintahan yang mulai rapuh ditandai meninggalnya tiga pembesar negara secara berturut: Raja Malik Syah yang terkenak adil dan bijaksana, Perdana Menteri Nizham al-Mulk yang dibunuh kelompok Batiniyyah, dan wafatnya Khalifah Muqtadi bi Amrillah sekitar tahun 478 Hijriyah, sedang Muztazhir Billah sebagai pengganti sangat lemah dalam menghadapi kemelut politik negara.
Pada masa ini banyak kekacauan dan aksi teror di mana-mana yang terjadi di Bagdad, hingga akhirnya al-Ghazali merasakan teror yang dilakukan aliran Batiniyyah sebagai balasan dari tulisan-tulisannya. Akibat teror tersebut, al-Ghazali secara batin merasa tertekan, sampai-sampai jatuh sakit selama enam bulan. Dalam konteks saat ini, apa dialami al-Ghazali mungkin semacam stres dan depresi.
Kita dapat simak pengakuan al-Ghazali yang terekam dalam bukunya Al-Munqidz min Adh-Dhalal, “Lama aku terombang-ambing antara dunia dan akhirat, hampir 6 bulan, yaitu sejak bulan Rajab tahun 488 H. Akhirnya kedaan memuncak, aku tak dapat lagi melakukan tugas mengajar. Untuk menyenangkan hati mahasiswa, aku memaksa diri untuk mengajar, namun sepatah kata pun hampir tak dapat keluar dari mulutku. Hal ini sangat menyedihkan. Nafsu makan pun jadi hilang, kesehatan merosot. Akhirnya para dokter pun merasa putus asa. Mereka berkata: “Ini adalah penyakit yang menyerang hati, lalu menjalar ke organ tubuh, maka tidak ada cara untuk menyembuhkan kecuali dengan menenangkan hati dari segala gangguan dan dogaan”.
Untuk mengatasi hal tersebut, al-Ghazali dengan sangat terpaksa dan berat hati harus meninggalkan kota Bagdad. Kita dapat simak pengakuan al-Ghazali yang terekam dalam bukunya Al-Munqidz min Adh-Dhalal, “Maka aku pun berpura-pura hendak pergi ke Makkah, sementara niatku di dalam hati hendak pergi ke Syam, karena khawatir kalau-kalau niatku hendak menetap di Syam menjadi perhatian khalifah dan sabahatku”.
Dari sini tampak al-Ghazali memiliki tekad bulat untuk meninggalkan segala popularitas yang dimiliki dengan meninggalkan ibu kota Bagdad dan berhenti dari jabatan sebagai Rektor Universitas Nizhamiyyah. Al-Ghazali pura-pura melakukan perjalanan ke Makkah yang tujuannya ke Syam dengan tujuan ingin menyendiri dan menjauh dari keramaian dunia di ibu kota Bagdad.
Tak kurang dari dua tahun al-Ghazali melakuan khalwat di kota Syam, sebagaimana pengakuannya, “Di tanah Syam aku tinggal kira-kira dua tahun, melakukan ‘uzlah, khalwat, riyadhah dan mujahadah menurut tawasuf yang sudah kupelajari. Semua itu untuk menjernihkan batin, supaya mudah berzikir kepada Allah swt. sebagaimana mestinya. Lama aku beriktikaf di masjid kota Damaskus, di atas menara sepanjang hari dengan pintu tertutup”.
Masa setelah ‘Uzlah
Tak puas melakukan ‘uzlah dan khalwat di kota Damaskus, al-Ghazali kemudian menuju Palestina, mengunjungi kota Hebron dan Yarussalem, yang dikenal sebagai kota kelahiran para Nabi-Nabi, dan berdoa di Hebron tak akan melakukan perdebatan lagi, tak akan menerima gaji dari siapa pun.
Dari Hebron dan Yarussalem, kemudian berkunjung ke Mesir di mana pada waktu itu berada di bawah kekuasaan dinasti Fatimiyah. Dan, berlanjut pengembaraannya ke Makkah dan Madinah untuk lebih menentramkan batin dan jiwanya, serta menghilangkan segala kebimbangan dan keraguannya atas apa yang selama ini ditekuninya. Kita dapat simak perjalanannya ini, “Kemudian tergerak di dalam hatiku panggilan untuk menunaikan kewajiban ibadah haji dan mengharap berkah dari kota suci Makkah dan Madinah, serta ziarah ke makam Rasullah saw. setelah selesai ziarah ke makam al-Khalil as, Nabi Ibrahim as”.
Penggembaraan panjang al-Ghazali untuk menghilangkan qaurter of life crisis dilakukan dengan cara menempuh jalan tasawuf selama 10 tahun, selama itu pula, apa yang terjadi pada dirinya semakin menjadi jelas, baik tentang persoalan keagamaan yang tak masuk akal. Dalam Al-Munqidz min Adh-Dhalal, al-Ghazali menulis seperti ini “Setelah aku jalani ‘uzlah dan khalwat selama hampir sepuluh tahun, maka menjadi jelaslah bagiku selama masa itu berbagai rahasia yang aku tak bias menghitung jumlahnya. Terkadang kuperoleh dengan dzauq, terkadang dengan ilmu burhani, dan terkadang dengan qabul imani”.
Al-Ghazali mengakhiri perjalanan panjang ‘uzlah dan khalwat dari Nizhapur tepat pada bulan Zulqa’dah pada tahun 499 Hijriyah. Al-Ghazali meninggal di kota kelahirannya, Thus pada hari Senin tanggal 14 Jumadil Akhir tahun 505 H, bertepatan dengan 19 Desember 1111 M, di saat berumur 53 tahun.