Laku dan Kesufian Abu al-Hasan al-Syadzili

Abu al-Hasan al-Syadzili memiliki nama lengkap Ali Ibn Abdillah Ibn Abdul Jabbar. Ia lahir di Maroko, di Desa Ghamarah sekitar 593 H. Garis keturunannya bersambung langsung kepada Nabi saw., lewat jalur al-Hasan Ibn Ali Ibn Abi Thalib.

Tarekat al-Syadziliyah tersebar ke belahan dunia Islam dan ajarannya sangat simpel, serta tak ada yang aneh-aneh dalam menjalankannya. Bahkan, secara kasat mata amalannya termasuk yang paling ringan bila dibandingan dengan amalan tarekat yang lain. Pengikut tarekat al-Syadziliyah harus patuh memegang ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, mengerjakan yang fardu, serta menghiasi diri dengan akhlak mulia sebagaimana akhlak Nabi saw.

Tentu, yang sangat menarik dari Abu al-Hasan al-Syadzili, selain ajaran tarekatnya tersebut adalah tentang perjalanan hidup dan kesufiannya yang selalu mengikuti petunjuk sang guru atau mursyidnya.

Sejak remaja Abu al-Hasan al-Syadzili memiliki minat kuat pada kehidupan ilmu dan dunia tarekat, hingga membuatnya harus keluar dari kota kelahirannya menuju Irak, di mana saat itu Irak dikenal sebagai negeri yang melahirkan banyak para ulama dan sufi besar.

Di Irak, al-Syadzili berguru kepada ulama alim dan sufi besar bernama Abu al-Fath al-Wasithi, dikenal ilmu dan ketakwaannya yang sangat dikagumi. Darinya, al-Syadzili belajar ilmu-ilmu agama dan tasawuf agak begitu lama, hingga kembali lagi ke Maroko.

Setelah itu, al-Syadzili berguru pada Abdus Salam Ibn Masyisy seorang ulama terkenal ketakwaan, kealiman, serta kedalaman pengetahuannya tentang tasawuf Sunni, dan kelak menjadi pembimbingnya dalam tasawuf. Sejak pertama kali bertemu dengan Ibn Masyisy, al-Syadzili langsung menyukainya. Baginya, Ibn Masyisy memiliki pandangan tasawuf sejati bersumber dari kitab Allah dan Sunnah Rasullah.

Dalam suatu cerita, Ibn Masyisy pernah menyarankan agar al-Syadzili pergi ke Afrika, dan menyuruh tinggal di sebuah negeri bernama Syadzilah. Tempat ini dalam pandangan Ibn Masyisy akan menjadi nama al-Syadzili. Dari sinilah, dikemudian hari nama Syadzili terus melekat pada dirinya dan lebih dikenal sebagai Abu al-Hasan al-Syadzili.

Baca Juga:  IBN AL-'ARABI DI MATA PARA FUQAHA

Sebelum berangkat ke Tunisia, Ibn Masyisy banyak memberi nasihat kepada al-Syadzili, di antaranya; “Amal yang paling mulia adalah empat setelah empat. Empat pertama adalah cinta kepada Allah, rida dengan ketentuan Allah, berpantang pada dunia, dan tawakwal kepada Allah. Empat berikutnya adalah mengerjakan yang diwajibkan Allah menjauhi yang diharamkan-Nya, sabar menghadapi yang tak diinginkan, dan menahan diri dari yang disukai”.

Terkait nasihat Ibn Masyisy pada al-Syadzili ini, banyak kalangan yang berpandangan kalau perjalanan hidup al-Syadzili ditentukan sang guru, dan sang guru seakan-akan memang sudah melihat dengan cahaya Tuhan hari-hari yang akan dijalani al-Syadzili, dan apa yang akan terjadi di Tunisia. Singkat kata, setelah menetap lama di Tunisia serta memiliki banyak pengikut, al-Syadzili mendapati banyak kedengkian dan fitnah dari para pemuka agama serta tokoh masyarakat yang merasa tersaingi keviralannya.

Dalam literatur tasawuf disebutkan, salah satu tokoh yang cukup gigih mendengki dan menyebarkan hoaks kepada al-Syadzili adalah Hakim Abu al-Qasim al-Barra’. Konon, al-Barra’ menyebar hoaks pada khalayak umum maupun ke tokoh masyarakat, kalau al-Syadzili merupakan mata-mata yang diutus Maroko ke Tunisia untuk menyebarkan paham Dinasti Fathimiyah. Di mana kala itu menganut paham teologi Syiah. Al-Syadzili memiliki silsialah keturunan yang bersambung kepada Fathimah binti Rasullah dijadikan dalil untuk memperkuat tuduhannya dengan Dinasti Fathimiyah.

Akhirnya kabar hoaks tentang al-Syadzili ini sampai ke telinga sultan dan memerintahkan para ulama Tunisia untuk menguji terkait masalah akidah, tasawuf, hingga masalah sosial, dan politik kepada Abu al-Hasan al-Syadzili. Singkat cerita, setelah mengetahui jawaban dari al-Syadzili benar-benar masuk akal dan diterima Sultan, bahkan dari jawaban yang diberikannya semakin membuktikan ketakwaan dan ketulusan al-Syadzili. Sultan menyatakan semua berita hoaks yang menyebar adalah dusta serta hoaks tak berdasar.

Baca Juga:  Ummu Dallal: Tokoh Sentral yang Membacakan Teks-Teks Futuhat di Hadapan Ibn al-'Arabi

Abu al-Hasan al-Syadzili sepenuhnya telah menyadari, jauh-jauh hari sebelum berangkat ke Tunisia, Ibn Masyisy pernah berpesan, kalau pindah ke Tunisia akan berurusan langsung dengan sultan. Setelah sekian lama menetap di Tunisia, akhirnya Abu al-Hasan al-Syadzili bersama murid utamanya Abu al-Abbas al-Mursi kembali lagi ke tempat kelahirannya.

Perjalanan ruhani al-Syadzili belum selesai, setelah cobaan demi cobaan datang, ia harus kembali hijrah ke kota Mesir. Dalam beberapa literatur disebutkan kalau ia bermimpi bertemu langsung Rasullah dan diperintah pindah ke Mesir. Di Mesir, al-Syadzili menetap di Iskandaria ditemani murid utamanya, Abu Abbas al-Mursi dan memilih masjid al-Tharin.

Di Mesir pengikutnya semakin banyak, tak hanya berasal dari kalangan awam dan masyarakat biasa, melainkan juga datang dari para alim, para Syekh dan para pejabat negara yang datang mengunjunginya, dan menyimak setiap nasihat serta mengikuti setiap petuahnya. Kehidupan al-Syadzili di Mesir sangat berbeda jauh bila dibandingan kehidupan di Tunisia.

Selama menetap di Tunisia, Maroko, dan juga di Mesir pengikut al-Syadzili kian banyak. Di antara murid-muridnya kemudian hari dikenal sebagai ulama dan sufi besar termasuk di antaranya Abu al-Abbas al-Mursi dan Ibn Athaillah al-Sakandari penulis kitab Al-Hikam yang sangat tersohor tersebut.

Dalam kehidupan kesehariannya, Abu al-Hasan al-Syadzili dicintai oleh masyarakat, terutama murid dan pengikutnya dikarenakan ketakwaan dan keluasan ilmu, serta keutamaan sifat-sifat, bukan karena penampilan fisiknya. Ia sangat pemurah lagi lemah lembut kepada fakir miskin, kerap kali menasihati penguasa yang tak menjalankan tugas dan kewajibannya.

Selain itu, ia tak sama dengan para sufi lainnya, memandang hidup dengan sederhana dan apa adanya. Sangat suka mengenakan pakaian bagus dan indah tanpa merasa sombong. Bagi al-Syadzili berpakaian yang bagus, apalagi berada di suatu majelis atau masjid merupakan Sunnatullah. Tak hanya itu, ia juga gemar memelihara kuda dan menungganginya dengan tegap dan kuat ketika bepergian, serta menyukai makanan yang baik dan lezat dan minuman dingin.

Baca Juga:  Shadr al-Din al-Qunawi: Penyambung Lidah Ibn al-'Arabi dan Sahabat Rumi

Demikian potret kehidupan dan kesufian Abu al-Hasan al-Syadzili. Sejarah tak hanya memotret dan mencatat namanya hanya dari sisi lahiriah, akan tetapi juga sebagai seorang alim dan sufi besar yang dikenal luas dan dicintai dengan ketakwaan dan keluasan ilmunya.

0 Shares:
You May Also Like