Haruskah Orang Menjadi Sufi dan Menjalani Laku Hidup Prihatin Seperti Dianjurkan Para Sufi?

Sebelum ini, saya pernah menulis artikel pendek tentang beda bertasawuf dan berakhlak. Bahwa bertasawuf adalah proses melatih melawan hawa nafsu dengan tujuan membersihkan hati demi melahirkan akhlak yang baik. Di dalam artikel pendek lain, saya pun menjelaskan beda tasawuf teoretis/filosofis dan tasawuf praktis atau akhlaki. Tasawuf teoretis/filosofis sedikit banyak bersifat metafisis dalam hal subject-matter-nya dan demonstrasional-rasional (burhani) dalam metode-berpikirnya. Tasawuf praktis bisa disebut juga suluk atau mu’amalah tasawuf. Tasawuf  teoretis/filosofis dapat menjadi landasan bagi tasawuf praktis. Tasawuf teoretis/filosofis bisa menjadi semacam peta jalan bagi tasawuf praktis.

Nah, pertanyaannya, mestikah seseorang bertasawuf untuk dapat memiliki akhlak yang baik? Saya cenderung menjawabnya dengan afirmatif “ya”. Tapi, haruskah bertasawuf secara teoretis/filosofis? Jawabannya, tidak. Cukup sebagian orang saja yang memahami peta jalan bertasawuf. Dengan kata lain, cukup sebagian orang, yang berpotensi menjadi guru, yang perlu belajar tasawuf teoretis/filosofis. Meski, tentu saja siapa saja yang mau belajar memahaminya dengan serius dan bertanggungjawab, akan mendapati banyak hikmah dan pencerahan di dalamnya.

Pertanyaan selanjutnya, apakah bertasawuf selalu harus mengambil bentuk laku hidup prihatin dan minimalis dalam hal mencari harta dan menikmati kesenangan dunia, seprihatin-prihatinnya dan seminimalis-minimalisnya? Jawabannya, menurut saya, juga tidak. Bukan saja tidak harus semua orang yang bertasawuf hidup dengan tingkat keprihatinan seintens itu, tapi bahkan beberapa aliran tasawuf atau tarikat pun mengizinkan hidup dalam keadaan nyaman, tanpa berlebihan, dan tetap dalam koridor yang diizinkan dan dianjurkan syariah. Misal, tarekat Syadziliyah. Juga tarikat Alwiyah yang menganut ajaran-ajaran Imam Syadzili.

Lalu, tinggal tersisa satu pertanyaan lagi yang butuh jawaban. Untuk keperluan apa (setidaknya sebagian dari) para sufi mengajarkan—dan menerapkan bagi diri mereka—ajaran laku hidup prihatin seperti itu? Apakah itu merupakan tuntutan (ajaran) Allah dan Rasul-Nya? Jawabannya, menurut saya, iya dan tidak. Artinya, cara hidup mengejar rida Allah, bahkan serba Allah dan ukhrawi, bisa jadi memang melibatkan penyangkalan terhadap kenikmatan-kenikmatan duniawi. Bahkan yang halal sekali pun. Tapi, tak semua orang dituntut demikian oleh Allah Swt. Cara hidup prihatin sedemikian, menurut saya, lebih untuk kebahagiaan spiritual manusia yang mempraktikkan laku hidup sedemikian, ketimbang merupakan tuntutan universal Allah Swt. kepada semua hamba-Nya. Bahwa hidup serba Allah dan serba ukhrawi, khususnya bagi para pencari spiritual seperti itu, adalah tuntutan kebahagiaan tertinggi orang-orang tersebut. Ya. Kebahagiaan puncak mereka memang terletak di situ. Tapi tak semua orang punya tuntutan kebahagiaan seperti itu. Dan Allah pun tak menuntut hal sedemikian kepada semua hamba-Nya. Maka, kalau pun laku hidup prihatin seperti itu bisa meningkatkan kedudukan spiritual orang di hadapan Allah Swt. dan memberikan kebahagiaan puncak bagi (sebagian) orang, kedermawanan Allah Swt. kiranya tak akan mengecilkan keikhlasan orang-orang “awam” yang taat kepada-Nya, yang tak menyangkal kenyamanan hidup duniawi. Maka, mari bersangka baik pada Allah. Mari kita berdoa agar Allah menolong kita untuk bisa berjalan sedekat mungkin kepada-Nya. Tapi, pada saat yang sama, mari kita juga mengharap kedermawanan-Nya sehingga dia menempatkan kita dalam kedudukan terbaik dan memberikan kebahagiaan hidup—di dunia dan di akhirat—dalam segenap kenyamanan hidup kita, seraya terus memelihara ketaatan kita kepada-Nya.

Baca Juga:  Imam Ali di Mata Syaikh Akbar Ibn al-'Arabi

0 Shares:
You May Also Like