Tasawuf: Titik Temu Ajaran Kemanusiaan di Semua Agama

K.H. Ulil Abshar Abdalla (Yai Ulil) dalam kelas yang diadakan oleh Nuralwala: Pusat Kajian Akhlak dan Tasawuf, memberikan kajian dengan tema “Tasawuf dan Ajaran Perenial Agama-agama.” Yai Ulil memulai diskusi dengan menjelaskan, bahwasanya tasawuf sudah sejak dulunya menjadi cabang ilmu yang hanya diinginkan oleh orang tertentu saja. Ilmu ini sulit dipopulerkan, sifatnya sangat elitis; oleh karena itu Kanjeng Nabi saw hanya memberikannya pada sahabat-sahabat tertentu saja, tidak keseluruhan sahabat secara umum. Tasawuf dalam pemaknaan Yai Ulil disebut juga filsafat perenial (philosophia perennis), karena sifat dari ilmu ini adalah sudah sangat lama atau terdahulu, juga abadi.

Filsafat perenial merupakan pandangan tentang sesuatu di balik alam raya ini yang tidak dapat diindra oleh manusia; di mana di balik alam raya fisikal tersebut, terdapat Realita Ilahiyyah yang merupakan prinsip yang menyatukan segala hal yang terdapat di alam raya ini (metafisika). Alam raya merupakan benda fisikal, memiliki struktur kebendaan dan berada dalam tatanan alam yang tertib; tanpa tatanan (nomos) tersebut, maka alam akan chaos (tidak tertata). Di balik dunia yang tertata ini ada United Principle yakni Tuhan itu sendiri. Filsafat perenial adalah ajaran yang meng-atas-i semua ajaran, dan terdapat dalam semua agama. Ajaran ini mempersatukan semua agama. Mempersatukan atau menyatukan agama-agama itu tidak dalam pengertian tidak membuat suatu dari yang plural dan menghilangkan segala sesuatu yang menjadi kediriannya/karakteristiknya/ciri khasnya. Penyatuan yang dimaksud di sini adalah mencari-mencari prinsip dasar yang terdapat dalam agama-agama tersebut.

Ajaran filsafat perennial dalam sejarahnya diajarkan oleh Plato; kemudian ditafsirkan oleh Plotinus dari Mesir, di mana ajarannya dikenal dengan Neo-platonisme yang memberikan pengaruh pada para filsuf Muslim setelahnya, di antaranya Ibn Sina dan Al-Ghazali. Salah satu ajaran dalam aliran ini adalah “Segala sesuatu kembali kepada sesuatu yang satu (Al-Wahid), The One.” Gagasan inilah yang kemudian melahirkan ajaran Wahdah al-Wujud dalam sejarah perkembangan tasawuf.

Baca Juga:  Kita Percaya Bahwa Semua Kebenaran dari Allah, Tapi Agama Bukanlah Satu-Satunya Sumber Kebenaran

Ajaran tentang kesatuan wujud ini umumnya diajarkan oleh kaum mistik, sufi. Sufi sebagai sebuah kecenderungan terhadap formalisme hukum, ia tidak hanya terdapat dalam Islam, melainkan terdapat dalam semua agama. Dalam aliran mistik, ajaran tentang kesatuan wujud ini tentu tidak diterima secara konsensus, ia memiliki resistensi dalam setiap zamannya, juga setiap kalangannya; sehingga membuatnya dilematis dan kerap menimbulkan polemik. Di Indonesia sendiri, hal ini terjadi dalam catatan sejarah tarekat, baik dari kawasan Aceh hingga Buton. Di pulau Jawa, ajaran ini juga dikenal dengan ajaran Manunggaling Kawula Gusti.

Ajaran filsafat perenial ini pernah masyhur di Nusantara, namun menjadi kontroversi. Hal ini disebabkan karena kenyataan ini dianggap sebagai realitas yang tunggal. Apabila kenyataan hanya satu, dan tidak ada kenyataan yang lain, lantas bagaimana posisi manusia di alam raya ini? Apa makna iyyakana’budu wa iyyaka nasta’in? Bukankah ini menandakan ada dua realitas, dua being, yang terpisah? Demikianlah pandangan ulama teolog saat merespon pandangan filsafat perenial. Bagi mereka, ulama teolog ortodoks, filsafat perenial merupakan ancaman terhadap ketauhidan, dan juga merupakan penolakan terhadap Tauhid itu sendiri (karena dalam tauhid, harus ada Tuhan dan hamba yang terpisah secara hakiki). Mengatasi hal ini, para teolog menurunkan pandangan wahdah al-wujud  kepada pandangan wahdah al-syuhud, yakni kesatuan pengalaman atau penglihatan. Persoalan yang demikian ini tidak saja terjadi dalam Islam, melainkan juga dalam semua agama yang ada.

Filsafat perenial sebagai ajaran dasar tidak saja terdapat dalam agama samawi atau juga agama dunia, melainkan juga agama-agama lokal/pribumi yang terdapat di seluruh dunia. Saat ini, filsafat perenial mendapat ancaman yang serius, karena modernitas membawa pemahaman baru, yakni anti metafisika (post metafisika). Dunia modern tidak mempercayai metafisika, sehingga dengan otomatis mengingkari filsafat perenial. Filsafat perenial dalam pandangan para ilmuan/saintis merupakan pandangan yang dimiliki oleh manusia yang tidak mandiri, manusia tersebut dianggap menggantungkan sesuatu kepada suatu hal yang sifatnya tahayul, dan membuat mereka tidak dewasa dalam berpikir. Kendati demikian, tantangan modernitas juga dapat dijawab oleh ajaran filsafat perenial ini, khususnya dalam hal-hal yang berhubungan dengan kemanusiaan. Akan tetapi, kelompok filsafat perenial akan sangat susah/sulit untuk mendominasi atau menguasai secara politik. Karena sudah menjadi karakternya, kelompok perenialismenyimpan tendensi untuk anarkis. Anarkis di sini bermakna perenialis tidak suka tertata dalam sebuah struktur/organisasi/label tertentu; kelompok ini memilih bergerak bebas dan berada dalam pinggiran tatanan yang ada. Kelompok ini dapat menembus batas-batas yang tidak dapat dilampaui kelompok lain, ini adalah salah satu kelebihannya yang juga menjadi kekurangannya.

Baca Juga:  Suluk Makrifat ala Al-Ghazali

Diskusi yang berlangsung selama satu setengah jam, malam 30 Mei 2024, ini menarik para audiens untuk senantiasa menyimak dengan serius dan khidmat dari awal hingga akhir. Yai Ulil berhasil menanamkam makna perenial kepada para santri yang hadir dalam ruang Zoom tersebut. Semoga Yai Ulil sehat selalu, dan senantiasa menebarkan ilmu yang terancam punah ini guna berkontribusi pada gersangnya jiwa karena modernitas zaman. Amin.

Previous Article

Manfaat Kesedihan

Next Article

Berziarah ke Sebalik Sungai Amu Darya (Bagian 1)

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨