Kita Percaya Bahwa Semua Kebenaran dari Allah, Tapi Agama Bukanlah Satu-Satunya Sumber Kebenaran

Lho?! Bukannya semua yang datang dari Allah itu datang melalui agama. Bahwa agamalah satu-satunya wadah kebenaran dari Allah? Tidak juga, kelihatannya. Misal, Allah mengatakan bahwa ayat-ayat (tanda-tanda, kebenaran-kebenaran keilahian) juga ditebar Allah dalam alam semesta dan diri manusia:

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebenaran) Kami di segenap penjuru alam semesta dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Dia itu adalah yang benar” (QS. Fushshilat [41]: 53).

Maka, dari meneliti alam semesta dan diri manusia, kita mendapatkan kebenaran. Penelitian atau sains alam semesta dan diri manusia, meski bukan tak mungkin terilhami oleh dasar-dasar keagamaan atau kitab suci, adalah sumber kebenaran independen. Termasuk di dalamnya ilmu fisika, astronomi, geologi, maupun biologi, serta psikologi, sosiologi, antropologi, dan lain-lain. Belum lagi terkait dengan apa yang oleh Al-Qur’an disebut sebagai “hari-hari Allah” (ayyam Allah), Dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah (QS. Ibrahim [14]:5).

Muhammad Iqbal dan Murtadha Muthahhari, antara lain, memahami ungkapan ini sebagai bermakna sejarah. Kenyataannya Allah Swt. dalam Al-Qur’an banyak menyinggung soal tersimpannya kebenaran dalam aspek fisik alam semesta, termasuk astronomi dan geologi, psikologi, biologi, sosiologi, antropologi, dan lain-lain.

Mungkin ada yang bilang, “Oh, semua ilmu itu ada di dalam Al-Qur’an!”. Orang yang mengatakan demikian adalah, entah dia tak paham Al-Qur’an, atau tak paham sains. Jelas bahwa Al-Qur’an bukan kitab sains. Al-Qur’an boleh jadi menyinggung prinsip-prinsip bekerjanya alam semesta, maupun daya-daya berpikir manusia, tapi detail-detail ilmu pengetahuan sudah jelas dikembangkan oleh masyarakat ilmu pengetahuan sepanjang sejarah—lebih sering bersifat independen dari agama. Al-Qur’an sendiri, di banyak tempat, juga menyatakan bahwa selain membacakan Kitab Suci, Nabi juga mengajarkan Al-Qur’an dan hikmah (wisdom), serta menyucikan manusia—agar berbagai daya berpikir dan daya-mengetahuinya tidak terkotori, sehingga gagal menjadi sarana mendapatkan ilmu pengetahuan.

Baca Juga:  BAGAIMANA DENGAN AYAT-AYAT YANG MENGANCAM AZAB BERLIPAT GANDA ITU?

“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul (Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kalian, dan mengajarkan kepada kalian Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah, serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui” (QS. Al-Baqarah [2]: 151).

Memang sebagian ulama menerjemahkan hikmah dengan Sunnah Nabi atau Syariah, dan makna-makna keagamaan lainnya. Tapi, tak sedikit juga, dengan mendasarkan atas berbagai ayat lain tentang hikmah ini, ulama yang lain melihatnya sebagai kebijaksanan yang bersifat universal. Dan makna ini tak sulit diterima jika rujukkan pada hadis Nabi Muhammad di bawah ini:

“Hikmah adalah barang hilang orang beriman, maka pungutlah di mana saja ia kau temukan (yakni di luar kalangan orang beriman).”

Sampai-sampai amat masyhur pula ucapan Sayidina Ali yang menyatakan: “Lihat apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan“. Ya, bisa jadi yang mengucapkannya bukanlah orang beragama, bahkan akhlaknya buruk, tapi jika itu merupakan kebenaran (hikmah), hendaknya kita menerimanya. Pada kesempatan lain Sayidina Ali juga mengajarkan: “Ambillah hikmah, dari bejana mana pun dia keluar.” Ajaran Al-Qur’an, hadis, dan atsar inilah yang menggalakkan kaum Muslim dalam sejarahnya untuk mempelajari apa yang disebut sebagai al-hikmah al-qadimah (ilmu atau kebijaksanaan kuno, sebelum datangnya agama—termasuk Islam). Bahkan ilmu-ilmu tersebut oleh para pemikir Islam sendiri juga disebut sebagai al-hikmah al-ajnabiyah atau ilmu-ilmu asing (foreign sciences)—mengingat ia berada di luar lingkup ilmu-ilmu atau pengetahuan-pengetahuan keislaman.

Maka, mari kita—orang-orang beragama—tidak memonopoli kebenaran, sambil menolak kemungkinan adanya kebenaran-kebenaran lain di luar lingkungan agama atau orang-orang beragama. Bahkan, sebenarnya, keagamaan seseorang bukanlah jaminan bahwa apa yang keluar darinya adalah kebenaran. Dalam berbagai kesempatan Nabi berbicara tentang, bahkan Muslim yang taat, yang darinya (kebenaran) agama melesat keluar/menghilang, melebihi kecepatan anak panah (lihat hadis tentang Khuwaysirah, riwayat Imam Bukhari). Pada kesempatan lain, Nabi menyatakan bahwa kita akan mendapati paling banyak orang munafik di antara para qurra’ (pembaca, bahkan penghafal Al-Qur’an. (HR. Imam Ahmad).

Baca Juga:  Gus Ulil: Takwil dan Semangat Toleransi dalam Faishal al-Tafriqah

Semoga Allah jadikan kita memiliki dada yang lapang sehingga bisa menerima hikmah dari mana saja, dan menghindarkan kita dari tertipu oleh orang-orang yang mengaku beragama padahal munafik.

0 Shares:
You May Also Like