Tafsir Sufi: Melihat Tuhan dengan Berimajinasi (2)

Oleh: Ammar Fauzi, Ph.D

(Founder Indonesia Berfilsafat dan Pengajar di Nuralwala)

Melalui Al-Qur’an kita semua ingin lebih dekat melihat Allah swt. Pada pertemuan yang lalu ada beberapa ilustasi yang sudah dikemukakan yaitu bagaimana kita bisa melihat Allah swt. melalui daya khayal atau imajinasi.

Salah satu dari kesempurnaan manusia adalah melakukan sesuatu berdasarkan keinginannya, dan keinginan yang paling sempurnan yaitu terealisasinya keinginan tersebut tanpa ada tenggat waktu. Jadi kalau ada tenggat waktu antara keinginan dengan realisasinya, maka ada kelemahan. Sebagai contoh, kalau kita menjadi seorang direktur yang memiliki kewenangan untuk menginstruksikan sesuatu supaya ada perubahan dalam bekerja. Lalu, kita instruksikan kepada bawahan kita, dan ternyata bawahan kita tidak melakukan sesegera mungkin (instruksi tersebut), maka ada persoalan antara instruksi kita dengan pelaksanaannya yakni ada tenggat waktu.  Dengan demikian, berarti kita (sebagai atasan) ada kelemahan, setidaknya dari pihak bawahan ada pertimbangan-pertimbangan yang diprioritaskan, sehingga instruksi tersebut tidak lagi didahulukan. Tetapi kalau kita memiliki posisi yang sedemikian kuat dan berpengaruh serta memiliki wibawah yang paripurna, maka tentu akan berpengaruh terhadap bawahan, sehingga bawahan tidak mempertimbangkan apapun yang lain kecuali dia memprioritaskan instruksi kita. Keinginan-keinginan itu merupakan bentuk dari kekuasaan kita. Setiap kali kita menginginkan (menginstruksikan) dan saat itu juga terjadi itulah kesempurnaan kita.

Kita kembali ke ruang imajinasi, di mana kita bisa mengolah, melakukan apa pun yang ada dalam benak, pikiran dan imajinasi tanpa ada tenggat waktu antara keinginan dengan realisasi yang kita lakukan di ruang imajinasi. Kesemuanya itu merupakan gambaran betapa kuat, digjaya, perkasa dan kuasa diri kita di alam imajinasi, sehingga gambaran yang ada di imajinasi kita tidak ada apa-apanya bahkan kita tidak bisa membayangkan dia akan protes kepada kita. Intinya di alam imajinasi semuanya bergantung kepada kehendak kita.

Baca Juga:  Al-Qur’an sebagai Laku Spiritual (Bagian 1)

Demikianlah pendekatan yang bisa diamati dari dekat, posisi kita sebagai makhluk di hadapan Allah itu kita seperti gambaran yang ada dalam imajinasi Allah swt. Artinya, kita tidak ada apa-apanya sama sekali, semuanya berada di tangan kekuasaan Allah swt. sebagaimana terungkap dalam surat Al-Fatihah ayat pertama. Saking kita tidak memiliki daya dan kekuatan dalam ayat tersebut kita tidak disebutkan sama sekali. Allah berfirman:

بسم الله الرحمن الحيم

Dengan nama Allah Yang Maha Kasih dan Maha Pengasih (QS. Al-Fatihah [1]: 1)

Dengan artinya bersama Allah. Dalam ayat itu tidak disebutkan siapa yang bersama Allah swt.  Artinya kita tidak layak untuk disebutkan dan bersanding dengan-Nya. Bahkan kita ditempatkan hanya semata-mata sebagai dengan, hanya ditempatkan semata-mata sebagai bersama saja.

Dalam bahasa, kata ‘dengan’ itu menempati posisi sebagai kata sambung. Dalam bahasa Arab kata sambung itu tidak bermakna sama sekali kecuali dia berada dalam konstruksi kalimat, jadi makna ‘dengan’ (bi) yang diartikan ‘bersama’ itu akan bermakna apabila kita menempatkannya dalam konstruksi kalimat sempurna yaitu dengan nama Allah Yang Maha Kasih dan Maha Pengasih. Sekiranya tidak ada ‘nama (ism)’, tidak ada Allah, tidak ada Maha Kasih, dan tidak ada Maha Pengasih, maka ‘dengan’ pun tidak ada artinya.

Jadi, bagaimana Allah swt. diawal kali pembukaan Al-Qur’an melalui basmalah ditemukan bahwa kita tidak disebutkan di situ, yang ada adalah nama Allah, yang ada adalah Allah itu sendiri, yang ada adalah sifat Yang Maha Agung yaitu Maha Kasih dan Maha Pengasih, sementara kita sendiri hanya diwakili dengan satu kata sambung yaitu bi yang itupun tidak ada maknanya. Bi akan bermakna apabila berada dalam konstruksi kalimat, yaitu digabungkan dengan nama Allah swt.

Baca Juga:  Mengenal Allah via Cermin Alquran

Demikianlah kita bisa mengamati bahkan dari Bismillahi ar-Rahmani ar-Rahim sesungguhnya kita tidak ada apa-apanya. Dengan cara demikian saya kira bisa dilanjutkan bagaimana kita bisa mengamati Bismillahi ar-Rahmani ar-Rahim bahkan keseluruhan Al-Fatihah dengan kesadaran bahwa kita tidak ada apa-apanya sehingga yang tampak hanya Allah swt.

(Keterangan: Tulisan ini hasil transkip dari video berjudul Pengantar Tafsir Sufi 07 oleh Ammar Fauzi, Ph.D di kanal Youtube Nuralwala dan telah disesuaikan oleh tim Nuralwala)

0 Shares:
You May Also Like