Hijab dalam wacana ilmu pengetahuan merupakan salah satu pembahasan populer yang dikaji melalui pelbagai pendekatan seperti; filsafat, tafsir, dan sosial yang menyebabkan perbedaan pandangan memahami etika berpakaian para wanita. Akibatnya, para pemikir terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kaum feminis dan para mufasir.
Fadwa El Guindi dan Leila Ahmed memandang hijab merupakan kebudayaan masyarakat klasik untuk meningkatkan nilai moral dan eksistensi perempuan, seperti budaya Mesir kuno mempraktikkan hijab untuk membatasi paradigma seksual kaum lelaki terhadap perempuan. Pembatasan paradigma seksual bertujuan untuk meningkatkan eksistensi perempuan yang dipandang selalu mengalami pelecehan seksual dalam kehidupan sosial. Kebudayaan Mesir kuno selaras dengan budaya masyarakat Bizantium yang memandang hijab sebagai tata cara perempuan menggunakan pakaian secara formal untuk menghindari berbagai tindakan yang merugikan eksistensinya. Pemahaman berpakaian secara berformal menggambarkan etika berbusana yang harus ditampilkan oleh setiap perempuan untuk menjelaskan keberadaannya sebagai sesuatu yang mulia di dunia.
Leila Ahmed dalam bukunya berjudul Women and Gender in Islam menjelaskan bahwa paradigma patriarki telah mempengaruhi tindakan dan kehendak kaum lelaki untuk mengeksploitasi keberadaan perempuan di realitas. Dasar utama perkembangan patriarki dalam kehidupan masyarakat dahulu, baik Mesir kuno maupun Bizantium didasari oleh pemahaman mereka memandang perempuan sebagai simbol rendah di dunia. Demi menyikapi kesalahan berpikir, praktik hijab diterapkan untuk meningkatkan kemuliaan dan eksistensi perempuan di dunia. Pandangan Laela Ahmed identik dengan pandangan Fadwa El Guidi yang menilai praktik pelecehan seksual dan rendahnya etika berpakaian merupakan sesuatu yang melatarbelakangi pemakaian hijab dalam peradaban budaya masyarakat klasik. Fedwa El Guidi memandang bahwa pemakaian hijab sebuah aturan yang harus diterapkan bagi setiap individu untuk menyadari keberadaannya sebagai entitas mulai di realitas.
Tradisi berhijab dalam kehidupan masyarakat klasik dipandang sebagai budaya sakral yang senantiasa dipraktikkan bagi setiap kalangan wanita. Menurut Geertz, hijab dalam pandangan masyarakat klasik merupakan suatu keyakinan dan pegang hidup yang mempengaruhi kehormatan dan keagungan perempuan. Akibatnya, kedudukan hijab dalam kacamata sejarah merupakan bagian dari great tradition. Implikasinya, diketahui bahwa hijab atau etika berpakaian yang dipraktikkan oleh masyarakat klasik memiliki peran dan urgensi untuk membahasakan pesan-pesan sosial dan moralitas di realitas. Dengan demikian, dapat dipahami hijab menurut para pemikir tidak sebatas simbol religius, sebagaimana yang diproyeksikan oleh para mufasir. Akan tetapi, hijab dalam perspektif sejarah dipahami sebagai simbol perlawanan, perjuangan, dan kedudukan perempuan yang terbingkai sebagai identitas budaya, sehingga para wanita dari masa klasik hingga sekarang akan terus mempraktikkan hijab yang diartikan keagungan dan kehormatan eksistensinya.
Berdasarkan ragam penjelasan di atas, dapat disimpulkan hijab dalam pandangan kaum feminis merupakan simbol perlawanan, perjuangan, dan kedudukan eksistensi perempuan dalam konstruksi sosial. Akibatnya, hijab dinilai sebagai sebuah keyakinan dan pegangan hidup yang harus dipraktikkan untuk mendeskripsikan keagungan dan kehormatan kaum wanita di realitas.
Pandangan kaum feminis tidak selaras dengan pemahaman para mufasir, seperti Al-Qurthûbῑ, Ibn Jubair, Ibn ‘Athiyah, dan Murtadha Muthahari memandang hijab merupakan produk Ilahi yang disampaikan oleh manusia sempurna kepada para pengikutnya untuk meraih kesucian dan ketakwaan kepada Sang Ilahi. Proses kesucian dan ketakwaan telah diatur hukum syariat melalui praktik hijab untuk mengarahkan perilaku dan tindakan individu. Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa para ulama memiliki ragam pandang menyikapi konsep hijab yang diatur oleh hukum syariat.
Al-Qurtubi dalam magnum opusnya yang berjudul Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an memaknai hijab, ialah pakaian longgar yang menutupi seluruh tubuh. Hijab sebagai penutup tubuh perempuan dalam pandangan Al-Qurtubi bertujuan untuk menghilangkan pandangan-pandangan seksualitas yang merendahkan eksistensi perempuan di realitas. Al-Qurtubi mempertegas pandangannya dengan menampilkan beberapa pandangan ulama lain, seperti Ibn Jubair mengartikan hijab adalah sesuatu yang menutupi diri para wanita, kecuali bagian wajahnya yang terlihat.
Penjelasan Ibn Jubair dipertegas oleh Ibn ‘Athiyah melalui pengutipan Al-Qurtubi bahwa penutupan diri perempuan juga berlaku pada kedua telapak tangannya. Al-Qurtubi menyetujui pandangan Ibn ‘Athiyah bahwa hijab merupakan pakaian yang berfungsi untuk menutupi eksistensi perempuan dari pelbagai perbuatan tercelah. Ragam pandangan para mufasir, khususnya Al-Qurtubi, Ibn Jubair, dan Ibn ‘Athiyah mengenai makna hijab didasari QS. An-Nur [24]: 31 yang artinya;
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”
Menurut Al-Qurthûbῑ, Ibn Jubair, dan Ibn ‘Athiyah QS. An-Nur [24]: 31 menjelaskan kewajiban kaum Muslimah untuk menjaga pandangan dan memelihara kemaluannya dari pelbagai kehidupan di dunia. Cara utama bagi wanita untuk menjaga pandangan dan memelihara tubuh melalui praktik hijab yang menutupi seluruh tubuhnya, sehingga wanita dan pria dapat menghindari tindakan seksualitas. Hilangnya tindakan seksualitas mencerminkan eksistensi perempuan terhindar dari berbagai sikap yang merugikan dirinya di realitas.
Berdasarkan ragam penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa para pemikir, baik feminis maupun para mufasir memiliki berbagai argumentasi untuk membenarkan pandangan mereka terhadap keberadaan dan hakikat hijab. Namun, berbagai argumentasi dalam penawaran para pemikir, justru menghadirkan pertanyaan bahwa “Apakah hijab merupakan produk budaya atau hukum syariat?” Dan tentu pertanyaan lainnya, ialah “Apakah pandangan feminis dan mufasir tidak memiliki kesalarasan?” yang menyebabkan munculnya berbagai polemik dan perdebatan mengenai ugensi dan esensi etika berpakaian wanita. (bersambung)