Gagasan Masyarakat Ideal Ibnu Bajjah dalam Tadbir al-Mutawahhid

Dalam berbagai literatur, tradisi kajian filsafat Islam pasca kritikan al-Ghazali melalui Tahafutul al-Falasifah, dianggap sebagai penyebab kehancuran kejayaan kajian filsafat di dunia Islam. Bahkan, ada yang menyebut telah kehilangan tempat dalam tradisi intelektual di dunia Islam. Kenyataan yang demikian, pada dasarnya tak dapat dikatakan benar sepenuhnya.

Harus diakui memang, secara tradisi keilmuan, kajian pemikiran filsafat Islam di belahan Timur dunia Islam mengalami krisis, akan tetapi di belahan dunia Barat (Spanyol), tradisi pemikiran filsafat Islam mengalami kemajuan yang sangat signifikan. Hal semacam ini misalnya dapat dilihat dari bantahan Ibnu Rusyd atau Averrois melalui karyanya, Tahafut al-Tahafut: Kerancuan Kitab Tahafut atas karya al-Ghazali Tahafutul al-Falasifah tersebut.

Pergeseran tradisi pemikiran filsafat Islam di belahan dunia Timur Islam ke belahan dunia Barat Islam mengalami kemajuan di bawah dinasti Amawiyah di Spanyol (Eropa) yang melahirkan beberapa para filsuf-filsuf Muslim besar yang pengaruh dan pemikirannya masih menjadi bahan kajian hingga saat ini. Sebut saja misalnya, Ibnu Bajjah (1100–1138 M), di Eropa dikenal sebagai Avempace dan Aben Pace, Ibnu Thufail (1110-1185 M) atau Abubacer, dan Ibnu Rusyd (1126–1198 M) atau lebih dikenal sebagai Averrois di kalangan intelektual Barat.

Dari sekian banyak munculnya para filsuf Muslim di Barat di atas, secara kronologi-historis Ibnu Bajjah merupakan filsuf Muslim pertama kali yang muncul di belahan dunia Barat Islam. Dalam literatur filsafat Islam baik, yang ditulis para sarjana Barat maupun para sarjana Muslim, Ibnu Bajjah sering kali dinarasikan sebagai sosok sarjana Muslim ahli bahasa dan sastra Arab yang ulung, serta menguasai hampir dua belas ilmu pengetahuan sekaligus.

Ibnu Bajjah juga dinarasikan sebagai filsuf yang sangat cerdas di zamannya, mampu membaca ulang karya-karya para filsuf Yunani, mulai dari karya Plato Republik, etika Aritoteles, metafisika Neo-Platonisme hingga pemikiran politik al-Farabi dalam karyanya Al-Madinah al-Fadhilah. Oleh karena itu, dalam banyak hal, pemikiran dan gagasan Ibnu Bajjah ini dianggap banyak dipengaruhi tokoh-tokoh ini, terutama al-Farabi dalam hal filsafat politik.

Baca Juga:  Ibnu Taimiyah: Pelatak Dasar Neo-Sufisme

Misalnya, dalam pemikiran dan gagasan tentang filsafat politik, Ibnu Bajjah banyak dipengaruhi pemikiran dan gagasan filsafat politik al-Farabi, bahkan dapat dikatakan banyak kemiripannya. Kalau gagasan filsafat politik al-Farabi tertuang dalam Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah, maka gagasan filsafat politik Ibnu Bajjah tertuang dalam Tadbir al-Muwahhid yang bisa diterjemahkan sebagai penyatuan manusia individualis.

Kemiripan antara gagasan filsafat politik Ibnu Bajjah dengan al-Farabi, dapat dikatakan Ibnu Bajjah merupakan pengikuti setia al-Farabi. Kalau gagasan filsafat politik al-Farabi dalam Al-Madinah al-Fadhilah mensyaratkan kepala negara dan tugas-tugasnya sebagai pengatur negara, sekaligus pengajar dan pendidik, yang lebih menekankan pada kepala negara sehingga menjadi negara utama atau al-Madinah al-Fadhilah dan membagi masyarakat menjadi masyarakat sempurna (al-Kamilah), yang diibaratkan seperti organ tubuh manusia dengan anggotanya yang lengkap, masing-masing organ tubuh bekerja sesuai fungsinya, dan masyarakat tidak sempurna (al-Ghairu al-Kamilah).

Maka, gagasan filsafat politik Ibnu Bajjah yang tertuang dalam Tadbir al-Muwahhid lebih banyak ditekankan pada gagasan warga negara masyakarat yang juga membagi pada warga negara masyarakat sempurna dan warga negara masyarakat tidak sempurna. Ibnu Bajjah dalam konteks memberikan keterangan syarat akan adanya warga negara masyarakt sempurna seperti, adanya wilayah atau daerah, adanya masyarakat, adanya kepala negara, dan adanya pengakuan dari negara yang lain.

Dalam Tadbir al-Muwahhid Ibnu Bajjah memberikan penjelasan panjang lebar tentang ciri negara sempurna yang berkaitan dengan Tadbir atau manusia individualis. Ibnu Bajjah memberikan pengertian pada Tadbir mencakup pada umum dan khusus. Tadbir secara umum sebagai segala bentuk perbuatan manusia, sedangkan Tadbir secara khusus sebagai perbuatan negara dalam mencapai tujuan yaitu kebahagian warga negara masyarakat.

Gagasan filsafat politik Ibnu Bajjah tidak banyak menggunakan istilah filsuf, akan tetapi lebih banyak menggunakan istilah alMuwahhid yaitu perilaku warga negara untuk bersikap individualis dalam satu negara dari negara yang tidak sempurna, seperti negara miskin, bodoh, negara fasik dan lain sebagainya.

Baca Juga:  Menjadi Hamba, Menjadi Mulia

Gagasannya ini tidak bisa lepas dari pengalaman hidup Ibnu Bajjah, di mana meskipun menjadi seorang filsuf, Ibnu Bajjah pernah aktif dalam dunia politik sebagai wazir yang diangkat oleh gubenur saragosa dinasti Daulat al-Murabith yaitu Abu Bakar Ibnu Ibrahim al-Sahrawi.

Konsep masyarakat al-Muwahhid Ibnu Bajjah ini berlaku dalam konteks pemaknaan tabir secara khusus, semisalnya negara tak boleh bekerja sama dengan negara tertentu, seperti negara miskin. Sebab pada satu sesi Ibnu Bajjah menyebut masyarakat alMuwahhid dengan uzlah falsafi, yang dibedakan dengan konsep uzlah para sufi seperti al-Ghazali, yang menganjurkan untuk menjauhi masyarakat secara total.

Bagi Ibnu Bajjah, masyarakat alMuwahhid harus tetap berhungan dan bersosial dengan masyarakat secara bersama. Jika suatu negara atau masyarakat total menjauhi negara atau masyarakat lain, maka hal tersebut bertentangan dengan tabiat manusia yang lebih banyak memiliki kecenderungan membutuhkan orang lain

Dalam pandangan Ibnu Bajjah yang harus ditinggalkan dan dijauhi adalah tindakkan atau tak berbuat seperti masyarakat atau negara bodoh dan miskin, tidak terjebak pada tindakan tidak manusiawi. Inilah kemudian yang disebut sebagai uzlah falsafi yang dapat menghantarkan pada kebahagian.

Bagi Ibnu Bajjah, negara yang sempurna itu memiliki ciri yang sangat khas, seperti negara yang tak perlu adanya dokter, karena warga negara sudah bisa menjaga kesehatan, dengan demikian masyarakat sadar akan kesehatan dan tak mau makan makanan yang merusak kesehatan.

Hakim atau polisi tak diperkukan, karena setiap individu warga negara sudah mencapai kesadaran yang sangat tinggi akan undang-undang negara, sehingga masyarakat hidup dengan saling mengasihi, menyayangi, dan saling menghormati. Inilah yang dimaksud negara sempurna dalam pandangan Ibnu Bajjah.

Baca Juga:  Polemik di Balik Nama Filsafat Islam

Tentu gagasan filsafat politik Ibnu Bajjah ini ada banyak kesamaan dengan gagasan filsafat politik al-Farabi. Akan tetapi, ketika gagasan filsafat politik berupa negara ideal Ibnu Bajjah ini dibawa dalam konteks gagasan politik modern dan kontemporer agak dirugikan dan sulit untuk diwacanakan apalagi terkait dengan negara ideal tanpa dokter dan hakim atau polisi. Setinggi apapun kesadaran manusia dalam segala aspek, akan tetap butuh pada peraturan yang bisa mengikat. Meskipun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa Ibnu Bajjah lebih mementingkan dan mengutamakan tindakan atau aksi dalam mencapai kesempurnaan masyarakat yang ideal.

0 Shares:
You May Also Like