SIMONE DE BEAUVOIR: SIAPAKAH DIA?

Oleh: Rahayu Syahidah Karbela

Mahasiswa Pascasarjana STFI Sadra Jakarta

Simone De Beauvoir adalah seorang filosof perempuan, dikenal sebagai pegiat feminis, termasuk juga ke dalam kelompok feminis yang ingin menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan itu sama saja. Perlu digaris-bawahi bahwa filsafat itu sebenarnya sifatnya tidak maskulin, tetapi feminim. Akar kata filsafat, yaitu philia, philo, dan shopia. Shophia berarti kebijaksanaan. Di China, kebijaksanaan disimbolkan dengan yin yang bersifat feminim. Jadi, filsafat sendiri sifatnya feminim, bukan maskulin. Makanya Jostein Gaarder penulis novel Dunia Shophie ketika ia menggunakan tokoh utama yang bernama Shophie sebenarnya ia ingin menunjukkan bahwa filsafat itu sebenarnya sangat feminim. Dalam teorinya Simone De Beauvoir, dia akan menunjukkan apa bedanya perempuan dan apa bedanya feminim. Hanya saja, Simone De Beauvoir ini dalam segi kategori, dia adalah seorang eksistensialis, karena ia menghabiskan hidupnya dengan seorang tokoh eksistensialis juga, yaitu Jean Paul Sartre. Mereka tidak menikah, tetapi hidup bersama. Jean Paul Sartre merupakan salah satu orang yang sangat berpengaruh dalam hidupnya Simone De Beauvoir.

Simone De Beauvoir lahir sekitar tahun 1908. Sejak kecil dikenal cantik dan dari keluarga borjuis (orang-orang kaya). Dasar pemikirannya adalah eksistensialisme Sartrean. Karena filsafat eksistensialism Sartre yang paling banyak mempengaruhi pemikirannya. Di antara pemikirannya adalah Etre-en-soi (being in itself) identik dengan dirinya. Etre-en-soi tidak aktif, tidak pasif, tidak afirmatif, tidak positif dan tidak negatif. Ada yang tidak sadar (non-concisious being) sehingga ia tidak mampu memberi makna pada eksistensinya. Etre-en-soi adalah benda-benda yang padat, “selesai” dan tanpa celah. Sedangkan Etre-pour-soi (being for itself) adalah ada yang berkesadaran “kosong” sehingga banyak “celah” dalam dirinya untuk “menjadi”.

Baca Juga:  Tips Menggapai Makrifat Ala Abu Yazid al-Busthami

Manusia bisa menjadi apapun yang diinginkannya. Manusia itu berbeda dengan makhluk lain yang sudah memiliki esensi bawaannya. Jadi manusia itu bukanlah sesuatu. Bahkan sejelek apapun kondisi yang menimpa, jangan pernah menganggap seorang manusia bukan manusia. Jadi segala yang terjadi padaku adalah “milikku” bahkan memutuskan untuk “tidak manusiawi” pun adalah juga keputusanku sebagai manusia. Misalnya dalam perang: “Kalau aku tergerak untuk ikut perang, maka itu adalah perangku”.           

Kemudian teori Sartre yang kedua adalah bahwa manusia dikutuk untuk bebas. Manusia adalah makhluk yang bebas menentukan hakikat-hakikatnya sendiri. Bebas menentukan jalan hidupnya. Namun, di sisi lain tersebut justru menjadi suatu kenyataan yang mengerikan. Ketika dihadapkan pada pilihan, manusia sesungguhnya benar-benar dihadapkan pada kebebasannya sendiri. Manusia benar-benar sendirian. Kebebasan adalah beban, karena kebebasan mengimplikasikan tanggung jawab. Jadi, bagi Sartre bebas itu merupakan sebuah kutukan.

Sartre meyakini bahwa manusia menjalani kehidupan yang berat dan penuh derita. Bukan karena hidup itu mengerikan, tapi karena bagi Sartre manusia dikutuk untuk bebas dan memilih nasibnya sendiri. Menurutnya manusia semacam terlempar ke dunia untuk terus menjadi ‘ada’ atau ‘mengada’. Menyadari keberadaan itu kemudian akhirnya manusia harus membuat pilihan. Bahkan ketika manusia memutuskan untuk tidak memilih sekali pun itu sudah merupakan pilihan. Menurut Sartre, apa yang kita pilih menunjukkan bagaimana seharusnya kita menjadi manusia. Jadi, kebebasan itu didasarkan pada pilihan. Setiap situasi adalah satu kesempatan untuk kita ambil atau kita abaikan; jadi setiap situasi memaksa kita untuk membuat pilihan. Kita gelisah karena kita tidak pernah mampu mengalihkan tanggung jawab dan membuat pilihan tersebut kepada orang lain.

Kemudian teori Sartre yang ketiga yang mempengaruhi pemikiran Simone De Beavoir adalah bahwa orang lain adalah neraka. “Penajisan” orang lain sebagai “neraka” dikarenakan eksistensinya yang selalu “mengobyekkan” diri kita. Hal tersebut dapat terjadi mengingat aspek “kesadaran” (etre pour soi) yang dimiliki pula oleh individu lain layaknya diri kita. Sehingga berpotensi membentuk “penilaian” ataupun “menstruktur” eksistensi kita sebagai manusia yang bebas tanpa harus terbebani dengan penilaian-penilaian dari orang lain.

Baca Juga:  Membaca Kesempurnaan Holistik Manusia melalui Kisah Ibn Miskawaih dan Ibn Sina

Maka dari itu menurut Sartre setiap relasi antar manusia adalah konflik, saling menegasikan terus-menerus, karena seorang manusia menjadi subjek sekaligus juga objek bagi yang lain. Oleh karena itu, satu dengan yang lainnya berusaha untuk memasukkan orang lain (yang ada di luar dirinya) dalam pusat “dunianya”. Setiap perjumpaan dan komunikasi dengan orang lain merupakan ancaman bagi eksistensinya.

Lalu, teori yang ke-empat dalam filsafat eksistensialism Sartre adalah La mauvaise foi atau bad faith. La mauvaise foi dapat terjadi pada orang-orang yang “menempelkan” dirinya pada suatu hal yang lebih “besar” darinya hingga ia melupakan kesadarannya sendiri. Hal ini akan menyebabkan manusia kehilangan dirinya sendiri dan hal ini justru akan lebih menyakitkan.

Dari ke empat teori Sartre yang mempengaruhi pemikiran Simone De Beavoir ini yang nantinya menjadi dasar pemikirannya Simone De Beavoir yang kemudian orang mengenalnya sebagai “Etika Ambiguitas”. Menurut Simone De Beavoir dalam menjalani hidup ini, yang  dihadapi manusia sebenarnya adalah ambigu-ambigu atau paradoks-paradoks yang mengharuskan manusia untuk memilih sesuatu yang keduanya sama-sama penting. Dalam hal ini yang paling penting untuk menghadapi ketegangan dalam hidup adalah bahwa kita membutuhkan orang lain tapi sekaligus kita khawatir dikuasai oleh orang lain (diobjekkan) dan pilihan kita menentukan otensitas kita. Dalam bahasa Simone De Beavoir “Discovering the world (disclose the meaning of being) melawan Author of the worrld’s meaning (bringing meaning to the world)”. Artinya memahami makna yang ada atau membuat makna sendiri dan kedua hal ini sama-sama penting. Kita tidak bisa membuat makna sendiri jika tidak bisa memahami makna yang ada. Tetapi jika hanya memahami makna yang ada, kita menjadi tidak otentik dengan diri kita. Jadi kedua hal ini yang membuat ambigu dan setiap hari kita berhadapan dengan hal tersebut. Contoh, ketika orang memahami A bisa jadi kita memahami B. Itulah yang disebut etika etik.

Baca Juga:  Islamisasi Ilmu Pengetahuan Syed Muhammad Naquib Al-Attas

Menurut Simone De Beavoir dari ketegangan-ketegangan hidup di atas, akan melahirkan “Existential Angst” atau kegelisahan eksistensial. Mengapa melahirkan kegelisahan? Karena manusia dipaksa untuk memilih. Memilih dua hal yang sama-sama penting. Hal ini selaras dengan teorinya Sartre bahwa hidup bebas dengan banyak pilihan itu adalah sebuah kutukan. Sayangnya kita tidak bisa lepas dari struktur Existential Angst tersebut. Tetapi dari proses itulah manusia akan menuju An Authentic Life, kehidupan yang asli. Kehidupan manusia yang sebenarnya ditentukan oleh pilihan-pilihannya. Artinya dari ketegangan di antara banyak pilihan, melahirkan kegelisahan eksistensial, dan dari kegelisahan eksistensial itulah yang akan melahirkan manusia yang autentik, manusia yang sesungguhnya.

Kesimpulannya adalah bahwa manusia terbentuk dari pilihan-pilihan yang dipilihnya. Itulah yang disebut etika ambiguitas menurut Simone De Beavoir. Dasar hidup manusia ternyata sifatnya ambigu. Dari hal tersebut kita belajar untuk tidak gampang menyalahkan orang lain. Karena orang lain pun itu seperti kita, ditawari banyak pilihan dan mereka memilih sesuai dengan versinya mereka, begitupun dirimu memilih sesuatu sesuai dengan versimu.

0 Shares:
You May Also Like