Refleksi Pendidikan ala Pesantren (2): Pendidikan Model Asrama

Seperti kita ketahui bahwa pondok dan pesantren dalam bahasa Indonesia dipergunakan sebagai dua sinonim untuk menyebutkan pondok-pesantren. Jika dirinci, istilah pondok didefinisikan sebagai tempat tinggal yang sederhana. Sedangkan pesantren didefinisikan sebagai asrama tempat santri belajar. Jadi, kedua kata tersebut memiliki makna satu kesatuan yang utuh.

Embrio pondok pesantren bermula dari keinginan orang tua untuk menitipkan anaknya kepada seorang kiai untuk dididik. Bermula dari empat, lima orang anak, akan tetapi semakin lama anak semakin banyak, sehingga rumah kiai tidak lagi muat untuk menampung anak didiknya. Selanjutnya untuk menampung anak-anak didiknya, kiai menemukan ide dan menuangkan ide tersebut kepada santri dan dibantu masyarakat untuk mendirikan tempat belajar, dalam hal ini pondok-pondok kecil. Besar kecilnya suatu pondok disesuaikan dengan jumlah anak yang ada di lingkungan pesantren itu. Selain untuk tinggal santri, pondok juga digunakan sebagai tempat pengembangan keterampilan santri, ditempa, dibina dengan berbagai hal dengan tujuan agar siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah mereka selesai mengenyam pendidikan pesantren. Jadi, pada dasarnya pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan yang menyediakan pondok/asrama sebagai tempat tinggal bersama sekaligus tempat belajar para santri dibawa naungan dan bimbingan dari kiai. Asrama berada dalam lingkungan pesantren di mana kiai, keluarga, dan santrinya tinggal, serta masjid sebagai tempat beribadah.

Kemudian dalam konteks pesantren “modern” biasanya lingkungan dikelilingi oleh pagar pembatas untuk dapat memantau keluar masuknya santri. Hal ini kemudian yang membedakan lingkungan pesantren dan lingkungan sekitarnya. Sebaliknya pesantren yang dengan tetap mempertahankan tradisi ke salafiah-nya  seperti sejumlah pesantren yang ada seperti pesantren Miftahul Inayah yang ada di daerah Banjarsari-Ciamis meniadakan pagar pemisah yang membedakan antara masyarakat dan pesantren, walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa sejumlah pesantren salafiah yang ada saat ini juga tetap ada yang memasang pagar pembatas pesantren dengan dalih kedisiplinan santri. Mempertahankan pola pemondokan/pengasramaan tampaknya menjadi ciri pesantren sejak dahulu. Mengapa demikian?

Baca Juga:  Create Your Own Religion (1)

Setidaknya ada empat alasan utama pesantren dalam membangun pondok. Pertama, ketertarikan santri untuk menyerap ilmu pengetahuan dari tokoh yang masyhur disertai dengan keluasan ilmunya yang mengharuskan santri untuk merantau/meninggalkan kampung halamannya untuk kemudian menetap di kediaman kiai. Kedua, umumnya pesantren tumbuh dan berkembang di daerah yang memang jauh dari keramaian, sehingga bagi yang tidak menerapkan pagar pembatas kemudian hendak menginap dipemukiman penduduk, tidak terdapat tempat tinggal yang cukup memadai untuk menampung santri dengan jumlah yang terus bertambah. Ketiga, terciptanya hubungan timbal balik antara santri dan kiai, yaitu berupa hubungan yang terus terjalin setiap waktunya dan menjadi seperti ayah dan anak. Hubungan timbal balik ini akan menjadi sebuah ikatan dalam jangka waktu yang lama. Keempat, alasan pemondokkan adalah untuk memudahkan pengawasan dan pembinaan kepada para santri secara intensif dan istikamah.

Demikianlah alasan-alasan diadakannya model pemondokkan/pengasramaan di dalam lembaga pendidikan pesantren. Selanjutnya jika kita lihat konteks pemondokkan pada zaman ini, pola pesantren kemudian ditiru oleh sekolah-sekolah formal yang kemudian menerapkan model boarding school, di mana para siswa harus menginap disiapkan oleh pengelola lembaga sekolah formal tersebut.

Mengapa ditiru? Karena sistem pemondokkan/pengasramaan dinilai menjadi media pembelajaran yang efektif untuk menghasilkan output yang berkualitas. Muatan-muatan pendidikan keagamaan yang diberikan kepada santri tidak hanya menjadi tabungan pengetahuan (aspek kognitif) belaka, melainkan lebih dalam lagi. Kegiatan-kegiatan keasramaan menjadi medan aktualisasi nilai-nilai keagamaan di bawah naungan para ustaz. Kondisi dan kegiatan-kegiatan yang ada di asrama mengandung banyak pelajaran-pelajaran yang berharga seperti, bagaimana latihan bekerjasama, setia kawan, menghargai orang lain, dan—yang terpenting—bisa mengamalkan agama dalam kehidupan. Kemudian tak kalah juga keterampilan sosial dan keterampilan hidup (life skills) sangat berharga bagi santri. Sebuah keadaan yang tidak dirancang. Namun, dalam praktiknya di dalam kehidupan sosial bisa terjadi di tengah keterbatasan tersebut.

Baca Juga:  Tasawuf: Titik Temu Ajaran Kemanusiaan di Semua Agama

Jadi, kelebihan pesantren yang menjadi sorotan pendidikan formal sekarang itu terletak pada sisi itu, yakni kebersamaan, kesaling pengertian, dan praktik keilmuan di tengah kehidupan sosial. Spirit seperti inilah yang sekarang ditiru dan diadopsi oleh sekolah formal dengan penerapan model boarding school. Namun disayangkan, melihat realitas sistem boarding yang ada malah memunculkan berbagai problem, di antaranya memunculkan watak elitisme siswa, atau belum lama ini muncul istilah “predator” seks dari sistem boarding school, dan masih banyak lain problem-problem yang muncul. Itu semua terjadi karena sistem keasramaan kurang dipahami sepenuhnya. Model boarding hanya dipahami sebagai tempat penampungan. Jadi, meskipun siswa telah diasramakan, masih sering terjadi ketimpangan pelayanan, pemanfaatan kesempatan, yang kemudian berakibat fatal bagi masyarakat secara luas, dan mencoreng sistem pesantren yang sejak lama tegak menjadi stigma negatif bagi masyarakat.

Praktik pembelajaran ala pesantren sebagaimana disebutkan di atas—sebagai salah satu ciri menonjol pendidikan pesantren—telah menuai berbagai keberhasilan. Hal ini diperkuat dengan teori berkebangsaan Amerika yaitu Dave Meier di dalam bukunya The Accelerated Learning Handbook, ia menyatakan bahwa proses belajar seseorang bisa maksimal jika ada pelibatan unsur tubuh (gerakan, praktik, somatis), berbicara (auditori), skema (visual), dan melibatkan perenungan, pemecahan masalah, dan emosi (intelektual). Menurutnya proses belajar tersebut hanya mungkin dilakukan dalam kegiatan asrama atau dalam bahasa Dave disebut dengan istilah supercamp. Ia menambahkan bahwa daya serap seorang siswa yang mendapatkan pengetahuan lalu mempraktikkan, mengungkapkan, dan melakukan dalam kehidupan sosial bisa mencapai keberhasilan dengan presentasi 90%.

Demikianlah pendidikan model asrama yang merupakan ciri menonjol bagi lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Para santri dibina dalam sebuah lokasi tertentu, dipandu oleh kiai sebagai panutannya. Oleh karena itu, pesantren disebut sebagai sub kultur. Karena hegemoni kiai—dalam arti positif— telah melahirkan sebuah kultur baru bagi santri-santrinya. Wallahu a’lam.

Previous Article

Karunia dan Cobaan

Next Article

Menguak Pemikiran al-Ghalayaini dalam Idzatun Nasyi'in

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨