Menjemput Nilai-Nilai Kemanusiaan dalam Filsafat Stoa

Oleh: Bil Hamdi

Mahasiswa STFI Sadra Jakarta

Dunia yang sekarang telah berkembang begitu pesat. Peradaban umat manusia telah mencapai ketinggian yang belum pernah ada di masa sebelumnya. Sepuluh tahun lalu, orang-orang belum bisa membayangkan bagaimana mungkin seseorang yang tinggal nun jauh di Afrika, bisa melihat temannya yang ada di Amerika melalui kotak bercahaya yang kita sebut handphone. Mundur lagi ke beberapa dekade yang telah lalu, orang-orang di zaman 70-an tak pernah berpikir bahwa surat (pesan) bisa dikirimkan secepat kedipan mata, bahkan bisa dibalas secepat itu pula. Kita beranjak ke zaman sebelum itu lagi, manusia yang hidup di abad pertengahan, sama sekali takkan percaya kalau besi seberat ratusan ton bisa melayang di udara. Dapat dipastikan kamu akan dicap sebagai orang gila, jika sampai berani mengatakan bahwa manusia mungkin saja pergi ke bulan.

Itu semua adalah gambaran, bagaimana manusia dengan kemampuan akalnya telah melampaui batasnya, kemudian menemukan batasan baru yang akan mereka lampaui lagi dan lagi. Handphone, pesawat terbang, gedung pencakar langit, roket mungkin akan dianggap sebagai mukjizat yang hanya bisa dibuat dengan bantuan para dewa oleh orang-orang dahulu kala. Kita pun takkan pernah tahu keajaiban apa lagi yang akan manusia buat di masa depan.

Namun demikian, segala kemudahan yang manusia rasakan di era modern rupanya berbanding lurus dengan meningkatnya permasalahan-permasalahan sosial yang harus dihadapinya. Memasuki era globalisasi, manusia menghadapi lapangan kehidupan yang jauh lebih luas melampaui batas-batas geografis. Di tambah lagi dengan kehadiran media sosial yang semakin mengaburkan jarak-jarak tersebut. Dengan demikian, globalisasi meniscayakan terjadinya benturan antar-kebudayaan, bangsa, ras, ideologi bahkan agama dan keyakinan yang ada. 

Baca Juga:  SIMONE DE BEAUVOIR: SIAPAKAH DIA?

Dari benturan tersebut, muncullah beragam permasalahan sosial yang tak jarang memicu ketegangan antarumat manusia. Muncul pula sikap chauvinistik yang membangga-banggakan kebudayaan, bangsa dan negara sendiri sembari merendahkan selainnya. Benturan antaragama dan keyakinan pun tak jarang memunculkan sikap intoleran, radikal dan ekstrim yang kian hari makin meresahkan.

Menghadapi kondisi chaos semacam ini, agaknya kita perlu merenungi nilai-nilai dalam sebuah aliran filsafat yang telah berumur lebih dari 2300 tahun. Filsafat Stoa atau Stoisisme adalah nama sebuah aliran filsafat Yunani kuna yang didirikan di kota Athena oleh Zeno dari Citium. Saat itu, Athena menjadi pusat belajar filsafat, di mana Zeno (yang dipengaruhi oleh Socrates) merupakan salah satu pengajar filsafat Stoa. Dinamai Stoa karena aktivitas belajar mengajarnya dilakukan di beranda rumah (dalam bahasa Yunani Stoa berarti beranda rumah atau teras), hal ini pula yang menginspirasi Henry Manampiring (penulis buku Filosofi Teras) untuk menerjemahkan Philosopy of Stoicisme menjadi Filosofi Teras.

Filosofi yang satu ini, kini mulai berkembang kembali di Barat sebagai sebuah terapi mental untuk menghadapi stres dan depresi yang melanda masyarakat. Berbeda dari filsafat pada umumnya yang membicarakan teori-teori rumit dan memusingkan, filsafat Stoa lebih bersifat praktikal dan bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Uniknya lagi, filsafat yang satu ini ajarannya tidak bertentangan dengan agama atau ideologi mana pun. Justru, kita akan menemukan banyak kesamaan antara ajaran Stoa dengan agama-agama yang ada.

Filsafat Stoa meskipun telah berumur ribuan tahun, namun masih terasa sangat relevan dengan kehidupan manusia modern. Berbagai persoalan kemanusiaan seperti yang disebutkan di atas tadi kiranya mampu sedikit mendapat solusi dan jawaban dengan memperhatikan nilai-nilai yang terkandung dalam filsafat Stoa. 

Baca Juga:  RELIGIUSITAS CUMA GEJALA NEUROLOGIS ATAU MALAH NEUROTIK BELAKA? Mari Menjadi Peneliti yang Lebih Berhati-hati

Dalam pandangan filsafat Stoa, segala kekacauan dan peperangan yang dilakukan oleh manusia atas dasar perbedaan dan ketersinggungan antarsuku, negara, bangsa, ras, bahkan agama dianggap sebagai perbuatan yang berlebihan dan tidak manusiawi.  Argumen ini dilandasi oleh salah satu prinsip utama dalam Stoisisme, bahwa segala makhluk di alam semesta harus hidup selaras dengan alam (in accordance with nature). Di sini, manusia akan selaras dengan alam bila menjalankan perannya sebagai manusia, yakni sebagai makhluk berakal. Sehingga, segala tindakan manusia yang tidak dilandasi rasio, dianggap tidak selaras dengan alam dan hanya akan menyebabkan kesengsaraan. Peperangan dan perselisihan yang mengabaikan kemanusiaan karena perebutan kekuasaan atau sentimen politik, budaya atau agama hanya akan mengantarkan umat manusia pada penderitaan sebab tidak dilandasi rasionalitas.

Umumnya, ketegangan antarkebudayaan, suku, bangsa, ras, ideologi atau agama disebabkan oleh ketersinggungan yang berlebihan sehingga menghasilkan emosi negatif. Selanjutnya, emosi negatif inilah yang akan menjadi bahan bakar terjadinya keributan bahkan peperangan. Bila rasionalitas dikalahkan oleh emosi negatif, maka segala tindakan yang ditimbulkannya hanya akan menyebabkan kerusakan, baik kerusakan diri sendiri atau bahkan orang lain. Ribuan tahun yang lalu para filsuf Stoa telah mencetuskan nilai-nilai yang bisa kita terapkan untuk mengatasi persoalan tersebut.

Setidaknya, ada tiga poin utama dalam filsafat Stoa yang perlu kita garis bawahi menyangkut permasalahan benturan peradaban dan ketersinggungan di atas. Pertama, kesadaran bahwa tidak ada yang baru di dunia ini, semua kejadian yang kita alami dan amati (menyangkut emosi) dalam hidup pada dasarnya sudah pernah terjadi, sedang terjadi dan akan terus terus terjadi. Patah hati, kecewa, marah, berduka, tersinggung, curiga dan sekian banyak emosi manusia lainnya telah dialami oleh setiap manusia sepanjang sejarah dan akan terus berlanjut. Sepanjang sejarah pula telah terjadi sekian banyak peperangan yang menelan korban yang tidak sedikit.  Seharusnya manusia modern mampu sedikit belajar, lalu bertanya, apakah kita akan mengulangi peperangan yang sama lagi?

Baca Juga:  ANARKISME EPISTEMOLOGI PAUL K. FEYERABEND: KENAPA SAINS MALAH MENJADI AGAMA BARU?

Selanjutnya, Donuld Robertson mengutip dari Marcus Aurelius menawarkan konsep view from above, yakni ajakan untuk melihat kehidupan kita dari atas. Melalui konsep ini, kita diminta untuk mengandaikan bahwa kita sedang terbang naik untuk melihat dunia serta segala kompleksitas permasalahannya. Dari ketinggian, kita melihat keseluruhan planet bumi, dan mulai menyadari betapa kecil dan tidak berdayanya kita. Serupa debu yang sangat rapuh. Lalu kita bertanya, seberapa perlukah peperangan dan kemarahan itu untuk kita? bukankah itu perbuatan yang sangat irasional?

Terakhir, Marcus Aurelius dalam bukunya Meditations menjelaskan bahwa pada saatnya kita akan melupakan segalanya. Dan orang lain juga akan melupakan kita. Renungkanlah bahwa akhirnya kita tidak akan menjadi siapa-siapa, dan lenyap dari bumi. Jika pada akhirnya demikian, maka pantaskah kita secara berlebihan memicu peperangan dan membuang kemanusiaan kita?  

Akhirnya, semaju apapun umat manusia sekarang, kita tetap perlu menengok ke belakang dan mengambil hikmah bahkan dari ajaran yang berkembang 2300 tahun yang lampau. Dengan menghayati ini, semoga umat manusia siap menyongsong masa depan yang damai dan cerah bagi kita semua.

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Agama Hijau

Oleh: Bil Hamdi Mahasiswa STFI Sadra Jakarta Bumi adalah tempat kita berpijak dan menjalani kehidupan. Allah dengan sifat…