Salah satu corak umum pemikiran politik ketatanegaraan Islam pada masa klasik (600-1250 M) dan pertengahan (1250-1800 M) ditandai dengan pandangan masyarakatnya yang bersifat khalifah sentris. Kepala negara atau khalifah memegang peranan penting dan mempunyai kekuasaan yang sangat luas. Masyakarat dituntut untuk tunduk dan taat kepada kepala negara. Alasan mereka menekankan ketaatan yang ketat kepada masyarakat terhadap kepala negara adalah demi menjaga stabilitas politik umat Islam itu sendiri.
Hal ini tentu secara tidak langsung berdampak besar terhadap perkembangan politik Islam, terutama bermula dari dinastik bani Abbasiyah yang berkuasa hingga Abad Pertengahan. Seterusnya, pemahaman soal kepala negara berubah-ubah seiring perkembangan waktu dan kepemimpinan, serta kondisi sosio-historis. Tak luput juga kecenderungan dan aktivitas tokoh-tokoh pemikir politik tersebut yang turut mewarnai perkembangan politik Islam.
Salah satu tokoh pemikir politik yang hidup pada abad klasik tersebut adalah al-Farabi. Al-Farabi bernama lengkap Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkas ibn Auzalagh. Ia lahir di Utrar (Farab, bagian wilayah dari Republik Uzbekistan) pada tahun 257 H/870 M, dan meninggal dunia di Damaskus pada tahun 339 H/950 M dalam usia 80 tahun. Di Eropa ia lebih dikenal dengan nama Alpharabius (Muhammad Iqbal, 2015: 5).
Di masa mudanya, ia banyak belajar disiplin ilmu, terutama tentang bahasa Arab, logika, dan filsafat yang ia geluti. Al-Farabi lebih dikenal sebagai salah satu tokoh filsuf Islam yang memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan, dan memandang filsafat secara utuh, sehingga filsuf Islam yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd, banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya.
Al-Farabi berusaha mengakhiri kontradiksi antara pemikiran Plato dan Aristoteles melalui risalahnya al-Jam’u Baina Ra’yay al-Ḫakȋmain, Aflathun wa Aristhu. Dalam bidang filsafat, ia banyak mempelajari pemikiran-pemikiran Plato dan Aristoteles, dan dalam beberapa karyanya banyak dipengaruhi oleh filsafat Plato dan Aristoteles, hingga ia digelari dengan al-Mu`llim al-Tsani (Guru Kedua), sedang yang digelari sebagai al-Mu`llim al-Awwal (Guru Pertama) ialah Aristoteles (Ahmad Hanafi, 1969: 89).
Al-Farabi adalah seorang filsuf Islam yang paling banyak membicarakan masalah kemasyarakatan, meskipun ia sebenarnya bukan orang yang memangku jabatan resmi di dalam satu pemerintahan resmi, tetapi bukan berarti al-Farabi tidak memiliki dasar pemikiran kuat dalam persoalan politik, dan pemikiran filsafat yang ia canangkan ini bersifat teori atau utopia semata.
Melainkan, ia justru berupaya menghasilkan sebuah dasar filosofis dalam persoalan politik, yang mana pada hakikatnya ialah agar manusia hidup dalam satu pemerintahan serta dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (kebahagiaan hidup manusia). Menurut al-Farabi, manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat dan saling membantu dalam untuk kepentingan bersama (al-Farabi, t.th: 96).
Lebih jauh, al-Farabi membagi masyarakat atas dua jenis, yakni masyarakat sempurna dan masyarakat tidak sempurna. Pertama, berupa masyarakat kelompok besar, yang hal ini ini bisa berbentuk masyarakat kota, bisa pula masyarakat yang terdiri dari beberapa bangsa yang bersatu dan bekerja sama secara internasional. Kedua, masyarakat dalam satu keluarga atau masyarakat yang bekerja sama, saling membantu untuk mencapai kebahagiaan. Masyarakat seperti ini disebut dengan masyarakat utama (Sirajuddin Zar, 2010: 82).
Sehingga, negara utama ialah suatu masyarakat sempurna (al-mujtama’ al-kamilah). Adapun tujuan hidup bermasyarakat tidaklah semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup yang akan memberikan kepada manusia kebahagiaan, tidak saja meteril, namun juga spritual, tidak saja sekedar di dunia ini, namun juga di akhirat kelak.
Jika kita pahami, pendapat al-Farabi ini mengindikasikan bahwa pengaruh keimanan agamanya sebagai seorang Muslim di samping pengaruh pemikiran Plato dan Aristoteles yang mengaitkan politik dan moral (etika), akhlak atau budi pekerti. Dari kecenderungan hidup bermasyarakat inilah lahir berbagai macam kelompok sosial, sehingga berujung pada membentuk yang namanya kota dan negara.
Masalah kemasyarakatan banyak dibicarakannya dalam karya-karyanya, di antaranya al-Siyâsah al-Madaniyah (Politik Kekotaan; Politik Kenegaraan) dan Ārâ’ Ahl al-Madȋnah al-Fâdhilah (Pikiran-pikiran Penduduk Kota/Negara Utama). Buku Ārâ’ Ahl al-Madȋnah al-Fâdhilah mirip dengan buku The Republic karya Plato, dan banyak memuat pikiran-pikiran aliran Platonisme, di samping memuat aliran Neo Platonisme.
Tak dapat dipungkiri dalam soal kemasyarakatan, di antara filsuf-filsuf Yunani, hanya Plato-lah yang sangat berpengaruh di kalangan filsuf Islam. Dalam buku tersebut, al-Farabi membagi negara kepada dua kelompok, yaitu Negara Utama (al-Madȋnah al-Fâdhilah) dan Lawan Negara Utama (Mudaddah al-Madȋnah al-Fâdhilah). Dalam pandangan al-Farabi, sebagaimana dinyatakan oleh Plato, bahwa bagian suatu negeri berkaitan erat satu sama lainnya dan saling bekerja sama, ibaratkan anggota badan.
Al-Farabi menganalogikan pemerintahan yang ideal seperti sistem kerja masing-masing bagian tubuh manusia. Apabila salah satunya mengalami kesakitan, maka anggota badan lainnya akan ikut merasakan pula. Setiap anggota badan mempunyai fungsi yang berbeda-beda, dengan kekuatan dan tingkat kepentingan yang tidak sama. Keseluruhan anggota tubuh yang beragam ini dipimpin oleh satu anggota yang paling penting, yaitu hati atau akal (Muhammad Iqbal, 2015: 11).
Hati (al-qalb) merupakan salah satu anggota badan yang paling baik dan sempurna. Demikian juga halnya dengan Negara Utama. Ia mempunyai masing-masing warga negaranya dengan fungsi dan kemampuan yang tidak akan terwujud dengan sempurna, kecuali apabila ada pembagian kerja yang berbeda, skill dan kecakapan anggotanya dengan dijiwai oleh rasa solid friendship dan team work yang baik dengan dipimpin oleh seorang Kepala Negara, seperti halnya hati memimpin seluruh anggota badan.
Kepala negara merupakan sumber seluruh aktivitas, sumber peraturan, dan keselarasan hidup.Oleh karena itu, bagi al-Farabi yang paling ideal sebagai kepala negara ialah nabi atau rasul atau filsuf. Tugas kepala negara, selain mengatur negara, juga sebagai pengajar dan pendidik terhadap anggota masyarakat yang dipimpinnya. Kalau sekiranya tidak ada kepala negara yang memiliki sifat-sifat kepala negara seperti di atas, maka negara harus diserahkan kepada mereka yang dipandang mampu memimpin masyarakat.
Inilah yang kemudian yang dimaksudkan oleh al-Farabi dengan al-Madȋnah al-Fâdhilah sebagai kerangka etis dasar sebuah negara.
Daftar Bacaan:
Al-Farabi. t.th. Ārâ’ Ahl al-Madȋnah al-Fâdhilah. Mesir: Maktabah Matba’ah Muhammad Ali.
Hanafi, Ahmad. 1969. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Iqbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution. 2015. Pemikiran Politik Islam; dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana.
Muthhar, Moh. Asy’ari. 2018. The Ideal State; Perspektif Al-Farabi tentang Konsep Negara Ideal. Yogyakarta: IRCiSod.
Zar, Sirajuddin Zar. 2010. Filsafat Islam; Filsuf dan Filsafatnya. Jakarta: Rajawali Press.