Secara keilmuan, Imam al-Ghazâlî dikenal sebagai Hujjatul Islam, pemimpin para fakih dan para sufi, filsuf, dan bahkan mujadid abad ke-5 Hijriah. Menurut Habib Zein bin Smith, para ulama sepakat bahwa Imam al-Ghazâlî adalah mujadid abad ke-5 Hijriah (Al-Manhaj as-Sawiyy Syarḥ Uṣûl Ṭarîqah as-Sâdah Âli Bâ‘Alawiyy, 2005: 412). Sayyid Husein bin Muḥammad Assegaf menyebutkan lima nama mujadid dari 100 tahun pertama hingga 100 tahun kelima, yaitu: Sayyidina ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz (100 tahun pertama); Imam asy-Syâfi‘î (100 tahun kedua); Imam al-‘Asy‘arî atau Imam Ibnu Suraij (100 tahun ketiga); Imam Isfarâyînî (100 tahun keempat); dan Hujjatul Islam Imam al-Ghazâlî (100 tahun kelima) (lihat pengantar Minhâj al-‘Âbidîn karya Imam al-Ghazâlî, penerbit Dâr al-Minhâj Beirut, 2016: 15).
Guru Besar Masjidil Haram (Sayyid ‘Ulamâ’ al-Ḥijâz), Imam Muḥammad Nawawî al-Jâwî, menjelaskan bahwa Ḥujjah al-Islâm adalah gelar yang diberikan kepada orang yang mengetahui dan hapal hadis melebihi orang yang bergelar al-Ḥâfiẓ dan al-Ḥâkim. Al-Ḥâfiẓ adalah orang yang mengetahui dan hapal seratus ribu hadis, dan al-Ḥâkim adalah orang yang mengetahui dan hapal tiga ribu hadis. Dalam hal ini, Ḥujjah al-Islâm hanya menfatwakan sebagian kecil dari sekian ratus ribu hadis yang diketahui dan dihapalkannya kepada masyarakat (Syarḥ Marâqiyy al-‘Ubûdiyyah, hlm. 2).
Secara spiritual, Imam al-Ghazâlî dikenal sebagai wali terkemuka yang memiliki kedudukan sangat agung dalam Islam. Imam Abû al-Ḥasan ‘Alî asy-Syâżilî (pemimpin para wali dan sufi sekaligus pendiri Tarekat asy-Syâżiliyyah) pernah bermimpi Rasulullah saw. membanggakan Imam al-Ghazâlî di hadapan Nabi ‘Isa as. dan Nabi Musa as. seraya berkata: “Adakah di antara umat kalian berdua orang yang seperti dia (al-Ghazâlî)?” Mereka menjawab: “Tidak ada” (Syekh Yûsuf bin Ismâ‘îl an-Nabhânî, Jâmi‘ Karâmât al-Awliyâ’, I, 2001: 181).
Menurut Habib ‘Abdillâh bin Muḥsin al-‘Aṭṭâs, kedudukan Imam al-Ghazâlî di antara para wali atau para ulama adalah seperti kedudukan Rasulullah saw. di antara para nabi. Sementara Imam an-Nawawî adalah quṭub–nya para ulama fikih (fuqahâ’). Sebagian ulama berpendapat bahwa seandainya pasca-Rasulullah saw. ada kenabian lagi, maka niscaya Allah mengutus Imam al-Ghazâlî sebagai nabi, dan menjadikan kitab-kitabnya sebagai mukjizatnya. Imam Abû al-Ḥasan ‘Alî asy-Syâżilî berkata kepada para sahabatnya: “Barangsiapa memiliki hajat tertentu kepada Allah, maka bertawasullah dengan Imam al-Ghazâlî raḍiyallâh ‘anhu” (al-Manhaj as-Sawiyy, hlm. 249 & 412).
Makanya, tidak heran jika Imam al-Ghazâlî merupakan salah satu ulama dan wali terkemuka dari kalangan mazhab asy-Syâfi‘î yang memiliki karomah bisa bertemu dan berkumpul dengan Rasulullah saw. dalam keadaan terjaga (Imam Ibnu Ḥajar al-Haitamî, Al-Fatâwâ al-Ḥadîśiyyah, penerbit Dâr al-Ma‘rifah Beirut, hlm. 297). Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan Imam al-Ghazâlî melakukan kontak secara langsung dengan Rasulullah saw. ketika menulis kitab Iḥyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn terutama ketika berhadapan dengan hadis-hadis tertentu.
Menurut Imam Mâlik (tokoh utama mazhab Mâlikî), ilmu bukan karena banyak meriwayatkan sesuatu. Namun, ilmu adalah cahaya yang dituangkan oleh Allah swt. ke dalam hati. Dalam hal ini, seseorang pernah bertanya sesuatu kepada Syekh Aḥmad ar-Ramlî yang sedang menunggangi bagal. Syekh Aḥmad ar-Ramlî kemudian menundukkan kepalanya menghadap ke bumi sembari menoleh ke kanan dan ke kiri. Akhirnya, beliau mengangkat kepalanya dan menjawab pertanyaan tersebut (Al-Manhaj as-Sawiyy, hlm. 464 & 466).
Ketika ditanya mengenai perbuatannya tersebut, Syekh Aḥmad ar-Ramlî menjawab: “Ketika Anda bertanya perkara itu kepada saya, saya tidak mengetahui jawabannya. Saya kemudian muthalaah berbagai literatur keislaman, baik yang ada di barat maupun di timur. Namun, saya tidak menemukan jawaban dalam literatur-literatur tersebut. Saya pun melihat di al-lawḥ al-maḥfûẓ, tetapi tetap tidak menemukan jawaban. Akhirnya, hati saya mengabarkan jawaban itu dari Tuhan saya” (hlm. 466). Dalam tradisi tasawuf, ilmu semacam ini dikenal dengan istilah ilmu ladunnî, yaitu pengetahuan yang dituangkan langsung oleh Allah ke dalam hati para kekasih(wali)-Nya, yang tidak terhimpun dalam buku-buku dan juga tidak bisa dipelajari (Habib Zein bin Smith, al-Fawâ’id al-Mukhtârah, 2008: 51-52).
Adapun terkait dengan hadis-hadis dalam Iḥyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, maka dalam perspektif ulama hadis memiliki kedudukan yang berbeda-beda, seperti sahih, ḥasan, dan ḍa‘îf. Keterangan ini bisa dijumpai dalam syarah Iḥyâ’ (seperti Itḥâf as-Sâdah al-Muttaqîn karya Imam Murtaḍâ az-Zabîdî) dan ta‘lîq hadis yang ada dalam Iḥyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn. Perbedaan kedudukan hadis-hadis dalam Iḥyâ’ tersebut tentu dipengaruhi oleh kualitas sanad yang berbeda-beda. Namun demikian, secara spiritual Imam al-Ghazâlî pernah mempertanggungjawabkan validitas hadis-hadis itu, yaitu bahwa semua hadis dalam Iḥyâ’ adalah bersumber dari Rasulullah saw.
Dalam hal ini, Syekh Ibnu Ḥirâzim pernah menuduh dan memaki Imam al-Ghazâlî sembari melarang orang-orang membaca kitab Iḥyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn. Akhirnya, Syekh Ibnu Ḥirâzim bermimpi didatangi Imam al-Gazâlî, dan kemudian dibawa menghadap Rasulullah saw. Imam al-Ghazâlî mengadukan sikap Syekh Ḥirâzim tersebut kepada Rasulullah saw. seraya berkata: “Ya Rasulullah, inilah orang yang menuduh saya bahwa saya mengatakan sesuatu (hadis) atasmu yang tidak engkau katakan.”
Mendengar hal itu, Rasulullah saw. menyuruh Imam al-Ghazâlî mencambuk Syekh Ibnu Ḥirâzim. Imam al-Ghazâlî pun melaksanakan perintah Rasulullah saw. tersebut. Ajaibnya, bekas cambukan itu masih ada di tubuh Syekh Ibnu Ḥirâzim meskipun sudah terjaga. Keesokan harinya, Syekh Ibnu Ḥirâzim memperlihatkan bekas cambukan itu kepada teman-temannya (Jâmi‘ Karâmât al-Awliyâ’, hlm. 180-181).
Mimpi Syekh Ibnu Ḥirâzim yang bertemu Imam al-Ghazâlî dan Rasulullah saw. tersebut adalah benar. Sebab, hadis sahih menyebutkan bahwa: “Barangsiapa melihatku dalam mimpi, maka dia sungguh telah melihatku secara nyata. Karena sesungguhnya setan tidak bisa menyerupaiku.” Berdasarkan hadis ini, para ulama sepakat bahwa bermimpi Rasulullah saw. adalah benar adanya, karena setan tidak bisa menyerupai Rasulullah saw. (Syekh Yûsuf bin Ismâ‘îl an-Nabhânî, Wasâ’il al-Wuṣûl ilâ Syamâ’il ar-Rasûl saw., 2002: 368-370 dan Ḥasan Muḥammad Syaddâd, Magnâṭîs al-Qabûl fî al-Wuṣûl ilâ Ru’yah Sayyidinâ ar-Rasûl Muḥammad saw., hlm. 8 & 18).
Selain itu, kisah Syekh Ibnu Ḥirâzim tersebut menunjukkan beberapa hal: pertama, Syekh Ibnu Ḥirâzim telah melakukan fitnah dan pencemaran nama baik bahwa beberapa hadis dalam Iḥyâ’ tidak bersumber dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, dia harus dihukum cambuk karena telah merusak kehormatan Imam al-Gazâlî.
Dalam Islam, memelihara kehormatan (ḥifẓ al-‘irḍ) merupakan aspek yang sangat penting karena merupakan salah satu tujuan syariat Islam (maqâṣid asy-syarî‘ah). Allah berfirman: “Dan sungguh, Kami telah Memuliakan anak cucu Adam” (al-Isrâ’ (17): 70). Makanya, tidak heran jika pencemaran nama baik merupakan salah satu tindak pidana yang dapat dikenakan hukuman (ta‘zîr) dalam hukum pidana Islam/fikih jinayah (Nur Sa’idatul Ma’nunah, “Pencemaran Nama Baik Melalui Media Sosial Perspektif Hukum Islam”, al-Jinâyah, Volume 3, Nomor 2, Desember 2017).
Kedua, kisah tersebut menegaskan pembelaan Imam al-Ghazâlî bahwa semua hadis yang ada dalam Iḥyâ’ adalah benar (sahih) karena bersumber dari Rasulullah saw. Beliau mengonfirmasi semua hadis tersebut kepada Rasulullah saw. di hadapan Syekh Ibnu Ḥirâzim. Rasulullah saw. pun menyuruh Imam al-Ghazâlî mencambuk Syekh Ibnu Ḥirâzim sebagai sebuah hukuman. Hal ini menunjukkan bahwa semua hadis dalam Iḥyâ’ adalah bersumber dari Rasulullah saw. Sebab, jika tuduhan Syekh Ibnu Ḥirâzim benar bahwa beberapa hadis dalam Iḥyâ’ bermasalah atau bahkan ada yang tidak bersumber dari Rasulullah saw., maka tidak mungkin Rasulullah saw. menghukum Syekh Ibnu Ḥirâzim.
Dengan demikian, tidak heran jika, misalnya, ada beberapa sufi yang menganggap semua hadis dalam kitab Iḥyâ’ adalah sahih. Imam Ibnu an-Najjâr menyebutkan bahwa Imam al-Ghazâlî tidak memiliki guru pembimbing dan juga tidak mengulik hadis dari kitab manapun sewaktu menulis Iḥyâ’. Pernyataan ini menunjukkan bahwa seluruh isi kitab Iḥyâ’ merupakan ilham dari Allah yang dituangkan dalam hati dan pikiran Imam al-Ghazâlî (lihat pengantar Badawî Aḥmad Ṭabânah, al-Ghazâlî wa Iḥyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, dalam Iḥyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, penerbit Dâr Iḥyâ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah Mesir, hlm. 23-24). Sehingga beliau bisa mengetahui atau mengingat ajaran-ajaran Islam (baik ibadah, muamalah, akhlak, maupun suluk) yang pernah dipelajari sebelumnya dalam literatur-literatur keislaman, baik Al-Qur’an, hadis, aśar, maupun karya-karya para ulama.
Menurut saudara penulis, Fahmi Saifuddin (santri Darul Musthofa tahun 2014-2018), Habib Umar bin Hafiz (Pengasuh Darul Musthofa) pernah menyebutkan bahwa semua hadis dalam Iḥyâ’ adalah sahih. Pernyataan ini disampaikan ketika beliau mengisi kajian kitab Iḥyâ’ di Jalsah Arbi‘â’ di Darul Musthofa, Tarim, Yaman, seraya berkata: “fa wajadnâ kullahâ ṣaḥîḥah” (kami menjumpai semua sunah/hadis dalam Iḥyâ’ adalah sahih). Dalam hal ini, beliau tentu memiliki standar tersendiri dalam menilai hadis-hadis dalam Iḥyâ’, baik secara ilmu hadis maupun secara spiritual. Apalagi keilmuan dan kedudukan Habib Umar bin Hafiz sudah tidak diragukan lagi dalam dunia Islam masa sekarang, baik sebagai ulama, sufi, maupun dai. Menurut laporan The Royal Islamic Strategic Studies Centre dalam The Muslim 500: The World’s 500 Most-Influential Muslims, Habib Umar bin Hafiz merupakan salah satu tokoh Muslim Sunni yang paling berpengaruh di dunia. Wa Allâh A‘lam wa A‘lâ wa Aḥkam…