Idzatun Nasyi’in adalah judul buku yang ditulis Syekh Musthafa al-Ghalayaini (1886-1944), seorang pembaharu asal Beirut, dan banyak berguru pada seorang pembaru di mana dalam dunia Islam sendiri dikenal sebagai pembaru pemikiran Islam, Muhammad Abduh (1849-1905).
Idzatun Nasyi’in sendiri berisi tentang bimbingan untuk generasi muda Muslim dan nasihat-nasihat, serta arahan bagi generasi muda agar menjadi pribadi-pribadi yang tangguh dalam menjalani dan menyongsong masa depan yang penuh tantangan seperti saat ini.
Memiliki nama lengkap Musthafa bin Muhammad Salim al-Ghalayaini, lahir di Beirut dari keturunan al-Fawayid, suatu suku dari al-Huwaithat yang menempati antara Aqabah dan sebagian di daerah Hijaz. Al-Ghalayaini sendiri dalam kiprahnya dikenal sebagai seorang ulama besar, ahli bahasa, ahli hukum, wartawan, penceramah, dan pakar sastra.
Selain itu, banyak sekali predikat dan gelar yang disematkan pada ulama yang memiliki pandangan moderat bertaraf internasional ini, mulai dari seorang sastrawan, penulis, penyair, urator, linguistik, politikus, kolomnis, hingga seorang wartawan.
Meksi demikian, sudah barang tentu, bagi sebagian kalangan para peminat dan pengkaji pemikiran Islam kontemporer di Indonesia, nama Musthafa al-Ghalayaini kalah populer dengan nama-nama seperti, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad abduh, Rasyid Ridha, Said Nursi, Muhammad Iqbal, dan Fazlur Rahman, serta pemikir terkenal lainnya.
Di beberapa pondok pesantren dan madrasah di Indonesia yang saya temui, kitab Idzatun Nasyi’in karya Musthafa al-Ghalayaini ini menjadi bahan ngaji dan kajian. Di samping beberapa karya lain memiliki muatan sastra seperti, Jami’ al-Durus al-Arabiyah yang membahas tentang permasalahan tata bahasa Arab dan Lubib al-Khiyar fi Sirah al-Nabi al-Mukhtar yang membahas sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw.
Dan, ini sangat unik dan menarik, kita tahu pondok pesantren dan madrasah ada semacam ketidakberterimaan dan keengganan memberikan pengajaran dari karya tokoh-tokoh yang memiliki paham modernis murni atau rasionalitas. Sebagaimana kita ketahui pemikiran pembaharuan al-Ghalayaini dalam Idzatun Nasyi’in lebih banyak dipengaruhi pemikiran Muhammad Abduh ketimbang pemikiran tokoh-tokoh teologi dan sufi al-Ghazali.
Misalnya, pemikiran rasionalitas Abduh dalam Idzatun Nasyi’in sangat kentara. Hal semacam ini sangat tampak ketika membahas tema pemikiran pembaharuan, kemerdekaan, rakyat, dan pemerintah di mana lebih menekankan kebebasan berpikir, berpendapat, serta bernegara.
Sementara pengaruh pemikiran al-Ghazali tampak menonjol dari kutipan-kutipan yang digunakan ketika menarasikan terkait anak didik dengan menyajikan gaya orasi dengan berbagai poin yang menjadi tema pokok sekaligus dilengkapi dengan solusi dan langkah ke depan agar lebih baik.
Oleh karenanya, muatan atau kandungan dalam Idzatun Nasyi’in tak memuat spesifikasi persoalan fikih, sastra, dan apalagi filsafat pada umumnya. Secara ringkas Idzatun Nasyi’in ini dapat dikatakan hanya sebagai wadah penuh ibarat, tamsil, dan perumpamaan serta petunjuk baik, nasihat dan petuah yang sangat penting bagi generasi muda Islam, atau dalam bahasa zaman now, generasi milenial.
Sebagaimana judulya, idzatun nasyi’in yang oleh banyak kalangan diartikan sebagai bimbingan generasi muda menjadi sorotan utama al-Ghalayaini. Diakui atau tidak, dari dulu hingga ini masalah generasi muda Islam masih belum selesai-selesai dengan watak sektarian di mana generasi muda masih tak bisa melepaskan diri dari belenggu-belenggu kelompok dan golongan yang dianutnya, sehingga tak jarang sikap kemanusiaan sering terabaikan dan dikorbankan.
Selain itu, masalah terbesar generasi muda adalah juga terkait sikap keberagamaan dan kemanusiaan, tak adanya sikap saling memahami antara generasi muda dan generasi tua (egoisme), antara keduanya sama-sama saling mengeluh terkait sikap dan identitas masing-masing.
Figur-figur sentral dan payung suara yang bisa menggayomi kepada pemahaman bersama, untuk saat ini masih sangat minim dan lemah, segala harapan, penderitaan, serta kebinggungan, bahkan ide-ide generasi muda saat ini tenggelam dalam kebisingan kehidupan sehari-hari. Sehingga generasi muda rentan dan tak mau serta memilih tak terikat dengan norma-norma agama dan akhlak sebagai pegangan hidup.
Maka dalam hal ini, tak salah dan kelirunya kalau kita mau simak nasihat al-Ghalayaini, “Berpegang teguhlah wahai para pemuda kepada agamamu, jangan biarkan orang-orang mengaku memeluk agamamu, tetapi enggan untuk menyiar-nyiarkannya. dengan melaksanakan nasihat-nasihat di atas semoga kalian dapat mencapai dua macam kebahagian dan dua macam kebaikan”.
Setelah berpegang teguh pada norma-norma agama, bagi al-Ghalayaini, generasi muda harus memiliki apa yang namanya personal skill atau kecakapan personal dan self awareness atau kecakapan mengenal diri sendiri.
Kedua bekal ini sangat penting bagi setiap generasi muda Islam dalam menjalani kehidupan. Karena dengannya, bisa menghadapi dan memecahkan segala pemasalahan kehidupan secara wajar tanpa ada rasa tekanan serta aktif, proaktif dan kreatif dalam menjalani aktivitas hidup.
Selain itu, pandangan al-Ghalayaini yang harus dilakukan generasi muda Islam agar suka bekerja dan berkarya, guna mendapat segala sesuatu yang diperlukan untuk kehidupannya, juga mengusahakan dari apa saja yang ada di segenap penjuru bumi, agar mendapatkan dan mengambil, serta memberi kemanfaatan dan keuntungan yang bisa digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri serta kepentingan keseluruh bangsa. Dengan demikikan seluruh masyarakat akan menikmatinya.
Sebenarnya masalah generasi muda ini dalam konteks keindonesiaan pernah disinggung dan bahkan dikritik keras oleh Gus Dur atau Abdur Rahman Wahid di salah satu makalah yang ditulis 1986, berjudul, “Generasi Muda Islam dan Masa Depan Bangsa Indonesia”.
Dalam makalah ini, Gus Dur menyebut generasi muda Islam Indonesia masih “berwatak sektarian” yang hingga kini belum mampu melepaskan diri dari belenggu dan belitan kelompok dan golongan mereka. Dan, generasi muda Islam juga, dianggap belum mampu menemukan wajah asli Islam Indonesia.
Kalau kita tarik nasihat al-Ghalayaini dan kritik Gus Dur di atas pada fenomena yang terjadi di tengah-tengah kita akhir-akhir ini adalah semangat dan gairah generasi muda Islam dalam mendalami dan menampilkan tema-tema keislaman, tetapi belum menemukan wajah keislamannya.
Memang, harus diakui obrolan generasi muda Islam yang muncul di ruang publik, terutama media sosial tak jauh-juah di sekitaran tema-tema keislaman. Sikap beragama kita akhir-akhir ini lebih pada sikap “ogah”, “nyiyir”, bahkan ada yang menyebut belum mendapat “hidayah” untuk mereka yang bukan menjadi bagiannya.
Pada akhirnya, melalui pemikiran al-Ghalayaini ini sejenak kita diajak untuk menenggok dan memikirkan kembali gerasi muda saat ini pada sejarah umat Islam, di mana Nabi telah memberi contoh, serta membina generasi muda maupun generasi tua. Kemudian, perlu memahami karakter generasi muda dan tujuan mereka yang mungkin termanifestasi dalam berbagai hal. Sebab tujuan dari generasi muda mencari jati diri dan harapan masa depan.