Ibnu Abi Rabi’: Penggagas Utama Pemikiran Politik Islam dalam Sulûk al-Mâlik fi Tadbȋr al-Mamâlik

Jauh sebelum kepopuleran para pemikir Barat dalam bidang pemikiran politik pasca-renainssance, para pemikir Islam terlebih dahulu sudah memperkenalkan bangunan kerangka pemikiran tentang politik. Dalam pandangan sebagian para pemikir Barat menilai bahwa para pemikir Muslim merupakan pioner etika dan pemikiran filsafat, namun tidak ada sumbangsih penting dan jelas dalam bidang pemikiran politik.

Bahkan, agama dan peradaban Islam tidak mempunyai konsep pemikiran politik apa pun. Pandangan ini tentu merupakan kekeliruan besar dan perlu diluruskan kembali. Sebab, masyarakat Eropa pada abad ke-16 dan abad-17 belum mengetahui secara konkret dan universal karakteristik atau tipikalitas pemikiran politik umat Islam. Di bawah pemerintahan Bani Abbasyiah, dunia ilmu pengetahuan mengalami masa keemasan, terutama dalam dua ratus tahun pertama dari kekuasaan dinasti tersebut. (M. Yunan Yusuf, 2014: 82)

Atas dukungan dari para penguasa masa itu, kegiatan para ilmuan dari berbagai cabang ilmu amat meningkat. Dengan demikian, perkenalan para pemikir Muslim dengan alam pikiran Yunani makin meluas dan mendalam. Yang pada akhirnya akan memunculkan perhatian dan kecenderungan di kalangan para intelektual Islam untuk mempelajari masalah-masalah kenegaraan secara rasional, dan kemudian lahirlah sejumlah pemikir Islam yang mengemukakan gagasan atau konsepsi politiknya melalui karya tulis.

Pemikir Islam pertama yang menuangkan gagasan atau teori politiknya dalam suatu karya tulis adalah Ibnu Abi Rabi’, yang hidup di Baghdad semasa Khalifah al-Mu’tashim, khalifah Bani Abbasyiah ke-8, putra dari Khalifah Harun ar-Rasyid dan yang menggantikan kakaknya, yaitu al-Makmun. Setelah Ibnu Abi Rabi’, barulah menyusul generasisetelahnya, seperti al-Farabi, al-Mawardi, al-Ghazali, dan Ibnu Taimiyah. Dari merekalah sekiranya dapat kita anggap sebagai founding person yang mewakili pemikiran politik di dunia Islam pada abad Klasik dan pertengahan (Muhammad Iqbal, 2015: 5).

Baca Juga:  Thariqah Ajaran Agama yang Paling Subtil Bagi Sayyed Hossein Nasr

Ibnu Abi Rabi’ bernama lengkap Syihabuddin Ahmad bin Abi Rabi’. Barangkali tidak banyak yang kita ketahui tentang riwayat lengkap Ibnu Abi Rabi’ ini, selain ia merupakan seorang penulis buku pemikiran filsafat politik pertama, yaitu Sulûk al-Mâlik fi Tadbȋr al-Mamâlik (Perilaku Raja dalam Pengelolaan Kerajaan).

Pemikiran politiknya banyak dipengaruhi oleh Plato dan Aristoteles. Hal tersebut terlihat dari isi karyanya yang banyak mengutip dari pemikiran politik Plato dan Aristoteles yang ia sesuaikan dengan pemikiran politik Islam. Ibnu Abi Rabi’ berpandangan bahwa manusia membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhan alaminya. Ia tidak mungkin memenuhinya sendiri.

Maka dari itu, sebagian manusia membutuhkan sebagian lainnya. Saling ketergantungan ini menyebabkan sebagian besar mereka berkumpul di satu tempat untuk melakukan transaksi. Mereka kemudian mendirikan kota sebagai tempat melakukan barter. Sebenarnya, Plato pernah mengemukakan pemikiran seperti ini sebelumnya, yakni ketika ia berbicara tentang pembentukan negara atau kota. Namun, Ibnu Abi Rabi’ berbeda dengan Plato tentang watak manusia.

Bagi Ibnu Abi Rabi’ watak manusia cenderung untuk bermasyarakat, yakni manusia adalah makhluk sosial dan berbudaya. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Aristoteles dalam bukunya Politics. Namun, yang membedakannya dengan Plato dan Aristoteles adalah Ibnu Abi Rabi’ memasukkan unsur-unsur Ketuhanan ke dalam pemikirannya tentang politik. Ibnu Abi Rabi’ berpandangan bahwa kecenderungan yang alami ini diciptakan Allah untuk manusia, yakni Allah memberikan tabiat ini. (Ali Abdul Mu’ti, 2010: 339)

Ia berpendapat bahwa Allah menetapkan berbagai aturan untuk ditaati manusia. Aturan ini terdapat dalam Al-Qur’an yang menghimpun setiap hukum dan ketentuan Ilahiyah. Selain itu, ia berpendapat bahwa Allah telah mengangkat pemimpin-pemimpin yang bertugas menjaga pemberlakuan aturan-aturan-Nya itu dan yang bertindak seiring dengannya. Selanjutnya, Ibnu Abi Rabi’ menyinggung soal pengelola negara, yakni yang memimpin, mengurus, dan mengelola negara dan rakyat.

Baca Juga:  Inilah Inti dari Syariat Puasa

Alasannya, tidak mungkin sebuah negara berdiri tanpa pemimpin atau pengelola yang melindungi rakyat dari gangguan dan bahaya yang muncul di antara mereka sendiri. Sebab, seorang yang hendak melarang atau memerintah orang lain dari berbuat sesuatu dan memerintahkan warga lain untuk berbuat sesuatu haruslah orang yang dapat memberikan contoh terlebih dahulu.

Sejalan dengan pandangan Plato, Ibnu Abi Rabi’ juga berpandangan bahwa sebaiknya penguasa atau pemimpin tersebut seorang yang dimuliakan di negara atau kota itu. Dari sekian banyak bentuk pemerintahan, ia lebih memilih monarki atau kerajaan di bawah pimpinan seorang raja atau penguasa tunggal, sebagai bentuk yang terbaik. Alasan utamanya adalah dengan banyak kepala, maka politik negara akan kacau dan sukar membina persatuan. (Ali Abdul Mu’ti, 2010: 341)

Ia menolak bentuk-bentuk lain seperti aristokrasi, oligarki, demokrasi, bahkan demagogi, yang mana apabila para warganya memanfaatkan hak-hak politiknya yang diberikan oleh negara secara tidak bertanggung jawab, yang kemudian memicu kekacauan. Ibnu Abi Rabi’ menetapkan dasar bagi otoritas dan hak istimewa raja dari ajaran agama. Ia mengatakan, Allah telah memberikan keistimewaan kepada para raja dengan segala keutamaan, telah memperkokoh kedudukan mereka di bumi-Nya.

Ia berpedoman kepada dua ayat Al-Qur’an, yaitu QS. al-An’am: 165 dan QS. An-Nisaa: 59. Dari pernyataan tersebut, terlihat bahwa menurut Ibnu Abi Rabi’ dasar kekuasaan dan otoritas raja adalah mandat dari Tuhan. Tentang siapa yang berhak menjadi raja, ia mengemukakan enam syarat yang harus dimiliki oleh seseorang untuk dapat menjadi raja, yaitu:

(1) Paternalistik, yakni termasuk keluarga raja, dan mempunyai hubungan nasab yang dekat dengan raja sebelumnya, (2) Aspirasi yang luhur, (3) Pandangan yang tepat dan kuat, (4) Ketahanan dalam menghadapi kesukaran/tantangan, (5) Memiliki kekayaan yang besar, dan (6) Memiliki pembantu-pembantu yang setia (Ali Abdul Mu’ti, 2010: 344-345). Namun, yang agak unik darinya, ia tidak menjadikan keturunan Quraisy sebagai sebagai salah satu syaratnya.

Baca Juga:  Semua Hal tentang Tuhan adalah Mutlak

Menurutnya, cukup kalau calon raja itu seorang anggota keluarga dekat dengan raja sebelum dia. Alasannya ini mungkin disebabkan oleh karena Dinasti Abbasyiah semasa pemerintahan Khalifah al-Mu’tashim masih terlihat kuat. Sehingga, tidak terpikirkan kekuasaan kepala negara dapat jatuh ke pihak lain di luar Bani Abbasiyah. Begitupun, ia tidak menyinggung pula mekanisme pengangkatan dan pemakzulan kepala negara, sehingga berpotensi menumbuhkan bibit-bibit otoritarianisme di dalam politik Islam.

Daftar Bacaan:

Iqbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution. 2015. Pemikiran Politik Islam; Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Prenadamedia Group.

Muhammad, Ali Abdul Mu’ti. 2010. Filsafat Politik antara Barat dan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.

Yusuf, M. Yunan. 2014. Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam; dari Khawarij ke Buya Hamka hingga Hasan Hanafi. Jakarta: Prenadamedia Group.

 

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Derita itu Bahagia?

Bil Hamdi Mahasiswa Filsafat Islam STFI Sadra Manusia akan menemui beragam peristiwa dalam perjalanan hidupnya. Kebahagiaan, penderitaan, tawa…