Dzun Nun Al-Mishri dan Teori Makrifat

Dalam sejarah perkembangan tasawuf, abad ketiga Hijriyah memiliki karakteristik yang berbeda dengan dua abad sebelumnya. Pada abad ini mulai digulirkan konsep-konsep tawasuf yang belum dikenal sebelumnya, yang kemudian disusul dengan penyusunan prinsip-prinsip teoritis dari konsep-konsep tersebut. Lebih dari itu, mulai disusun pula konsep tentang aturan-aturan praktik bagi aliran tasawuf dan lahirnya bahasa simbol khusus yang membedakan antara satu aliran dengan aliran lainnya.

Oleh karena itu, abad ketiga hijiriyah ini bisa disebut sebagai awal tersusunnya ilmu tasawuf, dalam arti luas semakin berkembangnya konsep-konsep teori tawasuf. Mulai dari abad ini, menurut pada peneliti tasawuf, tasawuf lebih berfungsi sebagai jalan mengenal Allah yang semula hanya sebagai jalan beribadah kepada Alla Swt.

Salah satu tokoh tasawuf di abad iini adalah Dzun Nun al-Mishri, yang oleh sebagain orang kemudian dikatakan sebagai Bapak Tasawuf yang meletakkan dasar-dasar ilmu tasawuf. Nama lengkapnya adalah Abu al-Fayd Tauban bin Ibrahim bin Ibrahim bin Muhammad al-Anshari (772 860 M.) yang dijuluki Sahib al-Hut (Pemilk Ikan).  Ia lahir di Ikhkim atau Akhmim, di tepi Timur sungai Nil Mesir, yang dulunya dikenal dengan Panopolis.

Menurut pendapat Ibnu Khalikan ia guru Dzun Nun al-Mishri dalam bidang tasawuf adalah Syaqran al-Abid dan menurut al-Jamii gurunya adalah Israfil al-Maghribi. Dalam perjalanan hidupnya Dzun Nun al-Mishri pernah dituduh sebagai orang zindiq oleh penduduk Mesir karena menyembunyikan ketakwaannya dan memperlihatkan dirinya yang menganggap remeh syariat di hadapan banyak orang.

Karena hal ini pula ia pernah dihadapkan kepada khalifah  al-Mutawakkil di Baghdad. Ketika ia menghadap kepada khalifah, ia justru menasehatinya hingga sang khalifahpun menangis, Ia pun dikembalikan ke Mesir. Setelah itu, setiap kali disebutkan orang-orang soleh di hadapan khalifah selalu yang tebayang pertama kali adalah Dzun Nun al-Mishri.

Baca Juga:  Maqām ‘Abd : Puncak Keislaman Insan

Dzun Nun al-Mishri dikenal sebagai tokoh sufi yang mengembangkan teori tentang makrifat. Makifat dalam pengertian sufistik memiliki pengertian yang berbeda dengan istilah al-ilm, yakni sesuatu yang bisa diperoleh melalui jalan waktu dan proses pembelajaran. Sedangkan makrifat dalam pengertian sufi lebih diartikan sebagai salah satu metode untuk mencapai tingkatan spiritual. Sebagaimana diketahui golongan sufi umumnya membedakan jalan sufistik menjadi tiga macam: Pertama, makhafah (jalan kecemasan dan penyucian diri seperti Hasan al-Bashri). Kedua, mahabbah (jalan cinta, pengorbanan dan penyucian diri seperti Rabi’ah al-‘Adawiyah). Ketiga, makrifah, yaitu jalan pengetahuan.

Hakikat Makrifah bagi Dzun al-Nun al-Mishri adalah al-Haq itu sendiri, yaitu cahaya hati seseorang arif dengan anugrah dari-Nya sanggup melihat realitas sebagaimana al-Haq melihatnya. Pada tingkatan makrifat, seorang arif akan mendapati penyingkatan hijab (kasyf al-hijab).

Dengan pengetahuan inilah, segala gerak seorang arif senantiasa dalam kendali dan campur tangah Allah. Ia menjadi mata, lidah, tangan, dan segala macam perbuatan dari Allah. Dzun Nun al Mishri menegaskan bahwa: “Aku makrifat pada Allah sebab Allah, andaikata bukan karena Dia, niscaya aku akan tidak makrifat kepada-Nya”.

Ia membagi makrifat menjadi tiga macam : Pertama, makrifat al-tauhid yaitu dokrin bahwa seorang mukmin bisa mengenal Allah, kerena memang demikian ajaran yang telah ia terima. Kedua, makrifah al-hujjah wal bayan yaitu makrifat yang diperoleh melalui jalan argumentasi, nalar dan logika. Ketiga, makrifat sifat al-wahdaniyah wa al-fardiyah yaitu makrifat kaum muqaraabin yang mencari Allah dengan pedoman cinta, sehingga yang diutamakan adalah ilham atau fadl (limpahan karunia Allah) atau kasyf (ketersingkapan tabir antara Allah dengan manusia). Karena pada tingktan ini, sebenarnya yang berbicara adalah hati dan bukannya akal.

Baca Juga:  Teladan Komunikasi dari Kisah Nabi Ibrahim
0 Shares:
You May Also Like