Ziarah ke Sebalik Sungai Amu Darya (Bagian 4)

Bus kami parkir di suatu titik di pinggir jalan raya yang cukup ramai. Sebenarnya ada suatu benteng besar kuno di belakang kami: Ark Citadel. Tapi, berjalan berlawanan dengan arah benteng, hanya beberapa ratus meter dari sana, suatu pemandangan memesona menyergap pandangan kami. Bangunan besar Nadir Divanbegi menjulang ke atas, dengan arsitektur berornamen Islam, yang biasa didapati di Iran, Turki, Afghanistan, dan daerah sekitarnya. Inilah bangunan madrasah yang merupakan mahakarya seorang perdana menteri Dinasti Asytarkhani abad 12, bernama Nadir, yang ingin meninggalkan warisan baik kepada generasi muda Uzbekistan, sebagai ganti “kegagalan”-nya  untuk memiliki anak yang bisa menjadi pewarisnya.

Ya, kami telah mulai memasuki jantung kota tua Bukhara. Di sekitarnya ada pula Kukuldash Madrassah, dan masjid. Semuanya tampil megah dan memesona. Di kanan kiri bangunan-bangunan itu—sesungguhnya di sekujur kota tua Bukhara—terdapat labirin gang-gang kecil berbatu yang berujung pada sisi lain area kota tua Bukhara ini. Menyusuri jalan utama di area itu kita dapati di kanan-kiri orang berjualan produk-produk tradisional. Ada yang menempati ruang-ruang bekas asrama siswa, ada juga yang sekadar menggelar lapak sederhana di pinggir jalan. Beberapa hotel butik yang eksotis juga menampilkan diri di kanan kirinya. Cafe-cafe pun, tentu saja. Semuanya menyimpan cerita masa lampau Bukhara—sebuah kota yang dibangun pada lebih dari 2000 tahun lalu.

Ada kesan pasar tua di Istanbul, Turki. Tapi, adalah nostalgia menyusuri area kota tua di sekitar Masjid Cordoba yang lebih segera terkembang. Indah, megah, tapi juga meruapkan aroma spiritual. Kadang jalanannya terbuka dan bermandikan sinar surya di mana-mana, tapi tiba-tiba menggelap ketika kita melewati terowongan-terowongan-penghubungnya. Pemandangan kuno yang hampir hampir sureal.

Baca Juga:  Rida Allah, Rida Orang Tua

Tapi, baiklah, sebelum sampai kepada cerita tentang Lyabi Hauz (Bibir Kolam) di area yang sama, baiklah saya sampaikan bahwa perjalanan saya menyusuri kota tua Bukhara ini sesungguhnya sekalian membawa rombongan kami bertemu Dovlat Tovshev Bo’ronovich, seorang pelukis istimewa Uzbekistan. Sampai di sana, saya sudah merasa iri, melihat sebuah bangunan serba kayu yang tak terlalu besar, tapi artistik, tempat galeri sang pelukis, sekaligus area untuk menjamu makan para tamu yang ingin melihat galeri karya-karyanya. Di tempat ini—bersama kedua anak perempuannya, yang dia latih untuk menjadi seniman sepertinya—ia melahirkan, dan memamerkan karya-karyanya.

Dolat dikenal sebagai seorang pelukis sufi. Bukan hanya di Uzbek, dia biasa diundang berpameran di mana-mana. Tak lama lagi galeri lukisannya akan dipamerkan di San Diego, AS. Lukisan-lukisannya tak ubahnya karya-karya lukis Islam Abad Pertengahan: Indah, sangat lembut dan mendetil, seraya menyampaikan pesan-pesan spiritual.

Ada lukisan yang diilhami kisah pencarian para burung akan pemimpin mereka—yang menyimbolkan kisah pencarian Tuhan—dengan menampilkan buah delima sebagai buah surga, sebagai sarana penyatuan manusia dengan Tuhan. Ada juga kaligrafi Surat Yasin yang berbentuk Mandala, dan banyak lagi. Dolat menceritakan semuanya kepada kami dengan penuh antusias, hingga amat puitis, malah. Sampai malam larut, dan kami harus pulang ke hotel… (bersambung)

0 Shares:
You May Also Like