Kotak Pandora dan Hantu-Hantu Sosmed di Poros Bencana Judi Online: Bapak-Bapak Penguasa. Masih Waraskah Anda Semua?

Sudah nyata bahwa, dari sebagian besar dana tak terkira besarnya—sebesar tak kurang dari 200 triliun, bahkan (kata Menkominfo) bisa mencapai 900 triliun jika dibiarkan terus merajalela—yang dihabiskan untuk judi online adalah justru dana orang susah atau pas-pasan. Di antaranya dua setengah juta orang miskin—yang main dengan dana 100 ribu rupiah atau kurang. Malah, sebagian cukup besarnya adalah dana yang dimasukkan ke dalam permainan setan ini oleh anak-anak mereka. Ya, anak-anak dari keluarga miskin.

Seingat saya dulu, ketika kecil saya senang dapat uang lebaran, tapi paling jauh kesenangan saya itu hanya terkait dengan keinginan beli permen atau mainan-mainan (murah). Kadang juga kita dapat uang sunat yang, biasanya ditambah oleh dana orang tua kita, kita pakai untuk beli sepeda. Yang pasti juga bukan yang harganya mahal-mahal.

Kenapa sekarang anak-anak begitu ingin punya uang banyak? Sampai mereka terjebak judi online? Tanpa menyisihkan kemungkinan lain, saya kira motif terbesar adalah ingin hidup seperti orang-orang kaya. Tepatnya orang-orang kaya yang pamer kekayaan—dan (topeng) kenikmatan memilikinya—lewat sosmed.

Lihat betapa para selebritis itu tiap hari pamer makan enak—atau membelikan makanan anaknya—di resto-resto mahal. Jalan-jalan ke Bali dan ke luar negeri. Menikah dengan naik jet pribadi atau resepsi yang glamor. Belum lagi pameran—saling pamer, lewat acara sidak—rumah-rumah mereka. Sayangnya, bahkan para ustaz dan selebriti “saleh” juga tak steril dari gaya hidup mewah dan pamer ini. Padahal tak jarang yang laki-laki memelihara jenggot, dan yang perempuan memakai kerudung.

Nah, semua gejala ini bertemu dengan akses dan eksposur tanpa batas anak-anak miskin terhadap flexing via sosmed ini. Saya bahkan khawatir, lebih banyak anak keluarga miskin yang lebih terekspos dengan sosmed ini dibanding anak-anak orang kaya. Nah, karena mereka tak punya uang—dan tak mungkin ada jalan—untuk membiayai gaya hidup seperti itu, maka main judi menjadi pilihan. Apalagi, selain memancing hawa nafsu kaya, ketidaktahuan—akan unsur penipuan/manipulasi dalam judi, menjadikan mereka makin bernafsu.

Baca Juga:  Renungan Haji Perspektif Spiritual

Kita sudah banyak tahu soal pengaruh negatif sosmed di berbagai bidang lain, termasuk sumber hoax, fitnah, penipuan, pornografi (yang makin menggila). Sekarang tambah satu lagi, judi online. Kota Pandorag sosmed sudah lama terbuka, hantu-hantu sudah keluar berterbangan dari dalamnya. Makin lama makin banyak. Maka, mau menunggu sampai sehancur apa masyarakat kita, sebelum pemerintah (dan masyarakat) mengambil tindakan drastis untuk mengatasinya?

Selain menutup situs-situs judi online, mengendalikan sosmed saya kira adalah suatu keharusan. Urgensinya sudah bukan main besarnya. Dan kali ini saya sedang bicara tentang ancaman kebangkrutan moral, sosial, ekonomi. Jangan sampai, pemerintah justru lebih kenceng dalam mengebiri kebebasan berekspresi, khususnya dalam politik, tapi lembek dalam soal yang merupakan hal yang lebih fundamental untuk memastikan kesejahteraan orang banyak. Jadi, Bapak-Bapak yang terhormat, jangan Bapak-Bapak cuma terobsesi mau menang pemilu atau pilkada, sambil menyodor-nyodorkan anak-anak dan kambrat-kambrat saja.

Sehabis itu korupsi pula. Eling-eling, Bapak-bapak.

0 Shares:
You May Also Like