Peran Manusia dalam Menjaga Al-Qur’an
Mungkin ada di antara kita bertanya-tanya, apa benar Al-Qur’an yang sampai pada kita saat ini sama persis dengan Al-Qur’an yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw.? Pertanyaan skeptis semacam ini, sudah dijawab oleh sebagian ulama yang memberikan concren dalam kajian keautentisitas Al-Qur’an. Salah satu fondasi argumen yang digunakan adalah Firman Allah: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al-Hijr [15]: 9).
Redaksi ayat ini memberikan justifikasi, bahwa Allah menjamin orisinal Al-Qur’an selalu terjaga. Sangat menarik, bila redaksi ini dianalisis dengan gramatika Arab seperti ilmu balaghah, tampak sekali Allah memberikan penegasan melalui dua huruf qashr berupaa innā dan ditambahi dengan huruf taukid (penguat) berupa lam. Itu tandanya Allah sangat serius untuk menjaga Al-Qur’an agar selalu terhindar dari hal-hal yang destruktif.
Kemudian muncul pertanyaan lainya, apakah hanya Allah sendiri menjaganya? Tentu tidak! Menjaga keautentisitas Al-Qur’an melibatkan pihak ketiga. Alasanya sebagai berikut: Pertama, redaksi ayat tidak menggunakan subjek tunggal, melainkan subjek plural yang melibatkan lebih dari dua subjek, sebagaimana dalam ayat tersebut menghadirkan term pronomina (damīr) nahnu yang sering diartikan “Kami”.
Menurut ulama tafsir, alasan Allah menggunakan dhamīr nahnu pada suatu teks ayat berfungsi sebagai ta’dzīm (mengangungkan). Selain itu, dhamīr nahnu diartikan juga sebagai keterlibatan dari pihak lain. Dengan demikian, penggunaan dhamir nahnu pada redaksi nahnu najjalna, melibatkan malaikat Jibril sebagai mediasi turunnya ayat kepada Nabi Muhammad saw., dan dhamīr nahnu pada redaksi lahāfidzūn melibatkan manusia untuk memelihara Al-Qur’an, khususnya umat muslim.
Mereka merupakan aktor penting dalam memelihara Al-Qur’an. Pemeliharaan ini akan berlangsung lama sampai ke generasi berikutnya. Sesuai dengan redaksi ayat sebelumnya, Allah menggunakan term lahāfidzūn yang berbentuk isim (benda). Dalam tradisi gramatika Arab (nahwu) term isim tidak membutuhkan waktu. Itu artinya, penjagaan itu akan terus berlangsung dan tidak akan berhenti.
Tetapi tidak semua umat muslim mengerti hal ini, perlu juga asupan edukasi kepada generasi selanjutnya terkait strategi yang bisa membantu untuk menjaga Al-Qur’an. Setidaknya ada dua strategi yang telah dilakukan oleh ulama-ulama sebelumnya dan sampai saat ini. Strategi pertama, menghafalkannya. Tradisi ini sudah dilakukan pada masa Nabi Muhammad saw., sahabat, tabi’in dan para ulama. Imam al-Suyūṭī pernah menulis kitab khusus terkait biografi para penghafal Al-Qur’an berjudul “Tabaqāt al-Huffādz” yang dimulai dari generasi pertama yaitu masa Nabi hingga generasi ke-24 salah satunya Abū Hāmid al-Dzahīrah.
Di Indonesia sudah melakukan tradisi ini. Upaya-upaya untuk menghafal Al-Qur’an sudah dibentuk dari masa kecil anak dan ini tumbuh di setiap generasi. Banyak sekali lembaga-lembaga yang memberikan sarana untuk mencetak huffādz Al-Qur’an (penghafal Al-Qu’ran) seperti madrasah, pesantren, perkuliahan dan lainya. Upaya seperti ini harus tetap dilakukan agar Al-Qur’an selalu terjaga keautentisitas dan orisinalitasnya.
Strategi kedua, melakukan penulisan. Strategi ini juga sering dilakukan ulama terdahulu bahkan pernah dilakukanya pada masa Nabi Muhammad saw. Secara historis, inisiatif para sahabat untuk melakukan penulisan karena merasa khawatir banyaknya para penghafal Al-Qur’an mati syahid dalam perperangan. Ide seperti ini sebagai bentuk tidak ketergantungan dengan pengahafalan saja, maka membutuhkan second planning agar Al-Qur’an tetap terjaga keauntentisitanya,
Maka dibentuklah komite penulisan Al-Qur’an dari masa Abū Bakar hingga kodifikasi Al-Qur’an secara final pada masa pemerintahan Khalifah ‘Utsmān. Sejarah-sejarah mengenai pengkodifikasikan Al-Qur’an telah banyak ditulis oleh para ulama, di antaranya: dalam kitab al-Zarqānī “Manāhil al-‘Irfān”dan Mustafa al-‘Azami berjudul “The History of The Qur’anic Text: From Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testaments”
Perlu diketahui, strategi penulisan bukan berarti kita dipaksakan untuk menulis sendiri dengan buku tulis, tetapi melalui percetakan-percetakan. Sebelum dicetak, ada proses yang harus dilewati yaitu melakukan cross chek isi Al-Qur’an agar tidak terjadi pengurangan dan penambahan huruf. Di Indonesia misalnya, memiliki lembaga khusus bernama Lajnah Pentashihan Al-Qur’an yang bertugas untuk menangani teks Al-Qur’an sebelum dilakukan percetakan berskala besar.
Pengecekan yang dilakukan oleh lembaga lajnah ini sangat berguna agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan Inilah yang menarik dari Al-Qur’an yang melibatkan berbagai pihak untuk menjaga keautentisitas Al-Qur’an. Menurut al-Zamakhsyari dalam magnum opusnya Tafsir al-Kasysyāf, perbedaan yang mendasar antara Al-Qur’an dan kitab samawī lainya adalah dari sisi subjek penjagaanya. Al-Qur’an dijaga oleh Allah dan manusia dari hal destruktif, sedangkan kitab samawī pemeliharaanya hanya melalui tokoh agama mereka, sehingga sering kali ditemukan perubahan-perubahan dalam kitab mereka. Dari dua strategi ini, umat muslim harus bersyukur sampai saat ini teks Ilahi masih terjaga keauntentisitasnya.