Kenapa Pengetahuan tentang Tuhan Disebut Iman (Kepercayaan)?

Episode Satu

Ketika janin sedang berada di rahim ibu, dia pikir kehidupan yang ada hanyalah di rahim ibu itu. Sampai saatnya ia keluar dari rahim ibu, baru dia tahu ada kehidupan lain setelah kehidupan di rahim ibu. Dia menangis karena terkejut dihadapkan kepada suatu alam baru yang tidak ia duga sebelumnya. Yang ia belum tahu seperti apa dia harus hidup di alam baru itu. Apalagi kemudian tali pusar yang menjamin kehidupannya selama ini, dan bekerja secara otomatis, sudah dipotong. Tapi kekhawatirannya itu hanya sebentar. Karena dengan sigap orang-orang di sekitarnya menenangkannya dan memberi apa yang selama ini diterima dan didambakannya, air susu, meski dengan cara yang berbeda. Dan di antara orang-orang itu ada seseorang yang luar biasa menyayanginya, yaitu ibunya. Maka tangisnya yang tadinya adalah tangis ketakutan, sekarang hanya menjadi bahasa buat dia. Bahasa untuk meminta apa yang diperlukannya. Meski kini dia pun sudah mulai belajar.

Ketika dalam kandungan, semua support system tersedia baginya tanpa dia harus meminta. Sekarang dia belajar meminta. Dan, meski amat sedikit dan sebentar, ia pun mulai belajar kecewa. Itulah beda besar kehidupan di alam janin dan di alam dunia.

Episode Dua

Seperti ketika di rahim ibu, janin tak tahu bahwa akan ada alam setelah alam rahim, maka—jika tidak memiliki daya mengetahui yang sesuai dengan bagaimana cara alam itu diketahui, atau mendapat info dari sumber yang ia percayai—bisa dipastikan ia tak akan tahu bahwa akan ada alam lain selain alam dunia. Dari mana dia akan tahu? Sedang dia hanya pernah mengalami alam dunia yang sekarang ini. Sementara alam itu misterius. Dan tak ada orang mati—yakni orang yang masa hidupnya di dunia sudah berakhir—yang bisa kembali lagi dan bercerita tentang alam itu (kalau memang alam itu ada?).

Baca Juga:  Orang-Orang yang Lari dari Kemerdekaan

Selanjutnya ada dua/tiga syarat agar orang bisa tahu tentang adanya alam setelah mati. Pertama, daya berpikir rasional. Maka para ahli mengembangkan berbagai hujjah (argumentasi) logis-rasional bahwa harus ada alam kelanjutan terhadap alam yang sekarang ini. Tapi, logika rasional punya batas-batasnya sendiri. Selalu ada saja argumentasi kontra terhadapnya, yang bisa sama kuat kemungkinan kebenarannya. Maka harus ada daya lain. Apakah itu? Yaitu daya yang lebih tinggi dari daya logis-rasional itu. Daya spiritual. Tapi memang penemuan/pengetahuan hasil kerja daya spiritual itu bukan sesuatu yang bisa diverifikasi, sebagaimana penemuan saintifik bisa diverifikasi dengan observasi dan penalaran logis-rasional. Paling banter kita hanya bisa menunjukkan bahwa suatu penemuan spiritual tak bertentangan dengan yang logis. Dengan yang empiris? Jauh lebih sulit. Maka tak sedikit orang yang kurang telaten, atau terlalu percaya kepada kemampuan berpikir rasional dan saintifiknya (sebagai satu-satunya cara memperoleh pengetahuan/kebenaran), yang kemudian memilih mengambil jalan lebih “sederhana” dengan mengatakan memang tak ada yang lain setelah alam dunia ini. Sementara itu, ada sekelompok orang lain, sebagaimana janin yang baru lahir itu, memulai perjalanan dengan belajar, (harus) dengan penuh kerendahan hati, bahwa seseorang memang tak mungkin mengetahui sesuatu kecuali ia memiliki pengalaman tentangnya. Meski bertahap. Dan daya logis bukanlah pengalaman. Pengalaman empiris dalam hal ini paling banter, kalau pun bisa, menjadi indikasi samar akan dunia lain itu—yang dipercayai memiliki kesejajaran karena dia adalah lanjutan dari alam sekarang. Dengan kesadaran ini, dia pun mencoba cara lain, mendaki dengan susah payah, kepada suatu alam pengalaman lain. Pengalaman kejiwaan pengalaman keruhanian. Ya, pengalaman, sehingga perjalanannya disebut dzawqi (eksperiensial). Dengan harapan pelan-pelan terra incognita (wilayah yang tak diketahui) itu akan terbuka baginya. Tapi, namanya pengalaman, dia hanya bisa menjadi sumber ilmu jika kita menjalaninya. Maka ada orang-orang yang bisa naik pelan-pelan, dan mendapatkan kesadaran akan pengalaman itu secara makin baik. Kesadaran akan pengalaman itulah yang nanti disebut iman. Keyakinan. Tapi iman bukanlah kegelapan. Iman adalah cahaya, yang datang kepada jiwa kita. Makin tinggi kita mendaki, makin kuat keyakinan itu. Karena terra incognita itu makin lama tampak makin terang dalam daya-mengalami (dzawq)-nya itu. Hingga tiba ia di suatu tempat, di mana semua tampak lebih jelas. Bahwa alam itu benar-benar ada, bahwa ia benar-benar nyata baginya. Jika dia ditanya oleh orang yang belum mengalaminya, dia hanya bisa bilang dia yakin dunia itu ada. Dia telah melihatnya. Tapi bagaimana dia mau bercerita kepada orang yang tidak mengalaminya? Pengalaman hanya bisa dialami. Jika bisa diceritakan dia sudah bukan lagi pengalaman lagi. Dia “hanya” pengetahuan. Tinggallah sekarang urusan orang yang bertanya: apakah ia percaya pada autoritas orang yang ditanya? Kalau tidak, maka ia hanya akan mencibir. Jika percaya, akan jadilah dia orang yang percaya juga.

Baca Juga:  Menyayangi Sesama Manusia: Tadabur Tiga Ayat Petama Surah Al-Ma’un Bersama Fakhruddin Ar-Razi

Demikianlah pengalaman spiritual—pengalaman tentang dunia lain, pengalaman tentang Tuhan yang berada di titik pusat semua kehidupan itu—hanya bisa diraih dengan cara ini.

Tapi, bagaimana bisa tahu bahwa pengalaman itu benar, bukan delusi (waham)? Bagi orang yang mengalami, dia hanya tahu bahwa pengalaman itu benar, meski bahkan dia tak punya daya meyakinkan orang lain yang tak mengalaminya. Dia hanya yakin. Ya, hanya yakin. Oleh karena itu, ia disebut iman (kepercayaan). Meski bukan tanpa kandungan pengetahuan.

Maka, mari memulai perjalanan dari sekarang, mengayun langkah menempuh perjalanan jiwa dan ruhani kita. Tak ada jalan lain. Hanya mulai. Dengan harapan, pelan-pelan dunia misterius itu terbuka bagi kita. Dengan harapan bahwa pengetahuan kita sampai di suatu stasiun, mendorong kita untuk lebih berdaya mencapai stasiun lain yang lebih jauh. Satu demi satu. Hingga, seperti orang-orang ruhani itu, jarak kita kepada Sang Misteri makin pendek, dan apa-apa yang sebelumnya—seperti janin di rahim ibu—tidak kita ketahui, pelan-pelan jadi lebih kita ketahui. Makin lama makin terang. Bahwa ada alam lain setelah alam ini, dan ada Wujud misterius di pusat segalanya, Sang Pencipta, Sang Perawat, Yang Maha Tahu dan Bijaksana. Yang, seperti seorang ibu juga, menyayangi kita dengan Rahman dna Rahim-Nya. Dia pun, dengan kasih-sayang-Nya itu sesungguhnya juga membimbing kita.

Akhirnya, seperti apa semuanya itu? Seperti apa alam setelah alam dunia itu? Seperti apakah Tuhan itu? Tak ada yang benar-benar bisa menjelaskannya, bahkan orang-orang yang pernah sampai ke sana. Bukan karena mereka tidak tahu, tapi karena kita belum pernah sampai ke sana. Mereka mungkin bisa membantu untuk membimbing kita, tapi perjalanan itu hanya kita sendiri yang bisa menjalaninya. Jika kita benar-benar ingin tahu, dan siap menanggung beratnya perjalanan itu. Tanpa itu, seperti janin di rahim ibu, kita tak akan pernah tahu.

Baca Juga:  Mazhab-Mazhab itu Hanya Jalan Saja, Tujuan Beragama itu Sama Saja. Maka Jangan Sibuk Berdebat Berkepanjangan, Apalagi Berseteru Soal Mazhab.

0 Shares:
You May Also Like