Islam dan Kehendak Bebas Manusia (1): Sebuah Pengantar.

Barangkali salah satu tanggung jawab atas orang-orang yang mempromosikan sosok Tuhan dalam sistem kehidupan di alam semesta adalah menjelaskan perihal karakteristik Tuhan tersebut.

Apakah Dia itu Maha Kuasa, yang di “tangan”-Nyalah ketentuan dan nasib segala sesuatu? Seharusnya ya, karena jika tidak demikian, mengapa Dia harus menjadi Tuhan. Tapi, jika begitu, apakah manusia hanya terpaksa menerima takdir-Nya, dan tidak mempunyai kebebasan dan kemampuan sendiri untuk menentukan nasibnya?

Persis ketika Anda menyodorkan sebuah agama dengan karakteristik Tuhan yang Maha Menguasai dan Maha Menentukan segala sesuatu, maka di saat itu juga Anda harus menjelaskan soal-soal tersebut.

Itulah yang coba dilakukan oleh para sarjana ahli kalam di masa-masa ketika tradisi keilmuan Islam mulai merekah di abad kedua Hijriah/abad kedelapan Masehi. Para ahli kalam berbicara soal karakteristik Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan perilaku-Nya bagaikan seseorang yang menjelaskan ciri-ciri sebuah rumah kepada orang yang menanyakan alamat rumah.

Akan tetapi, ketika poin “Kemahakuasaan Tuhan” atau “Absolutitas Takdir Tuhan” ini dibicarakan secara eksklusif dan ontologis semata tanpa melihat konteks mengapa Al-Qur’an berbicara demikian—maka yang terjadi justru reduksi atas makna sebenarnya dari poin-poin tersebut.

Karena mengunci status “Kemahakuasaan Tuhan” dan “totalitas takdir-Nya atas seluruh aspek kehidupan”, akhirnya Asy’ariyah dan kelompok ahlul hadits tidak mau menerima keharusan Tuhan untuk bersikap adil atau keharusan perbuatan-Nya untuk selaras dengan hukum-hukum alam dan sebab-akibat.

Apa yang dilakukan mutakallimun dan falasifah di zaman dahulu lahir dari anggapan mereka bahwa Tuhan adalah sebuah entitas objektif, yang bisa diselidiki, diteliti, dan dijabarkan ciri-ciri-Nya. Bagaimana jika Tuhan tidaklah seperti yang mereka asumsikan itu; sebab, tidak sekalipun objek penelitian mereka itu—yaitu Tuhan—pernah mereka lihat.

Baca Juga:  IMAM AL-GHAZALI DAN TUDUHAN KAFIR TERHADAPNYA

Yang menarik, cara Al-Qur’an berbicara mengenai Tuhan sangat jauh berbeda dengan cara mutakallimun dan falasifah membicarakan-Nya. Tuhan dalam Al-Qur’an adalah Tuhan yang sangat fungsional, yang peran-peran-Nya sangat nyata dalam kehidupan riil manusia. Dengan begitu, secara otomatis, Tuhan digambarkan sebagai berkuasa, namun juga sekaligus adil, penyayang, dan penolong.

Dalam Al-Qur’an, Tuhan adalah realitas yang pasti ada, sebab hanya dengan keberadaan Tuhan, maka keberadaan alam semesta dan manusia di dalamnya menjadi jelas. Al-Qur’an banyak berbicara tentang fungsi Tuhan, peran-Nya yang secara langsung berdampak terhadap kehidupan, dan totalitas kedekatan-Nya dengan manusia.

Mengingat gambaran Al-Qur’an tentang Tuhan yang berkeadilan dan yang memberi kebebasan dan kemampuan berkehendak kepada manusia, adalah cukup mengejutkan jika ternyata mazhab teologi yang paling dominan di dunia Islam sepanjang sejarah adalah mazhab yang menganut pandangan fatalisme atau kelemahan manusia di hadapan takdir.

Mengapa mengejutkan? Alasannya, sebab pola pikir fatalistik inilah yang justru coba dihilangkan oleh Al-Qur’an. Bayangkan jika Muhammad adalah seorang fatalis yang menganggap semua hal adalah takdir yang harus diterima begitu saja; apakah mungkin ia akan mau berjuang sampai mati mengubah takdir dirinya dan masyarakatnya sendiri?

Lalu, mengapa mutakallimun dan falasifah berbicara tentang Tuhan dengan cara yang berbeda dari Al-Qur’an? Hal itu disebabkan oleh perbedaan metodologi di antara mereka dengan Al-Qur’an. Kalam dan falsafah memakai metode diskursif yang beranggapan bahwa Tuhan harus bisa dikunci dalam sebuah definisi yang pasti.

Sementara itu, Al-Qur’an memakai metodenya sendiri, yaitu metode berbicara dialogis, yang memberikan jawaban langsung atas situasi dan kondisi yang dihadapinya. Al-Qur’an tidak pernah mendefinisikan Tuhan atau mendefinisikan sifat-sifat-Nya. Itu semua bukan perhatian Al-Qur’an.

Baca Juga:  Filsafat Islam Pasca Mulla Sadra Periode Qajar

Yang dituju oleh kitab suci ini adalah menantang kepercayaan Jahiliah, lalu menyodorkan kepercayaan yang baru. Menurut Al-Qur’an, manusia yang menggunakan akalnya akan mengerti bahwa apa yang ia jabarkan itu lebih masuk akal daripada kepercayaan fatalisme takdir dan fanatisme nasab yang dipelihara oleh Arab Jahiliah selama ini.

Yang lebih menarik daripada sekadar perbedaan metodologi di atas adalah reduksi mutakallimun dan falasifah atas konteks-konteks situasional (baik itu sosiologis, psikologis, maupun religius) dari setiap konsep Islam tentang Tuhan.

Misalnya, ada alasan khusus dan jelas mengapa Al-Qur’an berkata: “Tuhan Maha Berkuasa atas segala sesuatu” atau “Tidaklah kalian bisa menghendaki sesuatu, kecuali Tuhan yang menghendakinya”. Karena tidak mengindahkan konteks dari ayat-ayat ini, maka tidak heran kalangan Asy’ariyah dan ahlul hadits mengira Al-Qur’an sedang mempromosikan fatalisme.

Dalam tulisan ini, yang akan dilakukan adalah kebalikan dari reduksi kalam dan falsafah tersebut. Pertanyaan kita di sini tidaklah seperti mereka yang bertanya begini, “Apakah manusia punya kebebasan berkehendak, lalu jika ada, kehendak siapa yang lebih menentukan; kehendak Tuhan atau manusia? Atau begini, “Apakah manusia bebas memilih tindakannya; jika tidak, berarti manusia itu terpaksa, tapi jika demikian, di mana letak keadilan Tuhan?”

Pertanyaan kita adalah: “Mengapa Al-Qur’an berbicara tentang Tuhan Yang Maha Berkuasa, Maha Berkehendak, dan Maha Menentukan atas segala sesuatu?” dan “Mengapa Al-Qur’an, meski berbicara bahwa Tuhan itu Maha Berkehendak, tapi tetap menggambarkan manusia sebagai makhluk bebas, berkehendak, dan berpotensi?

Untuk mengakhiri bagian pengantar ini, izinkan saya menyampaikan sebuah cerita yang belum lama ini berlalu. Konon, di sebuah negeri yang dipenuhi oleh umat Islam, datanglah sebuah wabah penyakit dari sebuah virus yang mematikan. Kaum agamawan Islam ramai-ramai menenangkan umatnya bahwa mereka akan selamat selama tetap percaya kepada Allah.

Baca Juga:  Metafora Ibn 'Arabi tentang Status Agama-Agama Pra-Islam

“Tidak perlu takut” kata mereka, “Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Kuat akan melindungi kita.” Mereka ini tidak peduli pada masker, protokol kesehatan, pembatasan kegiatan luar rumah, dan kegiatan vaksinasi; sebagai upaya nyata pencegahan dari virus mematikan ini.

Menurut agamawan panutan mereka tersebut, Allah lebih mampu melindungi hamba-hamba-Nya daripada benda-benda duniawi seperti masker dan vaksin. Walhasil, satu demi satu orang-orang beriman itu berpulang akibat terserang virus. Melihat banyaknya mayat dari kaum beriman, kaum agamawan tadi hanya dapat berkata begini: “Semua ini terjadi atas kehendak Allah, Dialah Yang Maha Kuasa, kita tak bisa lari dari takdir-Nya.”

Cukup mengejutkan, bagi saya, untuk menyadari betapa umat Islam di negeri tersebut menganut pandangan-dunia yang fatalis seperti itu. Akan tetapi, hal ini justru menjelaskan kepada saya, mengapa peradaban modern, rasionalisme, sains, dan teknologi tidak tumbuh dan berkembang di negeri tersebut. []

0 Shares:
You May Also Like