Esensi Manusia Menurut Jalaluddin Rumi

“Hawa nafsumu adalah induk segala berhala: berhala jasmani adalah ular. Berhala rohani adalah naga” (Rumi)

Secara diskursus ilmiah, konsep esensi manusia merupakan salah satu isu yang sudah berkembang di masa Yunani kuno. Isu ini berkembang dilatarbelakangi oleh kesadaran para filsuf Yunani, seperti Plato dan Aristoteles tentang keberadaan tubuh dan jiwa sebagai hakikat eksistensi manusia.

Plato dalam salah satu karyanya berjudul The Republic memandang jiwa sebagai kesempurnaan pertama manusia yang senantiasa menggerakan tubuh untuk mencapai ruang aktualitas menuju alam transendental. Sedangkan Aristoteles dalam karyanya berjudul De Anima memandang tubuh dan jiwa merupakan esensi keberadaan manusia yang bersifat satu, termaksud kesempurnaan manusia bersifat satu yang senantiasa saling mengaktualkan di realitas. Perbedaan pandangan para pemikir Yunani kuno dalam memotret esensi manusia mempengaruhi ragam pemikiran para pemikir, seperti Ibn Sina dan Suhrawardi. Kita ketahui bersama bahwa Ibn Sina sebagai pengikut setia pemikiran Aristoteles memandang jiwa merupakan kesempurnaan pertama manusia, akan tetapi kesempurnaan jiwa bergantung pada keberadaan tubuh. Sebaliknya, Suhrawardi dalam sistem filsafat iluminasi meyakini esensi manusia ialah jiwa sebagai keberadaan yang penyempurna di realitas.

Berangkat dari ragam pandangan di atas, tentu dibutuhkan sebuah titik temu untuk menyatukan perbedaan potret esensi manusia di realitas. Tulisan sederhana ini akan mendeskripsikan sekilas esensi manusia dalam pandangan Rumi, salah satu ahli tasawuf dan penyair Persia abad 13 yang memberikan banyak pengaruh pemikiran di era modern.

Dalam memotret esensi manusia, Rumi meyakini bahwa struktur eksistensi manusia terdiri dari jiwa dan tubuh. Tubuh dalam pandangan Rumi ditafsirkan sebagai keberadaan fisik yang berhubungan dengan penampakan materi. Sedangkan, jiwa dipandang sebagai entitas sakral yang dinilai sebagai objek yang merefleksikan segala pengetahuan di realitas. Dari dua penafsiran tersebut, Rumi mulai memotret bahwa tubuh yang berkaitan dengan materi cenderung memiliki hasrat untuk mempertahankan hidup dan merasakan kepuasan sensual. Namun, tubuh juga bisa mengetahui ragam tanda-tanda keberadaan Tuhan sebagai wadah aktualitas jiwa manusia. Di sini, tentu kita melihat bahwa tubuh memiliki urgensitas untuk membantu jiwa menyempurna dan kehancuran.

Baca Juga:  Kita Tumbuh Menjadi Umat yang Kurang Merenung

Untuk membaca lebih jauh pandangan Rumi terkait esensi manusia, penulis menggunakan beberapa pandangan Annemarie Schimmel—komentator Rumi abad Modern—dalam karyanya berjudul I am Wind You are Fire (hal. 90) menuliskan, Man’s situation is like this: an angel’s wing was brought and tied to a donkey’s tail so that the donkey perchance might also be an angel, thanks to the radiance of the angel’s company” bahwa manusia memiliki sepasang sayap malaikat yang dilekatkan pada ekor keledai”.

Dari pemaknaan tersebut, kita melihat bahwa sepasang sayap ditafsirkan sebagai jiwa dan tubuh yang dimiliki oleh manusia. Akan tetapi, kedua pasang sayap itu dilekatkan dengan ekor keledai, hewan kebodohan. Jika kedua sayap malaikat ini tidak digunakan sebagaimana mestinya, maka manusia berada pada kebodohan yang mendeskripsikan kehancuran eksistensi hewan senantiasa dipengaruhi oleh kenikmatan nafsu. Sebaliknya, jika kedua sayap tersebut digunakan untuk terbang menuju ruang aktualitas, maka manusia akan mencapai sebuah kesempurnaan yang dipandang oleh Jalal al-Din Rumi sebagai pengejewantahan eksistensi Tuhan atau the perfect man di muka bumi, sebagaimana Dia berfirman dalam, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud” (QS. Al-Hijr [15]: 29).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tubuh dan jiwa merupakan dua potret esensi manusia yang dinilai sebagai media untuk medukung manusia mencapai kesempurnaa eksistensi di realitas.

“Sufi adalah seorang lelaki atau seorang perempuan yang telah patah hati terhadap dunia” (Rumi).

Previous Article

Jalan Tasawuf

Next Article

Agama Banyak Membatasi, Memangnya Kenapa?

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨